Samawa Pilkada Sultra 2024

  • Bagikan
Nasir Andi Baso
Nasir Andi Baso

Oleh: Nasir Andi Baso (Dosen Unsultra dan Pengamat Kebijakan Publik dan Politik)

Baliho berbagai ukuran mulai nampak di mana-mana. Pertanda menyambut tahun politik 2024, berupa pemilu kepala daerah dan juga pemilu legislatif, presiden plus wakil presiden. Di kota Kendari  ada baliho ukuran jumbo dengan judul PASTI atau Putra Asli Sultra Idolaku, Sultra Bersatu.

Judul dengan gagasan putra daerah adalah hal wajar-wajar saja dalam konteks pilkada untuk mewarnai pesta demokrasi itu. Istilah putra daerah di Idonesia adalah bagian proses identitas daerah yang sudah given sejak NKRI ada.

Adanya imbauan salah satu tokoh tentang perlunya Sulawesi Tenggara tahun 2024 dipimpin oleh putra Sultra, seakan menyadarkan banyak pihak bahwa itu hal yang wajar, karena sesuai dengan makna perjuangan pemekaran tahun 1964 dari Provinsi Sulselra.

Tokoh-tokoh pemekaran Provinsi Sultra saat itu sudah menyadari bahwa hanya dengan pemakaranlah maka daerah ini bisa tumbuh seperti sekarang, bahwa hanya dengan tokoh yang memiliki kedekatan sosio kultural yang paling paham tentang Sultra.

Pada pemekaran provinsi Sultra tahun 1964, jumlah kabupaten saat itu ada 4 yaitu Kabupaten Kendari, Muna, Buton, dan Kolaka. Dalam perjalanan disebut 4 pilar wilayah yang merepresentasikan secara geopolitik dan menjadi identitas sosiokultural Sultra yang saat ini sudah menjadi 17 kabupaten/kota.

Semangat membangun Sultra dengan tagline dari Sultra untuk Sultra tidak inkonstitusional, justru terlihat berani (nekad) apabila ada yang mengusung paguyuban daerah lain lalu secara eksklusif menjadi kendaraan politik di daerah tertentu. Tentu relasi partisipatifnya bisa menimbulkan polarisasi dan sentimen negatif. Harusnya berlaku pameo, di mana kaki di pijak di situ langit dijunjung. Hal ini merupakan nilai kearifan yang sangat relevan.

Sebuah publikasi oleh Kasnawati dan Sultan ( 2013) berjudul “Kampanye Politik Isu  Putra Daerah, dalam Hubungannya dengan Perilaku Pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulsel tahun 2013” menemukan faktor isu putra daerah mempengaruhi perilaku pemilih di wilayah tersebut. Maka, isu putra daerah untuk pilkada di Sultra karena masyarakat pada umumnya beranggapan putra daerah lebih paham, lebih mengatahui dan mengenal potensi dan kendala di daerahnya.

Di luar isu putra daerah, dalam sebuah diskusi terbatas, ada analisa yang menyatakan timbulnya kekhawatiran dengan adanya potensi pilkada nanti diwarnai dengan penggolontoran uang, permainan uang menjadi isu tersendiri. Sehingga memunculkan analogi miring pilkada berasa uang panas, panasnya hasil tambang. Tentang kebenarannya? Tanyakan pada rumput yang  bergoyang serta tanyakan pada tumbangnya pohon-pohon karena menggali tambang. Luar biasa miris, Sultraku menangis, wajah Sultraku meringis.

Memang dalam aturan hukumnya, persyaratan mengikuti pilkada secara normatif sudah menjelaskan bahwa setiap warga negara yang memenuhi ketentuan  perundangan-undangan memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri. Itu berlaku secara umum di NKRI, tetapi secara antropologi keberadaan suku, budaya, adat istiadat telah dibingkai oleh simbol bihneka tunggal ika. Sehingga wajar saja setiap daerah jika ingin memilih calon pemimpin daerahnya akan senantiasa mengedepankan kedekatan primordial.

Bagi kalangan elite dan cendekiawan lokal serta semua elemen masyarakat untuk mengantisipasi modus agitatif dan propokatif yang akan menggunakan segala cara mengarah ke konflik horizontal, namun kedewasaan berpolitik masyarakat Sultra sudah teruji beberapa kali pilkada, karena adanya nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi benteng bersama.

Maka jadilah Sultra yang sakina mawadah warahmah. Sultra yang penuh dengan kedamaian. Sultra yang penuh dengan kasih sayang serta penuh cinta kasih antara sesame. Sultra yang samawa pilkada 2024. ***

  • Bagikan