Ramadan Sebagai Sarana Pembelajaran Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup

  • Bagikan

Oleh: Syaifuddin Mustaming (Kepala Seksi Penerangan Agama Islam, Zakat dan Wakaf Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kolaka)

SULTRAKINI.COM: Hari raya Idul Fitri adalah hari pelantikan kita dari ALLAH RABBUN JALIL sebagai manusia hamba ALLAH yang menemukan jati diri yang fitri (bersih-suci) sebagai buah amalan Ramadan yang baru saja meninggalkan kita.

Salat Idul Fitri yang dirayakan merupakan penutup kegiatan Amaliah Ramadan. Bulan Ramadan telah meninggalkan kenangan dan pelajaran tentang makna kehidupan. Ramadan telah menanamkan kesadaran tentang proses perjalanan waktu yang menggambarkan sebuah siklus kehidupan.

Ketika kita memasuki hari pertama puasa (sebulan lebih yang lalu), di kaki langit sebelah barat muncul bulan hilal atau bulan sabit kecil sebagai pertanda masuknya awal Ramadan. Begitu kecilnya bulan sabit itu, sehingga tidak bisa atau hampir tidak terlihat oleh pandangan mata telanjang. Bulan sabit itu kemudian berproses menuju perubahan, ia membesar sedikit demi sedikit yang akhirnya mencapai kesempurnaan yang disebut bulan purnama. Bulan purnama mengingatkan bahwa kita sedang berada pada pertengahan bulan Ramadan dan perjalanan berikutnya akan mengalami fase penurunan.

Sejalan dengan proses perjalanan waktu yang tidak mengenal kata henti; demikian halnya bulan purnama, hari demi hari mengecil dan akhirnya menghilang di permukaan bumi. Bersamaan dengan itu muncul pula bulan sabit baru, yaitu bulan Syawal sebagai pertanda datangnya pelaksanaan hari raya Idul Fitri.

Ramadan mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa perjalanan bulan tidak berbeda dengan perjalanan seorang anak manusia. Manusia memulai kehidupannya setelah melalui proses kelahiran sebagai awal sebuah perjalanan panjang di alam dunia ini.

Kelahiran adalah awal dari sebuah proses perjalanan anak manusia menuju masa dewasa setelah melewati masa kanak-kanak dan remaja. Masa dewasa merupakan puncak kesadaran dalam sebuah kehidupan, dan sekaligus merupakan moment penting bagi seorang manusia untuk memancarkan sinar pengabdiannya kepada ALLAH dan kemanusiaan.

Masa dewasa adalah seperti sebuah pendakian yang sudah sampai di atas puncak, kemudian manusia akan mengalami proses penurunan sedikit demi sedikit, baik fisik ataupun psikis, seperti gejala mulainya penurunan ingatan, penglihatan mulai rabun, pendengaran pun samar-samar dan kekuatan fisik juga mulai terasa melemah. Masa penurunan  itu adalah bagian dari sebuah proses perjalanan menuju masa tua yang pada akhirnya akan tiba waktunya harus meninggalkan dunia fana ini menuju alam baru yang disebut alam akhirat. Bersamaan dengan itu pula, akan muncul generasi baru yang menggantikannya untuk melanjutkan sebuah proses perjuangan yang tidak pernah mengenal habis.

Proses perjalanan Ramadan sebagaimana digambarkan tersebut, paling tidak memberikan empat pembelajaran bagi kita untuk menata kehidupan yang lebih baik di masa depan, yaitu:

1. Kepastian Hidup

Ramadan telah memberikan pelajaran tentang kepastian hidup seorang anak manusia. Proses perjalanan hidup seseorang pada akhirnya akan kembali kehadapan ALLAH SWT; sebagaimana pastinya proses perjalanan bulan Ramadhan yang berujung pada pergantian bulan baru, yaitu bulan Syawal. Pelajaran ini haruslah diterima dengan penuh kesadaran, sehingga kehidupan manusia tidak sia-sia, tetapi dijalani dengan penuh makna. Perjalanan Ramadan memastikan kepada kita akan firman ALLAH SWT: 

“Sesungguhnya kita berasal dari ALLAH dan kepada-NYA-lah kita akan kembali” (QS Al-Baqarah;156).

Pengaruh kehidupan dunia, membuat manusia sering lupa bahwa dunia ini adalah bersifat sementara. Mereka lupa bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti, seperti pastinya perjalanan bulan Ramadan, tetapi kematian itu pulalah yang paling banyak dilupakan oleh umat manusia. Lalu apa sebenarnya yang kita cari sepanjang hidup yang kita jalani, kalau pada akhirnya harus berujung dengan kematian?

Usia terlalu singkat untuk sekedar mengumpulkan kekayaan, mengejar kedudukan dan prestise semata yang pada akhirnya tidak pernah kita bawa masuk ke liang kubur. Nilai seseorang tidak diukur dengan kepemilikan semua atribut tersebut, tetapi kualitas diri yang terus menerus dibangun dari perjuangan tanpa mengenal lelah untuk melahirkan pribadi yang penuh ketulusan, tanggung jawab, dan kasih sayang pada sesama. Nilai sesungguhnya terletak seberapa banyak investasi amal ibadah yang kita persembahkan kepada ALLAH dan kepada kemanusiaan. Investasi itulah yang menjadi amal jariyah yang terus-menerus memancarkan pahala kebajikan, seperti sinar matahari Syawal yang memancarkan cahaya kehidupan tanpa batas kepada seluruh umat manusia.

Tugas kita sesungguhnya adalah mempersiapkan investasi amal kebajikan sebagai bekal kehidupan yang tanpa mengenal batas itu. Islam mengajarkan sikap produktif, kreatif, dan kerja keras untuk berprestasi yang akan menjadi amal jariyah, sekalipun sudah diketahui bahwa besok akan terjadi kiamat. Rasulullah SAW bersabda: 

“Seandainya kiamat akan terjadi dan di tangan salah seorang dari kamu ada cangkokan kurma, maka bila ia masih bisa menanamnya, maka lakukanlah itu,” (HR. Ad Daramiy).

2. Selalu Muhasabah

Bulan Ramadan mengajarkan agar kaum muslimin selalu bermuhasabah atau evaluasi diri terhadap amal perbuatan yang telah dilakukannya. Kesadaran ber muhasabah akan mengantar seorang muslim pada kehidupan yang penuh disiplin, menghargai waktu dan memanfaatkan dengan baik jatah umur yang dianugerahkan kepadanya. Jika tidak cerdas menghargai waktu, maka ia akan tergilas oleh proses perjalanan waktu itu sendiri yang tidak mengenal pemberhentian. ALLAH SWT memerintahkan agar manusia selalu memperhitungkan proses perjalanan waktu itu, sebagaimana firman­Nya dalam QS. Yunus ayat 5:

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). ALLAH tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang­orang yang mengetahui.”

3. Menciptakan Nilai Plus

Ramadan mengajarkan agar kaum muslim mampu menciptakan nilai plus dalam setiap tahapan perjalanan hidupnya. “Bukankah kualitas amal-ibadah dalam bulan Ramadan memiliki nilai plus?” Kualitas yang demikian itu seharusnya dapat dilanjutkan dalam kehidupan sosial. Itulah sesungguhnya hakekat dan karakteristik seorang muslim yang selalu berusaha meningkatkan kualitas hidupnya, amal-ibadahnya dari saat ke saat. Nabi SAW mengingatkan:

“Barang  siapa  yang harinya hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang sukses.” 

4. Menanamkan Kesadaran Ketuhanan

Ramadan mengajarkan tentang nilai-nilai kejujuran. Kejujuran adalah sumber segala kebaikan, tetapi ketidakjujuran menjadi sumber malapetaka. Keterpurukan bangsa ini adalah sebagai akibat karena kita sudah kehilangan milik yang paling berharga, yaitu kejujuran. Untuk menumbuhkan kejujuran pada diri seseorang, maka lebih dahulu haruslah mampu mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Manusia akan mulia jika ia bisa memenangkan pertarungan terhadap nafsunya. Sebaliknya manusia akan hina apabila ia dikendalikan nafsunya. Hawa nafsu adalah musuh manusia yang paling besar, ia adalah musuh yang bercokol dalam diri manusia yang lebih berbahaya dari musuh nyata di medan perang. Tidak heran, jika Nabi mengingatkan kaum muslim, setelah beliau kembali dari Perang Badar :

“Kita baru saja kembali dari perang kecil dan akan menghadapi perang lebih besar.”

Para sahabat yang mendengar peringatan itu merasa kaget. Mereka beranggapan bahwa Perang Badar yang banyak menelan korban itu adalah perang terbesar yang pernah mereka alami. Karena itu, mereka bertanya kepada Nabi:

“Apa yang dimaksud dengan perang terbesar itu, hai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: النَّفْسِ  جِهَادُ yaitu, “Jihad melawan hawa nafsu.”

Ibadah puasa Ramadan merupakan senjata ampuh untuk melumpuhkan godaan nafsu itu. Ibadah puasa bagi seorang muslim akan mengantarkannya lebih dekat pada ALLAH dan merasakan kehadiran-Nya. Semakin dekat seseorang kepada-Nya akan semakin jauh dia dari godaan nafsu. “Kenapa seorang yang berpuasa tidak mau makan dan minum, sekalipun dalam keadaan kesendirian di kamar, tidak ada seorang pun yang melihatnya, di tengah terik panasnya matahari, sedang di atas meja tersedia minuman dingin yang dapat menghilangkan rasa dahaga.”

Jawabannya, karena merasa bahwa Tuhan bersamanya. Merasakan kehadiran Tuhan, membuatnya akan terpelihara dari perbuatan terlarang. Kedekatan pada Tuhan inilah yang disebut “Takwa” sebagai tujuan akhir dari ibadah puasa. Inilah pelajaran berharga dari ibadah puasa yang kita laksanakan sebulan penuh dan sekaligus pelajaran yang ditanamkan oleh Rasulullah SAW kepada Abu Bakar pada saat mereka berdua  bersembunyi di Gua Tsur di bawah kejaran kafir Quraisy. Ketika Abu Bakar ketakutan karena kafir Quraisy sudah berdiri di mulut Gua, Rasulullah SAW mengingatkannya: “Hai Abu Bakar, apakah engkau meragukan bahwa di samping kita berdua ada ALLAH sebagai pihak yang ketiga.”

Kesadaran demikian haruslah diimplementasikan dalam kehidupan sosial dan diikutsertakan kemana dan dimana pun berada. Kesadaran tersebut membuat seorang hamba tidak akan melakukan pelanggaran, sekalipun memiliki kesempatan untuk itu. Kesadaran demikian itulah yang disebut kesadaran ketuhanan, yang juga disebut takwa; yang telah kita pintal sebulan penuh dalam Ramadan. Kesadaran itulah yang mengantarkan kita kepada Idul Fitri, kembali kepada kesucian, tanpa noda dan dosa, sebagaimana pada saat ibu melahirkan kita.

Akhirnya, marilah kita sambut hari kemenangan ini sebagai hari kelahiran kembali dengan sebuah komitmen kuat untuk mengutuhkan pengabdian kepada ALLAH TA’ALA sembari memanfaatkan waktu dengan berbagai hal yang lebih bermakna pada kehidupan yang akan datang.

Dengan komitmen demikian, Insya ALLAH kita dapat mewujudkan Negara adil dan makmur yang diridhai ALLAH SWT, dalam bingkai “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Gafúr;” Amín YA RABBAL ‘ALAMIN.

  • Bagikan