PT ST Nickel Diminta Angkat Kaki, Ini Suara dari Masyarakat Amonggedo

  • Bagikan
Direktur HMTI, Muh. Hajar saat menggelar konfrensi pers (foto: Mas Jaya/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM:KOANAWE- Keberadaan perusahaan tambang PT ST Nickel Resources di Desa Dunggua Jaya, Kecamatan Amonggedo kini dipertanyakan. Pasalnya, telah ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang perusahaan itu beroperasi di lahan yang dulunya disengketakan dengan Koperasi Dunggua Jaya dan PT Multi Bumi Sejahtera (MBS).

Direktur Himpunan Masyarakat Tolaki Indonesia (HMTI), Muh. Hajar mengungkapkan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. ST Nickle Resources dikeluarkan tahun 2009. Saat itu, Bupati Konawe masih dijabat Lukman Abunawas. Tetapi pada 2012, izin tersebut dicabut. Penyebabnya, perusahaan itu diduga menggunakan surat izin kawasan hutan yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan RI yang ternyata palsu. 

“Setelah mencabut izin perusahaan itu, Lukman juga menerbitkan IUP baru di kawasan yang di kelola ST Nickel. IUP baru tersebut, diperuntukan kepada Koperasi Dunggua Jaya dan PT. MBS,” jelasnya, Jumat (03/02/2017).

Lanjut Hajar, tidak terima atas masalah tersebut pihak ST Nickel akhirnya melaporkan perkara ini ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Kendari. Akan tetapi, masalah tersebut tidak sampai dipersidangkan.

Pihak perusahaan dan Pemda Konawe ketika itu membuat kesepakatan. Pemda berjanji akan menerbitkan IUP baru untuk ST Nickel, asalkan laporannya di PTUN dicabut. Dari situlah muncul ketetapan pengadilan, (bukan keputusan) tentang penerbitan izin baru.  

“Setelah pemerintahan Lukman berakhir, pada tahun 2014 IUP ST Nickel kembali diaktifkan. Dalam izin diterangkan bahwa lokasi IUP telah diubah koordinatnya. Tetapi IUP tidak berubah koordinatnya. Di sinilah masalah kembali terjadi. Kami menduga ada permainan antara ST Nickel dengan Pemerintahan saat ini,” terangnya. 

Selanjutnya, pihak ST Nickel melapor ke Mabes Polri atas tuduhan penambangan ilegal oleh Koperasi Dunggua Jaya dan PT MBS. Hasil sidang di Pengadilan Negeri (PN) Unaaha, kemudian menvonis kedua perusahaan tersebut bersalah. Pengelola Koperasi Dunggua Jaya, Dny Zainal Ahuddin, diganjar dengan hukuman 3,5 tahun penjara dan denda Rp1 milliar. Sedangkan Direktur PT MBS, Saut Sitorus, diganjar dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar 

Tak terima atas putusan tersebut, kedua terdakwa akhirnya melakukan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Sultra. Jaksa PT akhirnya melakukan kasasi atas kasus tersebut. Akhirnya keluarlah amar putusan dari Mahkamah Agung (MA) yang kemudian menjabut putusan pengadilan yang telah ada sebelumnya. 

Dengan demikian, Deny dan Sitorus dinyatakan bebas dan hak atas lokasi IUP yang disengketakan menjadi milik Koperasi Dunggua Jaya dan PT. MBS. Amar putusan itu, keluar pada 24 Desember 2016. Namun yang terjadi hingga kini, ST Nickel masih menempati lokasi tersebut. 

“ST Nickel masih mengolah lahan yang seyogyanya ditempati Koperasi Dunggua Jaya dan PT MBS. Tentu saja, warga setempat yang sudah menjadi bagian dari koperasi memprotes masalah tersebut. Mereka justru mempertanyakan sikap kepolisian yang tidak melakukan pengamanan di lokasi tambang. Kita harapkan, harus ada aksi dari pihak berwenang sebelum terjadi hal yang tidak kita inginkan di sana,” pungkas Hajar yang mengaku mengadvokasi suara masyarakat di Desa Dunggua Jaya.

Laporan: Mas Jaya

  • Bagikan