Selain Pelajar SMP Buton Selatan, 64 Ribu Perempuan di Bawah Umur Menikah pada Masa Pandemi

  • Bagikan
Pasangan MG (14) siswa SMP kelas 7 dan FNA (16) siswi SMP kelas 9 yang telah syah menikah pada Sabtu, 6 Maret 2021.
Pasangan MG (14) siswa SMP kelas 7 dan FNA (16) siswi SMP kelas 9 yang telah syah menikah pada Sabtu, 6 Maret 2021.

SULTRAKINI.COM: Komnas Perempuan Indonesia melansir sebanyak 64.000 anak perempuan Indonesia di bawah umur dikawinkan pada masa pandemi tahun 2020 lalu. Satu pasang diantaranya di Buton Selatan, Sulawesi Tenggara, yakni pelajar SMP di Batauga.

Komnas Perempuan menghimpun data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung menyebutkan dalam lima tahun terakhir dispensasi pernikahan melonjak tajam terutama dalam dua tahun terakhir. Pada 2016 ada 6.488 dispensasi yang dikabulkan; 2017 ada 11.819; 2018 terdapat 12.504; pada 2019 ada 23.126; dan pada 2020 sebanyak 64.211.

“Dispensasi pernikahan [di bawah umur] yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama [tahun 2020] dibandingkan tahun sebelumnya ini meningkat 300 persen,” kata Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati saat memaparkan laporan catatan tahunan 2021 melalui diskusi daring, Jumat (5/3/2021) seperti dikutip tirto.id.

Ada beberapa hal yang menyebabkan tingginya angka dispensasi pernikahan tersebut. Salah satunya adalah adanya celah pada perubahan Undang-Undang tetang Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 yang mulai berlaku 15 Oktober 2019.

UU ini memuat dispensasi pernikahan atau hak untuk menikah meskipun belum berusia 19 tahun. Dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 16 Tahun 2019 menyebutkan, dispensasi pernikahan diberikan atas alasan yang mendesak, terpaksa, dan harus dikuatkan dengan bukti-bukti yang mendukung. Pengecualian pernikahan di bawah umur dengan syarat “kondisi yang mendesak” inilah celah hukum pernikahan di bawah 19 tahun.

Celah hukum dimaksud pun telah dimanfaatkan oleh pasangan pelajar SMP di Buton Selatan. MG (14) siswa SMP kelas 7 dan FNA (16) siswi SMP kelas 9 pun akhirnya syah dinikahkan oleh pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara pada Sabtu, 6 Maret 2021.

Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Batauga, Samsul Ridi, yang menjadi penghulu pada proses pernikahan itu mengaku sebelumnya telah ditolak namun keluarga kedua remaja bawah umur itu bersikeras sehingga melanjutkan sidang dispensasi di Kantor Pengadilan Agama Pasarwajo pada 23 Februari.

Baca: Pasangan Siswa SMP di Busel Sah Menikah, Keluarga: Demi Menghindari Hal Tidak Diinginkan

Setelah mengikuti prosedur persidangan di tingkat kecamatan akhirnya dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan Pengadilan Agama mengamini pernikahan usia dini ini.

Korban perkawinan anak lainnya adalah Rasminah yang tinggal di sebuah desa terpencil di Indramayu, Jawa Barat. Saat ini ia menjadi tokoh gerakan menghapus perkawinan anak. Bersama dua perempuan korban kawin anak lainnya, Endang Wasrinah dan Maryati, Rasminah dibantu Koalisi Perempuan Indinesia (KPI) berjuang selama bertahun-tahun untuk membuat Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan revisi UU Perkawinan No.1/1974 soal usia kawin perempuan.

Permohonan itu baru dikabulkan setelah diajukan untuk kedua kalinya dan setelah perdebatan alot di DPR. Setelah menjalani proses yang panjang, akhirnya pasal soal usia kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun diubah.

Rasminah menikah di usia anak. Ia sempat beberapa kali kawin cerai sebelum berusia 18 tahun dan saat ini memiliki 5 orang anak.

Dikutip dari VOA Indonesia, Rasminah mengaku tak habis pikir saat diberitahu ada 34.000 permohonan disepensasi kawin yang diajukan mempelai di bawah usia tahun saat pandemi. Yang berarti saat pandemi jumlah pernikahan anak sangat tinggi. Angka tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga dalam diskusi pada November 2020.

Komisioner Komnas Perempuan lainnya Siti Aminah Tardi berpendapat, tingginya angka dispensasi pernikahan dini menjadi tanda bahaya, menyebabkan penurunan kualitas SDM Indonesia karena berarti anak anak perempuan terhenti pendidikannya.

Selain itu, berpotensi melahirkan anak stunting, meningkatkan angka kematian ibu, juga kekerasan dalam rumah tangga.

“Ini bahaya, karena berarti tujuan SDGs untuk menghentikan perkawinan anak dan RPJMN untuk peningkatan SDM tidak tercapai,” kata Siti kepada Tirto.id.

UU Perkawinan telah direvisi, tapi masih ada ‘celah’ yang memungkinkan pernikahan warga di bawah 19 tahun. Kementerian PPPA ajak kerja sama sejumlah kementerian lain.

Editor: M Djufri Rachim (Diolah dari berbagai sumber: VOA, Tirto.id, Kompas.com, dan SultraKini.com)

  • Bagikan