Sekelumit Romantisme dengan Adel Berty dan Buku Putih itu

  • Bagikan
Ridwan Demmatadju. (Foto: Akun facebook Ridwan Demmatadju)

Oleh: Ridwan Demmatadju

Baru saja saya selesai ngobrol santai di teras depan rumah Haning Abdullah mantan plt Dirut perusahaan daerah. Sebelum saya duduk di kursi plastik, aku berseloroh kepadanya dengan kalimat selamat memasuki usia pension sambil tertawa lepas. Dalam hati memang aku harus mengucapkan selamat karena sebagai pelaksana Dirut perusahaan plat merah milik Pemerintah Kabupaten Kolaka ini, dia tidak terjerat dengan kasus hukum, sebagaimana pendahulunya dua bahkan tiga petinggi di perusahaan yang berkantor di depan Rujab Camat Kolaka itu harus berakhir di rumah tahanan akbibat menyalahgunakan kewenangannya sebagai pimpinan.

Sebagaimana biasanya tiap kali saya berkunjung ke rumahnya, selalu ada segelas teh manis atau kopi untuk menemani obrolan kami berdua hingga berjam-jam. Setelah dua tahun mengendalikan perusahaan itu, dia masih seperti Haning yang aku kenal di Terminal Lama Kota Kolaka Tahun 1999. Tubuhnya masih tetap kurus sama seperti saya ini.

Obrolan kami dimulai dari soal tanaman bunga, bibit cabe yang baru saja disiramnya saat saya datang ke rumahnya sampai tentang daerah ini yang cukup kaya dengan sumber daya alam hingga soal peta politik menjelang pemilihan Bupati Kolaka 2018 nanti.

Sesekali kali, saya mengulang cerita masa lalu, saat Kolaka dinakhodai Drs.H.Adel Berty MSi yang memimpin dua periode, saya mengungkapkan beberapa bangunan penting yang lahir dari tangan seorang Bupati yang memiliki visi yang mampu menembus batas zamannya. Sebutlah Masjid Agung Khaerah Ummah kini jadi kebanggan masyarakat Kolaka, Jalan By Pass yang menghubung Kolaka-Pomalaa di jalur pantai bisa tembus Pomalaa, pembukaan dua jalur di Jalan Pramuka, Pelabuhan Samudera, Relokasi Pasar dan Terminal yang dilakukan saat itu, kini telah dirasakan langsung manfaatnya.

Saya dan Haning Abddullah saat itu bisa mengenal lebih dekat dengan Pak Adel Berty karena tugas kami sebagai wartawan yang bertugas melakukan peliputan mulai dari soal saluran air limbah rumah tangga yang tersumbat hingga tatanan politik dan pemerintahan meskipun kami dari media yang berbeda, saya di Harian Kendari Pos sementara Haning di Surat Kabar Mingguan TEGAS terbit di Makassar. Dari kedekatan itu, saya melihat sosok Pak Adel Berty sebagai seorang pemikir yang mampu mewujudkan ide, gagasannya dengan cita rasa seni yang tinggi. Masa kerja dan pengabdiannya kepada masyarakat Kolaka tak bisa dipungkiri, bahwa dia telah memberikan yang terbaik untuk Kabupaten Kolaka. Sehingga tidak elok rasanya kalau kita dengan mudah melupakan jasa dan karya nyata selama menjadi Bupati Kolaka.

Banyak cerita yang masih aku ingat dengannya, di saat melakukan kunjungan kerja bersama Gubernur Sulawesi Tenggara Drs. La Ode Kaimoeddin, MSi, untuk melihat penerapan program kerja Kementerian Perhubungan yang dimulai dari Pelabuhan Penyeberangan Ferry Kolaka-Bajoe sampai, Torobulu-Tampo. Saya ikut rombongan Menteri Perhubungan dan Anggota DPR-RI Drs.H.Anwar Adnan Saleh yang pernah menjabat Gubernur Sulawesi Barat setelah gagal menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara saat itu. Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara H.Hino Biohanis. Perjalanan melintasi darat dan laut selama dua hari terasa tidak melelahkan karena kehadiran musisi ternama tanah air kala itu Pance Pondaag. Ikut kunjungan kerja Gubernur atau Bupati itu, dibenak saya tidak lebih dari rekreasi menyenangkan di tengah beban dan tekanan deadline redaksi setiap saat.

Membicarakan sosok Adel Berty sebagai pribadi yang kompleks dengan gaya kepemimpinanya, dia juga bisa marah besar dihadapan stafnya yang tidak mampu bekerja baik, bahkan ada yang langsung dicopot dari jabatan. Prinsip dari hasil kerjanya memang harus sempurna, dia tidak mau asal-asal dalam bekerja untuk kebutuhan masyarakat Kolaka, kemampuannya memproyeksikan ruang dan waktu atas konsep dan idenya itulah yang membuat saya terkagum-kagum saat ini setiap kali saya melintasi dan memandang beberapa karya monumentalnya di Kabupaten Kolaka.

Konsep pembangunan yang berkelanjutan nampaknya dipahami dengan sangat detail, sehingga hari ini kita sebagai warga masyarakat Kolaka menikmati apa yang sudah diletakkan sebagai kontruksi dasar pembangunan di semua aspek kehidupan.Meskipun ada juga yang tidak berlanjut karena masa kepeimpinannya harus berakhir dengan cerita di meja hijau hingga harus mendekam beberapa tahun di rumah tahanan dengan dugaan kasus korupsi APBD saat itu.

Meskipun demikian banyak kalangan yang menilai kasus yang melilit Bupati Kolaka dua periode itu, tidak sepenuhnya murni kasus hukum, karena adanya fakta yang tidak terungkap dalam persidangan terkait perseteruannya dengan Gubenur Kaimoeddin yang menunjuk Drs H.Buhari Matta sebagai Pj. Bupati Kolaka untuk menggantikan Adel Berty. Saat itu, Kolaka terpecah jadi dua Pemerintahannya sebelum akhirnya Buhari Mattta benar-benar terpilih menjadi Bupati Kolaka lewat pemilihan di DPRD Kolaka.

Cerita miring soal Adel Berty menjadi menarik saat itu, seolah-olah dia adalah manusia yang penuh dosa dengan negeri wonua sorume ini. Padahal, semua kebijakan dan keputusan yang terkait dengan pembangunan itu, saya percaya semua diambil untuk kepentingan masyarakat. Namun selalu ada pihak yang mencari-cari kesalahan orang, apalagi sekelas orang nomor satu di Kabupaten Kolaka untuk menjatuhkan citra atau nama baik yang telah dibuatnya. Begitulah harga yang harus dibayar mahal seorang Adel Berty untuk kemajuan masyarakat Kabupaten Kolaka sampai harus “menebus dosa” dan kesalahan yang dilakukan saat menjadi Bupati Kolaka. Seiring perjalanan waktu, sosok Adel Berty di mata masyarakat Kabupaten Kolaka kini menjadi penting dalam jejak sejarah di Kabupaten Kolaka.Nilai kebaikan yang ditanam Adel Berty terasa masih dirindukan untuk menjadi tolok ukur keberhasilan seorang pemimpin daerah yang penuh dedikasi dalam bekerja untuk masyarakat.

Dalam catatan saya sebagai wartawan Kendari Pos saat itu, Kolaka di era Adel Berty harus diakui banyak kejutan-kejutan politik yang terdengar sampai pusat pemerintahan di Jakarta.Hanya di Kolaka ada dua Bupati, kemudian penetapan anggota DPRD terpilih ada dua versi yang berebut kursi di parlemen. Sehingga suhu politik di Kolaka saat itu bisa memanas, setiap saat meskipun tak ada sikap anarkis. Aksi unjuk rasa jadi pemandangan biasa di halaman kantor Bupati dan DPRD Kolaka. Kepiawai Adel Berty membaca irama politik pun menjadi kata kunci untuk melunakkan sejumlah kelompok yang menentang keputusan politiknya pada saat itu.Semua berujung damai tanpa ada pertumpahan darah. Adel Berty selalu menjadi hadir sebagai tokoh kunci dalam dinamika politik dengan sikapnya yang humanis. Meski harus diakui pula bahwa masih ada orang yang merasa dikorbankan.

Menyebut Kolaka tanpa nama Adel Berty sebagai manusia yang pernah bekerja dan berkarya untuk Kolaka ibarat sayur tanpa garam. Sebuah pengingkaran jejak sejarah Kolaka jika hal itu dilakukan oleh semua elemen masyarakat Kolaka hari ini.Karena jasa dan karya Adel Berty kita dengan mudah merasakan akses jalan dan jembatan hingga ke pelosok desa,dan masih banyak lagi manfaat langsung oleh masyarakat yang tidak disebutkan disini. 

Sebagai masyarakat Kolaka yang mengenal jalan pemikiran Adel Berty dalam meletakkan mascot dan konsep pembangunan berbasis agrobisnis dan pertambangan yang handal, tentunya melewati kajian komprehensif bersama orang-orang pilihannya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Salah satu yang menarik dari loncatan berpikir Adel Berty setiap kali dia ingin mewujudkan ide dan gagasannya itu, selalu terbuka dan mau mendengar saran dari orang-orang yang diajaknya bertukar pikiran. Di antara orang-orang “dekat” Adel Berty dan bisa memahami alur berpikirnya tersebutlah nama Wartawan SKM Tegas,mendiang Ridwan Moehammad Almarhum dan Moch.Yayath Pangerang, peneliti di LP3ST yang kini memilih bermukim di Luwu Timur. Dua nama ini juga menjadi penting dalam perjalanan Adel Berty meletakkan konsep pembangunan, walaupun keduanya berada di luar tatanan birokrasi Pemerintah Kabupaten Kolaka. Dari sekelumit obrolan saya dengan Haning Abdullah di teras rumahnya harus berakhir begitu saja, agar pertemuan itu punya jejak dan bisa menjadi ingatan di masa yang terus berlalu maka saya menulisnya sekalipun ini dianggap tidak penting untuk dibaca oleh masyarakat di Kolaka.

Penulis merupakan mantan Wartawan Harian Kendari Pos di Kolaka. Kini bekerja sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Latambaga.

  • Bagikan