Puasa dan Kesabaran

  • Bagikan
Makmur Ibnu Hadjar.Foto: Ist

Oleh: Makmur Ibnu Hadjar

 

Maha Suci ALLAH……, kalimat suci itu yang layak kita senandungkan dalam hati, dengan penuh penghayatan trasedental, lantaran ALLAH SWT masih memberikan kesempatan kepada kita untuk menikmati kesempatan yang penuh karunia dan rakhmat untuk melatih, meningkatkan kualitas dan mengaktualisasikan sikap “kesabaran” kita selama satu bulan, yakni dalam bulan suci Ramdhan ini-1437 Hijriah. Puasa dalam bulan ramadhan, sebagian orang memandangnya sebagai ujian. Pandangan seperti itu keliru, karena esensinya puasa ramadhan itu adalah karunia. Karunia puasa terkait dengan dua potensi manusia, yaitu jasmani dan nafsani (kejiwaan). Puasa sebagai karunia untuk melatih kedua potensi tersebut dalam rangka memperkuat kesabaran. Dalam salah satu hadist yang terkenal disebutkan bahwa ; “kesabaran adalah keindahan”. Salah satu sifat Allah adalah al-Shabr.

 

Kesabaran sebagai ranah kejiwaan (psikologis), memang harus diaktualisasikan dan dipraktekkan. Selama bulan suci Ramadhan ini, kita mendapat kehormatan, rakhmat dan karunia dari ALLAH, manakala ibadah puasa ini kita dijalankan dalam kualitas kesadaran spiritual yang ihlas, sebagai upaya melatih kesabaran itu. Ini adalah masalah momentum, dan momentum ini datang setahun sekali, dan banyak diantara kita yang tidak berkesempatan menikmati karunia ramadhan ini. Mungkin karena sedang berbaring di rumah sakit, dengan pernafasan dibantu tabung oksigen, oleh karena kondisi tersebut, maka tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, atau sedang mengalami kemunduran dan bencana keimanan, sehingga tidak lagi memandang puasa sebagai ibadah yang wajib ditunaikan, sebagai manifestasi ketundukan kepada Allah SWT.

 

Ibadah puasa ramadhan, esensinya adalah karunia Allah, yaitu karunia yang dianugrahkan kepada manusia yang beriman, sebagai media atau sarana yang hukumnya wajib ditunaikan, untuk melatih kerendahan hati dan memperkuat kesabaran. Syekh Ragip al-Jerrahi, menjelaskan konsep kesabaran ini dari sisi makna semantik, bahwa kata “Shabr” dalam bahasa Arab, yaitu ketabahan dan keteguhan menjalankan niat. Dalam konteks manivestasi, ranah kesabaran itu meliputi dua jenis sikap , yaitu ; pertama, kesabaran menghindari atau menjauhi, yakni kita harus bersabar menjauhi segala hal yang semestinya tidak kita lakukan. Sabar berarti kita menolok untuk didominasi oleh nafsu kita, yang sejatinya berpusat pada diri kita. Secara faktual misalnya, jenis kesabaran ini yaitu ketika kita menolak dorongan nafsu untuk menumpuk kekayaan, yang bersumber dari merampas hak orang lain atau menyalahgunakan kewenangan yang sedang kita emban untuk memperkaya diri.

 

Sedangkan sabar yang kedua adalah sabar dengan penuh istiqamah untuk menjalankan kebaikan dan kearifan, baik itu laku spiritual maupun laku muamalah. Kesabaran jenis ini adalah ketekunan yang konsisten secara dinamis untuk mempertahankan kebaikan-kebaikan. Dalam mendirikan shalatpun dibutuhkan kesabaran, baik kesabaran terkait dengan disiplin waktu maupun disiplin untuk tidak meninggalkan shalat fardhu. Dalam kaitan dengan ritual shalat ini, menurut Syekh Ragip al-Jerrahi, jika kita membangun dan melatih kesabaran sedikit demi sedikit dalam melaksanakan shalat, maka kita benar-benar akan mencapai kehadiran hati (khusyu) ketika mendirikan shalat. Jadi perilaku konsisten (istiqamah), telaten, tidak tergesa-gesa, dan rendah hati (tawadhu), adalah dimensi-dimensi aktual dalam perilaku untuk mencapai sikap sabar.

 

Kesabaran adalah suatu kualitas kepribadian yang luar biasa. Kesabaran akan memancarkan kearifan (wisdom), dan kebajikan. Demikian tingginya nilai kesabaran, maka kata tersebut diabadikan atau disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 90 kali, dan menjadi salah satu sifat Allah SWT yang agung, dan diperintahkan kepada manusia agar memiliki sifat tersebut, melalui proses “internalisasi ketabahan dan keteguhan”. Dalam sebuah firman Allah SWT, sabar dan shalat, disejajarkan fungsinya sebagai sarana penolong, agar kita tidak terjebak dan terseret dalam kezaliman dan kemungkaran. Dalam konteks seperti yang digambarkan di atas, Allah SWT berfirman : “ Hai orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya ALLAH beserta orang-orang yang sabar”. (QS al-Baqarah:153).

Karunia Allah yang inheren dengan puasa ramadhan adalah melatih dan memperteguh sikap sabar menjadi sikap yang integral dari laku spiritual dan laku sosial kita, sehingga menjadi penolong kita. Wallahuallam bissawab*.

  • Bagikan