Radikalisme Menghantui Masyarakat, Kontennya Tumbuh di Sosmed

  • Bagikan
Sejumlah guru peserta workshop menanggapi perihal radikalisme di kalangan siswa, Kamis (11/4/2019). (Foto: Ulul Azmi/SULTRAKINI.COM)
Sejumlah guru peserta workshop menanggapi perihal radikalisme di kalangan siswa, Kamis (11/4/2019). (Foto: Ulul Azmi/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KONAWE – Sejumlah guru dari berbagai sekolah di Kabupaten Konawe bersuara dalam menanggapi perkara radikalisme dalam workshop integrasi nilai-nilai agama dan budaya di sekolah dalam menumbuhkan harmoni kebangsaan melalui FKPT Sulawesi Tenggara.

Guru SMAN 1 Wawotobi, Hidrawati, menerangkan radikalisme penyebab terorisme tidak bisa disandingkan dengan kaum islam, dikarenakan hal tersebut bisa merusak nilai-nilai pancasila pada diri peserta didik.

“Sekitar 20 orang siswa saya sempat terpapar radikalisme, mereka menganggap yang tidak sepaham dengan mereka adalah musuh. Mereka melakukan kajian tertutup sampai melakukan pembaiatan, tapi alhamdulillah dapat diatasi. Sekarang sudah tidak ada lagi,” ungkap Hidrawati, Kamis(11/4/2019).

Sementara Guru SMAN 1 Uepai, Masdiana S.Ag dan Guru SMPN 2 Konawe, Muhtar S.Pd.I, mengatakan paparan radikalisme di sekolah mereka terbilang aman dan tidak mengganggu aktivitas lainnya.

“Di sekolah saya, alhamdulillah terbilang aman. Tidak ada yang melakukan tindakan kekerasan, semoga tidak akan ada (radikalisme),” ujar Masdiana.

“Alhamdulillah tidak ada, masih aman, mulai dari guru dan siswa-siswa tidak ada yang terkena paham radikalisme,” ucap Muhtar.

Ketua 2 DPA Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), Dr. Endang Zenal M.Ag, menambahkan perlunya memiliki wawasan luas menyangkut perbedaan di lingkungan masyarakat, sehingga pemakaian atribut islam tidak membuat seseorang langsung dicap sebagai teroris.

“Adapun yang tidak boleh adalah ketika paham radikal berubah menjadi radikalisme. Kita tidak boleh kaku dalam menanggapi perbedaan ataupun permasalahan. Perlu ada wawasan luas. Jangan hanya seolah-olah pelaku teroris itu orang islam,” jelas Endang.

Dilansir dari Kompas.com, Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan pemblokiran lebih dari 11.000 konten berbuatan radikalisme dan terorisme sepanjang 2009-2019.

Laporan Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, konten terbanyak diblokir ada di platform Facebook dan Instagram, yaitu 8.131 konten; video Youtube 678 konten, Telegram 614 konten, file sharing 502 konten, dan situs 494 konten.

Tahun 2018 menjadi yang terbanyak konten radikalisme dan terorisme di sosial media. Terbanyak didapati Kominfo adalah Facebook dan Instagram sebanyak 7.160 konten, disusul Twitter sebanyak 1.316 konten, dan Youtube sebanyak 677 konten.

Khusus Januari-Februari 2019, Kominfo memblokir 1.031 konten, terdiri dari 963 konten di Facebook dan Instagram, seta 68 konten di Twitter. (Adv)

(Baca juga: Memahami Pentingnya Harmoni Kebangsaan Masuk Sekolah)

Laporan: Ulul Azmi
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan