Seminar Literasi Media: Ini Delapan Alasan Penyebar Hoax

  • Bagikan

SULTRAKINI.COM: Hoax atau informasi bohong kini berkembang di Indonesia dengan menggunakan aneka media sosial dan media pers. Bentuknya berupa pesan berantai, tautan website, dan penyebaran foto dan video dengan modus minta like, komen, dan share.

Pengurus organisasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) pusat, Jumrana dalam penelitiannya tahun 2017, menemukan sedikitnya delapan alasan mengapa orang suka menyebarkan berita hoax, yakni untuk kepuasan, kesenangan, membalas postingan teman, untuk mencounter berita lain, memviralkan informasi, karena menganggap informasi yang disebar adalah benar, menguatkan ideologi, serta ada pula yang tidak mempunyai alasan apa pun dalam menyebarkannya.

Jumrana yang juga dosen pada Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Halu Oleo (UHO) mengungkapkan hal itu ketika membawakan materi pada seminar nasional yang diselenggarakan Jurusan Komunikasi FISIP UHO bekerjasama dengan Mafindo di salah satu hotel di Kendari, Sabtu (31 Matret 2018).

Seminar dibuka oleh Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UHO, Masrul bertajuk Literasi Media di Era Digital diikuti ratusan mahasiswa dari Jurusan Ilmu Komunikasi dan Jurusan Jurnalistik kampus terbesar di Sulawesi Tenggara tersebut.

Selain Jumrana, tampil sebagai pembicara utama dalam seminar adalah Komisaris SultraKini.com, M Djufri Rachim. Pemateri lain adalah sejumlah dosen ilmu Komunikasi FISIP UHO, diantaranya adalah Saidin, Sitti Utami, Hasriyani Amin, dan Ikrima Nurfikriah.

Lebih lanjut Jumrana menjelaskan bagaimana perasaan penyebar hoax setelah menyebarkan kabar bohong melalui media sosial, utamanya facebook, yakni mereka beranggapan bahwa itu tidak apa-apa karena hanya di dunia maya.

“Santai saja, itu kan hanya di dunia maya dan tidak berkomunikasi secara langsung,” demikian Jumrana mengungkapkan alasan-alasan orang yang menyebarkan hoax.

Fenomena temuan penelitian tersebut, kata Jumrana, menguatkan apa yang disebut oleh Smuller sebagai penyebab Online Disinhibition, dalam beberapa hal;

1. Dissociative anonymity, yakni berinteraksi tapi tidak saling mengenal.
2. Invisibility yakni tidak saling melihat dan mendengar.
3. Asinchronicity yakni komunikasi bersifat asinkron, tidak realtime.
4. Solipsistic introjection yakni komunikasi dalam ruang imajinasi di kepala.
5. Dissociative imagination yakni menciptakan karakter imajiner di dunia maya.
6. Minimation of authority yakni kesetaraan, kesempatan yang sama dalam menyuarakan dirinya.

Sementara itu, M Djufri Rachim menyebutkan sedikitnya tiga dari dampak hoax, yakni dibuat untuk tujuan tertentu, baik kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan. Kemudian, hoax membawa dampak yang kurang lebih fitnah, dengan skala serta dampak yang lebih besar dan luas, karena menyangkut seorang tokoh besar, organisasi atau kelompok tertentu.
“Selanjutnya informasi hoax menjadi pemicu munculya perselisihan, keributan, juga menyebarkan kebencian,” jelas Djufri sambil menunjuk contoh kasus foto hoax yang coba memanfaatkan perselisihan dua kelompok masyarakat di Kota Baubau pada Jumat kemarin.

Diungkapkan, sesaat setelah terjadi penyerangan dua kelompok muncul foto seorang perempuan yang tertancap anak panah di lengannya, seolah-olah itu kejadian di Baubau. Padahal itu adalah peristiwa di daerah lain.

Dari contoh tersebut, kemudian media pers bisa mengambil peran meluruskan hoax yang beredar di tengah-tengah masyarakat. “Menyikapi hal itu, misalnya SultraKini.com sebagai media pers kemudian meluruskan informasi dengan mengutip pernayataan kepala kepolisian setempat,” kata Djufri.

Laporan: shen

  • Bagikan