Oleh: MH Said Abdullah
Wakil Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo tidak setuju atas usulan dana dapil hingga Rp 20 miliar untuk masing-masing anggota DPR RI dalam RAPBN 2016. Sebagai sebuah usulan, sebagian kolega dan para politisi tidak salah. Sebab, negara, mengatur setiap warganya untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, tentang apapun untuk kebaikan masa depan bangsa. Apalagi, anggota parlemen sesuai dengan kewenangannya berkompeten dalam menyampaikan haknya dalam konteks budgeting selain legislasi dan pengawasan.
Begitu juga presiden, benar dalam posisinya berdiri yang tidak bersepakat tentang semesta pembangunan berbasis dapil. Ini mengacu kepada kondisi keuangan negara yang sedang cekak menyusul terjadinya penggergajian (penundaan) anggaran dalam APBNP 2016 yang mencapai Rp 133 triliun (di luar dana desa).
Dua argumentasi di atas perlu dicarikan jalan tengah supaya muncul kebenaran di saat yang tepat, serupa ijtihad politik. Sehingga, semua harus berdamai dengan keadaan manakala mimpi yang dibangun terlalu indah untuk diwujudkan.
Di luar usulan semesta pembangunan berbasis dapil, sebenarnya, pemerintah telah mengalokasikan program lain, yang sejatinya “berbasis dapil”. Pertama, pemerintah menggelontorkan dana alokasi khusus (DAK) untuk setiap kabupaten dan provinsi. Kedua, program tugas perbantuan di semua kementrian (lembaga), juga sasarannya tertuju untuk dapil para anggota DPR.
Apabila direnungkan, pembangunan semesta mana yang hakikatnya tidak berbasis dapil? Sebab, keseluruhan program pemerintah sejatinya tidak meninggalkan dapil, di luar usulan kolega politisi yang menghendaki dana pembangunan sebesar Rp 11,2 triliun bila setiap anggota parlemen mendapat takaran senilai Rp 20 miliar. Lebih dari ini, program DAK dalam RAPBN 2017 mencapai berada di kisaran Rp 59 triliun hingga Rp 70 triliun. Di posisi inilah anggota parlemen berwenang untuk melakukan control dan pengawasan.
Itu sebabnya, dapat dipahami ketidaksetujuan Presiden Joko Widodo terhadap pembangunan berbasis dapil sesuai kehendak anggota DPR yang dipatok masing-masing Rp 20 miliar. Ia sesungguhnya ingin mengajak “genjatan senjata” saat mana situasi keuangan saat ini tidak memungkinkan untuk melakukan itu.
Dari perspektif antropologi politik yang tak terkatakan, presiden dalam tafsir politik perjuangan, sesungguhnya hendak mengatakan; ngono yo ngono neng ojo ngono, lantaran negoro durung iso ngono saiki. Dalam bahasa penggemar band Noah, presiden hendak mengatakan; cobalah mengerti karena separuh aku, dirimu.
Selain itu, masing-masing komisi dengan mitra kerjanya telah memperjuangkan program yang (lagi-lagi), merepresentasikan keterwakilan di setiap dapil. Di ruang komisi, lahir keputusan antar mitra (legislatif-eksekutif) secara bersama-sama untuk pembelaan yang kokoh terhadap nasionalisme-dapil. Maka dari sisi penganggaran substantif, fakta budgetting-politik seperti telah disebutkan, telah bermatras dapil, yang dalam bahasa gaul presiden dalam tafsir humoris-causa berbunyi, apa sich yang nggak buat elu?
Oleh sebab itu, presiden berikut Fraksi PDI Perjuangan belum bersepakat soal semesta pembangunan berbasis dapil sebagaimana dimaksud kolega politisi masing-masing senilai Rp 20 miliar itu, dalam konteks saat ini, di sini, sesuai masa kekinian anggaran yang sesak nafas.
Memang, kebijakan ini berpotensi tidak populer bagi presiden dan PDI perjuangan, namun manakala pemerintah belum bisa hari ini (dengan segala perhitungan), tentu sikap ini memerlukan kearifan politik dan kebajikan cara pandang.
Dalam situasi itulah, posisi pemerintah ibarat simalakama politik. Satu sisi ia berhadapan dengan mitra kerja (parlemen) yang memiliki keinginan dan sudut lainnya ia berhadapan dengan kenyataan sesak nafas anggaran. Namun pemerintah tetap mengambil langkah yang diyakininya terbaik demi jati diri bangsa di tengah kemungkinan potensi ketidakpopuleran dirinya yang belum bersetuju atas usulan semesta pembangunan dapil ala DPR.
Situasi psikologis yang tidak nyaman ini juga terjadi pada pelaku dalam sejarah lama yang selalu dipersalahkan publik. Pertama, ada orangtua menaiki keledai diiringi anaknya yang berjalan kaki. Publik menilai orang itu tidak sayang anak karena merasa enak sendiri dengan membiarkan anaknya berjalan kaki mengiringi orangtuanya yang menunggang keledai. Posisi ini menyebabkan ketidaknyamanan dan karena itu, anaknya dinaikkan ke atas keledai dan dianggap salah juga sebab dinilai tidak punya prikehewanan atas keledai. Dua orang (anak dan orangtua) yang naik kedelai dianggap menyiksa binatang.
Kedua, saat dipersalahkan karena mendengar aspirasi itu, orangtua itu turun dari kedelai dan anaknya tetap tertinggal di punggung kedelai. Cara ini pun dianggap keliru. Anak itu dianggap tidak tahu diri sebab membiarkan orangtuanya berjalan pada posisi anak yang berada di punggung kedelai. Ketiga, anak itu diminta turun dan mereka (orangtua, anak, dan kedelai) berjalan begitu saja. Sekali lagi, ini juga dianggap tindakan bodoh karena tidak memanfaatkan kedelai sebagai sarana penunjang transportasi.
Keempat, orangtua dan anak itu melakukan adegan terakhir dengan menggotong kedelai ke pundak mereka. Tetapi, model ini pula dianggap gila karena dinilai terlalu sayang kepada binatang dengan menyiksa diri dan anaknya. Saat semua dianggap serba salah, benar kata penyair Mustafa Bisri, aku harus bagaimana?
Maka dari itu, butuh renungan supaya kehendak tidak selalu kongruen dengan asumsi hak yang pada waktu tertentu harus teramputasi karena keadaan yang tidak memungkinkan. Semesta pembangunan berbasis dapil itu hanyalah tamsil kecil dari kehendak lain yang jauh lebih massif tetapi tidak sepenuhnya memahami alam sekitar.
Di sini, perlu kearifan untuk; Pertama, seseorang memahami dirinya sendiri saat sendiri, ketika bersama orang lain dan saat mana berada dalam lingkungan yang tidak memungkinkan untuk memposisikan dirinya seperti yang diinginkannya. Kedua, seseorang bisa memahami orang lain dalam lingkungan dirinya dan di tengah public itu sendiri. Ketiga, memahami public di tengah massa dan di sekitar dirinya.
Pada saat tipologi diri dan publik diposisikan sesuai proporsinya, maka dalam hal menerima kebijakan yang mungkin dianggapnya tidak populer seperti semesta pembangunan berbasis dapil itu (sekedar menyebut contoh), bisa lebih mendewasakan dirinya dalam situasi yang diinginkann maupun yang tidak dikehendakinya bisa menjadi sederhana dan anggun.
Tetapi bila tidak tahu diri, orang lain dan lingkungannya, di posisi ini bisa merugi seperti yang terjadi pada Samukrah. Sosok ini memiliki kebiasaan memaksakan kehendak termasuk pada saat ia berperan sebagai Ken Arok dalam drama tradisional, Madura, ludruk.
Karena belum terlatih dan terbiasa bermain peran, ia memaksakan diri untuk menjadi Ken Arok. Saat tampil di atas panggung pada layar yang terkesiap, Samukrah berdiri dengan kostum raja lama, di hadapan para pentonton. Sambil meraba kumis tebal yang melintang di bawah hidungnya, lelaki itu tertawa, terbahak-bahak, ngakak sengakak-ngakaknya. Sejurus kemudian, dalam situasi yang serba ngakak itu, ia lupa sedang berperan sebagai apa. Lalu ia masuk lagi ke balik panggung dan menemui sutradara, lalu bertanya, “Peran saya apa?”.
Setelah mendapat penjelasan tentang peran dan bagaimana seharusnya berakting, Samukrah kembali ke panggung utama pasca layar disingkap. Sesaat setelah hendak acting, nafasnya tersengal. Ratusan pengunjung yang pada awal menyaksikannya pada adegan pertama, di adegan keduanya pengunjung melenyap. Dalam kesendirian itu, Samukrah tersadar; ada adegan yang diapaksakannya yang membuatnya kesepian, dan sunyi saat itu ia rasakan lebih perih dari sebilah belati. (Tulisan ini dikirimkan khusus untuk SultraKini.com)