SULTRAKINI.COM: Di hamparan lahan pertanian Sulawesi Tenggara, kebutuhan bawang merah terus menjadi perbincangan hangat. Meskipun dikenal sebagai tanah subur, wilayah ini masih bergantung pada impor untuk memenuhi permintaan bawang merah. Hal ini tentunya menjadi ironi bagi daerah dengan potensi pertanian yang besar seperti Sulawesi Tenggara.
Namun, asa untuk kemandirian bawang merah di tanah Sultra tak pernah padam. Pemerintah dan para pemangku kepentingan terus berupaya mencari solusi agar daerah ini mampu mandiri dalam produksi bawang merah. Usaha ini mulai terlihat ketika budidaya bawang merah yang sebelumnya terkonsentrasi di utara, yakni di Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara, mulai bergerak ke wilayah selatan, tepatnya di Kabupaten Bombana.
Mengapa Bombana? Bombana, dengan segala potensinya, dipilih sebagai sentra baru budidaya bawang merah. Salah satu desa yang menjadi sorotan adalah Desa Tampabulu. Di desa ini, petani mulai mencoba menanam bawang merah, sebuah langkah yang tidak mudah.
Bawang merah adalah komoditas dengan nilai ekonomi tinggi, menjadikannya sebagai salah satu pilihan pertanian yang menjanjikan. Akan tetapi, di balik peluang tersebut, terdapat berbagai tantangan, terutama bagi petani pemula.
Salah satu tantangan terbesar adalah biaya investasi yang cukup tinggi, terutama jika memilih benih dari umbi bawang merah. Keunggulan dari umbi ini memang waktu panennya yang lebih cepat. Namun, harganya yang mahal menjadi beban bagi petani yang baru merintis.
Sementara itu, penyakit tanaman seperti penyakit moler menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Penyakit ini tidak hanya merusak tanaman, tetapi juga menurunkan produktivitas, yang pada akhirnya mengancam pendapatan petani.
Langkah Nyata: Teknologi dan Pendampingan
Di sinilah peran akademisi dan institusi pendidikan tinggi menjadi penting. Untuk membantu petani mengatasi tantangan ini, Tim Pengabdian Pemberdayaan Desa Binaan (PDB) dari Universitas Halu Oleo (UHO) dan Universitas Lakidende (Unilaki) hadir dengan dukungan pendanaan multi tahun dari Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM) Kemendikbudristek tahun anggaran 2024.
Tim ini, yang terdiri dari Dr. Ir. Hj. Gusnawaty HS, SP, MP., Prof. Dr. Ir. Muhammad Taufik, M.Si., Rahim Aka, S.Pt., MP dari UHO, serta Dr Kalis Amartani, S.Si., MP. dari Unilaki, melakukan pelatihan dan penerapan teknologi budidaya bawang merah di Desa Watukalangkari dan Lameroro, Kecamatan Rumbia, Bombana.
Teknologi yang diperkenalkan ke mitra petani di Wonua Hoa dan Samarata cukup beragam, meliputi penggunaan bahan organik terfermentasi, aplikasi dolomit, perlakuan perendaman umbi bawang merah sebelum tanam, dan pengendalian penyakit moler. Teknologi ini sebelumnya belum pernah diterapkan oleh petani mitra, sehingga pelatihan tersebut sangat membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka.
Untuk mempermudah proses bimbingan teknis, dibuatlah demo farm seluas 0,75 hektar. Demo farm ini menjadi ajang praktik langsung bagi petani dan juga menjadi wadah belajar bagi mahasiswa. Mahasiswa yang terlibat dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) melalui rekognisi mata kuliah dan pelaksanaan tugas akhir diberi kesempatan untuk mengembangkan soft skill, seperti bekerja sama dengan petani, memimpin kelompok, dan menjaga kejujuran dalam pelaksanaan program.
Upaya ini tidak sia-sia. Berkat penerapan teknologi yang tepat dan pendampingan yang intensif, produktivitas bawang merah meningkat signifikan, mencapai lebih dari 3 ton per hektar, dari yang sebelumnya hanya di bawah 2 ton per hektar. Ini merupakan pencapaian yang luar biasa dan memberikan harapan baru bagi petani di Bombana.
Namun, pekerjaan belum selesai. Tantangan masih ada, khususnya dalam mitigasi penyakit moler. Biasanya, tindakan pengendalian dilakukan ketika gejala penyakit sudah muncul, yang seringkali terlambat dan membutuhkan waktu pemulihan tanaman yang lebih lama. Oleh karena itu, tim pengabdian dan petani perlu terus berkolaborasi untuk menemukan strategi mitigasi yang lebih efektif, agar keparahan penyakit dapat dicegah sedini mungkin.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, termasuk DRTPM, PT pelaksana UHO, Unilaki, mitra petani, mahasiswa, dan Pemerintah Desa Watukalangkari yang diwakili oleh Kepala Desa Syahrir. Kolaborasi ini menjadi contoh atau role model bagi masyarakat dalam mendukung program PDB-DRTPM, serta mendorong terwujudnya kemandirian pangan di Sulawesi Tenggara.
Perjalanan kemandirian bawang merah di Sulawesi Tenggara masih panjang. Namun, langkah-langkah yang telah diambil oleh berbagai pihak ini telah menunjukkan bahwa kemandirian bukanlah mimpi yang jauh dari jangkauan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan petani, cita-cita untuk menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai sentra produksi bawang merah yang mandiri semakin mendekati kenyataan.
Penulis: Gusnawaty HS, dkk | Editor: M Djufri Rachim (Redaksi SultraKini.com)