PWI Pusat Tanggapi Uji Materi UU Pers

  • Bagikan
Ketua Umum PWI, Atal S. Depari. (Foto: Ist)

SULTRAKINI.COM: Sebagai konsituen Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berpendapat pemohon dalam perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tidak memiliki kerugian konstitusional akibat keberlakukan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers berdasarkan UUD 1945.

Ketua Umum PWI, Atal S. Depari, menekankan huruf f UU Pers dengan mendasarkan pada hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 tidak ada hubungannya dengan ketentuan a quo UU Pers yang dipermasalahkan oleh para pemohon.

“Karena ketentuan a quo yang dipermasalahkan memiliki makna bahwa fungsi Dewan Pers adalah sebagai fasilitator organisasi-organisasi pers dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers, sedangkan para pemohon bukan organisasi pers,” jelas Atal S. Depari lewat tanggapan tertulis PWI Pusat tertanggal 14 Oktober 2021 yang juga ditanda tangani Sekertaris Jenderal PWI Pusat Mirza Zulhadi.

(Baca: Dewan Pers Optimis MK Menolak Judical Review UU Nomor 40 Tahun 1999)

PWI menilai para pemohon tidak mengalami kerugian akibat keberlakuan ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Pers mengenai penetapan anggota Dewan Pers oleh Presiden dengan mendasarkannya pada hak konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945, tidak ada hubungannya dengan ketentuan a quo yang dipermasalahkan.

Sebab para pemohon hingga saat ini bukan Anggota Dewan Pers dari unsur wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan maupun unsur pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UU Pers sehingga tidak perlu ditetapkan oleh Presiden.

“Anggapan para pemohon mengenai Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers menimbulkan ketidakpastian hukum dan lahirnya peraturan-peraturan Dewan Pers akibat kesalahan tafsir. Kami berpendapat justru dengan adanya keputusan-keputusan Dewan Pers dalam bentuk surat edaran, pedoman, maupun peraturan merupakan wujud pelaksanaan fungsi Dewan Pers sesuai ketentuan a quo yang dipermasalahkan oleh para pemohon,” tegas Atal.

Ia menerangkan, enam anggota Dewan Pers atau sama dengan 2/3 anggota Dewan Pers adalah unsur wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan maupun unsur pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers yang merupakan organisasi pers sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU Pers.

Atal juga menanggapi anggapan para pemohon mengenai Dewan Pers melakukan praktik ultra vires (tindakan di luar batas kewenangan). Salah satu tindakan yang di luar batas menurut para pemohon adalah kewenangan Dewan Pers melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan dianggap melanggar UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan karena yang berwenang menguji kompetensi wartawan adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

“Kami berpendapat maksud UU Ketenagakerjaan adalah Tenaga Kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja melalui sertifikasi kompetensi kerja dari BNSP, sedangkan wartawan adalah sebuah profesi khusus yang diatur khusus dalam UU Pers,” ucapnya.

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Pers, yang dimaksud dengan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Maka UU Pers adalah lex specialis untuk profesi wartawan dan tidak bisa disamakan dengan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan.

Atal menegaskan, wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Menurut Atal, kesesatan pemahaman para pemohon yang menyamakan profesi wartawan dengan tenaga kerja.

“Yang benar adalah uji kompetensi wartawan dilakukan oleh Dewan Pers sesuai tugas dan fungsinya guna meningkatkan kualitas kewartawanan berdasarkan UU Pers,” ujar Atal.

“Apakah profesi dokter dan advokat dapat disamakan dengan tenaga kerja yang harus ikut sertifikasi BNSP? Tidak, karena profesi dokter dan advokat adalah profesi khusus yang diatur masing-masing secara khusus (lex specialis) dalam UU praktik kedokteran dan UU advokat,” tambah Atal.

Justru, kata Atal, para pemohon menundukkan diri secara sukarela sebagai tenaga kerja dengan mendirikan LSP untuk melaksanakan Sertifikasi Profesi Wartawan sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Sistem Standarisasi Kompetensi Kerja Nasional.

Para pemohon tidak layak lagi mengaku berprofesi sebagai wartawan karena menginginkan campur tangan BNSP untuk melakukan Sertifikasi Profesi Wartawan karena profesi wartawan diatur khusus dalam UU Pers.

Menurut Atal, seharusnya para pemohon mengikuti keputusan Dewan Pers sebagai lembaga independen dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan melindungi kebebasan pers dari campur tangan pihak lain, termasuk campur tangan dari pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Pers.

Berkenaan dalil para pemohon membuat peraturan pers yang lebih lengkap, lanjut Atal, para pemohon tidak memiliki kapasitas dan kewenangan untuk menerbitkan peraturan-peraturan yang mengikat secara eksternal atau umum bagi profesi wartawan di Indonesia. Sebab, para pemohon bukan Dewan Pers yang diangkat dan ditetapkan melalui prosedur UU Pers.

“Apa yang dilakukan Dewan Pers selama ini tidak lain dan tidak bukan adalah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan UU Pers dengan memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers guna meningkatkan kualitas kewartawanan,” lanjutnya.

Perlu diketahui bahwa keputusan-keputusan Dewan Pers dalam bentuk surat edaran, pedoman, maupun peraturan tidak begitu saja dikeluarkan, tetapi melalui proses yang panjang dan disepakati oleh seluruh organisasi pers profesional dan diakui keberadaannya.

Menanggapi alasan para pemohon bahwa Pasal 15 Ayat (5) UU Pers menghambat perwujudan kemerdekaan pers dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum, dan diskriminatif karena pengajuan mereka tidak dijawab oleh Presiden.

“Kami berpendapat para pemohon semakin sesat karena lupa akan keberadaan Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis,” kata Atal.

Penetapan Anggota Dewan Pers oleh Presiden dalam ketentuan a quo yang dipermasalahkan para pemohon, bukan merupakan bentuk diskriminatif, namun sebagai pembatasan yang diperlukan guna memberikan perlindungan hukum, keamanan, dan ketertiban umum kepada masyarakat.

Dewan Pers yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden adalah Dewan Pers yang sah, di mana masyarakat membuat pengaduan mengenai dugaan-dugaan tindakan yang dilakukan oleh wartawan, organisasi pers, dan perusahaan pers yang merugikan masyarakat dan tidak sesuai kode etik jurnalistik, sejalan dengan tugas dan fungsi Dewan Pers.

“Bayangkan jika setiap ormas/LSM/persekutuan berbadan hukum menyisipkan nama ‘Dewan Pers’ kemudian harus diberikan Keputusan Presiden, masyarakat tidak akan memperoleh perlindungan dan kepastian hukum yang seharusnya menjadi tugas pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat,” ujar Atal. (C)

Laporan: Amran Mustar Ode
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan