RESENSI BUKU: Petahana dan Beberapa Fakta Pilkada 2020 Sulawesi Tenggara

  • Bagikan

Oleh M. ASWAN ZANYNU

DI atas kertas, petahana berpeluang besar menang dalam Pilkada. Tak perlu disebutkan satu per satu instrumen yang mereka dapat gunakan untuk menang. Mulai dari saat pertama kali memerintah, sampai jelang Pilkada berlangsung, selalu ada celah abu-abu yang mungkin untuk dipakai. Menariknya, tidak semua petahana beruntung. Ambil contoh kasus di Jawa Timur, lebih dari separuh Bupati petahana kalah dalam Pilkada. Dari 19 petahana yang maju, hanya 9 yang berhasil maju pada periode kedua. Di Sulawesi Tenggara kisah serupa juga ada. Bagaimana seharusnya kita membaca perilaku pemilih?

Secara praktis, perilaku dapat digambarkan sebagai hasil dari kecenderungan individu dan bentukan lingkungan. Meski jika ingin dijabarkan lagi secara lebih teoritis, variabelnya bisa banyak. Misalnya, kecenderungan individu bisa saja terdiri dari motif, nilai, atau keuntungan praktis yang dapat diperoleh. Sementara untuk variabel lingkungan, interaksi dengan individu lain, pengaruh keluarga, atau suasana sosial politik saat pemilihan berlangsung, dapat saja dipertimbangkan menjadi satu dari banyak hal yang mempengaruhi perilaku pemilih.

Takayuki Higashikata dan Koichi Kawamura (2015) pernah melakukan riset dari tahun 1999 sampai 2014 untuk menggambarkan perilaku pemilih di Indonesia. Mereka ingin melihat pertimbangan agama dan ekonomi yang digunakan oleh pemilih. Studi mereka menunjukkan bahwa pemilih yang sejak awal menjadikan sentimen agama (Islam) sebagai dasar perilaku mereka, akan terus konsisten menggunakan alasan tersebut dalam pemilu selanjutnya. Sementara masyarakat yang mengalami pertumbuhan per kapita yang tinggi, cenderung akan mempertahankan status quo alias mendukung petahana.

Pembaca yang budiman, Mohon Klik dan Isi FORMULIR SURVEI PEMBACA SULTRAKINI

Pada lingkup lokal, saat ini telah hadir buku berjudul “Potret Pilkada Serentak 2020: Di Tengah Pandemi Covid-19 Provinsi Sulawesi Tenggara” yang berikhtiar menjelaskan hal tersebut. Ada sepuluh bab di buku ini yang mengulas tentang sedikitnya tiga topik utama: 1) Nasib petahana, 2) Sepak terjang Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada, serta 3) Konflik dan Dimensi Lain Pilkada di Masa Pandemi. Buku yang memuat hasil riset peneliti-peneliti muda ini patut diapresiasi karena seolah merangkum apa yang terjadi dalam Pilkada 2020 di Kabupaten Kolaka Timur, Buton Utara, Konawe Selatan, Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Wakatobi, dan Muna.

Kisah petahana diulas dalam bab tentang Kolaka Timur, Buton Utara, dan Konawe Kepulauan. Netralitas ASN di Konawe Selatan dan Wakatobi tersaji dalam dua bab. Pilkada 2020 juga menggugah antusiasme pemilih seperti yang termuat dalam bab tentang Konawe Utara. Implikasi lain dari partisipasi ini adalah munculnya peluang konflik seperti yang terangkum dalam bab tentang Pilkada Kabupaten Muna. Ada pula fakta-fakta tentang pilkada di tengah pandemi yang mewajibkan edukasi dan penegakan protokol kesehatan di bab tentang Konawe Utara dan Buton Utara.

Kekurangan buku ini terlihat saat kita kembali menelaah narasi petahana. Sebagian pembaca mungkin ingin mendapat analisis yang lebih memuaskan tentang apa yang terjadi di Pilkada 2020. Misalnya, untuk kasus Buton Utara. Bagaimana menjelaskan seorang mantan petahana (Ridwan Zakariah), akhirnya dapat menang berhadapan dengan petahana (Abu Hasan)? Jika alasannya karena pemilih “membanding-bandingkan kinerja dan capaian antara pemerintahan Ridwan Zakariah dan Abu Hasan” (h.47), lalu bagaimana menjelaskan kemenangan Abu Hasan atas Ridwan Zakariah lima tahun sebelumnya? Padalah di tahun tersebut, hasil kerja Abu Hasan belum tampak.

Begitu pula analisis yang digunakan untuk menjelaskan kekalahan petahana di Pilkada Kolaka Timur. Buku ini menyebutkan bahwa penantang antara lain berhasil menggunakan isu infrastruktur jalan yang diabaikan oleh petahana selama mememang tampuk kepemimpinan (h.21). Menariknya, isu yang sama tidak berhasil digunakan untuk menggoyang petahan di Pilkada Konawe Kepulauan. Bagaimana menjelaskan dua fenomena yang bertolak belakang tersebut? Dengan menyebutkan faktor beasiswa sebagai hal yang menyebabkan petahana menang (h.191) di Konawe Kepulauan adalah sebuah simplifikasi. Bagaimana dengan konflik lahan yang terjadi antara warga dan perusahaan tambangan di Konawe Kepulauan? Mengapa hal tersebut dapat luput dari telaah?

Tentu analisis yang masih belum memuaskan rasa ingin tahu pembaca dapat dipahami karena para penulis yang masih tergolong peneliti pemula. Namun terlepas dari itu semua, buku “Potret Pilkada Serentak 2020” menarik untuk menjadi rujukan dalam menakar arah pembangunan demokrasi di Sulawesi Tenggara karena kekayaan data dan fakta Pilkada yang ditampilkannya. Sebab sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa Pilkada adalah salah satu indikator kualitas demokrasi. Kualitas tahapan Pilkada, ikut menentukan kualitas kehidupan politik kita. Saat ini, untuk kita. Kelak, untuk anak cucu kita.*

INFO BUKU

JUDUL: Potret Pilkada Serentak 2020: Di Tengah Pandemi Covid-19 Provinsi Sulawesi Tenggara

EDITOR: M. Najib Husain dan Sultrayansa

PENERBIT: Literacy Institute

TAHUN: 2021

TEBAL: xvi+288 halaman

  • Bagikan