'Sengatan' Kenaikan TDL dan Pencabutan Subsidi Listrik

  • Bagikan

Oleh: Hasni Tagili, S.Pd., M.Pd.

(Dosen & Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Sultra)

 

Listrik merupakan salah satu instrument utama bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas roda perekonomiannya. Tanpa listrik, ketimpangan ekonomi tidak bisa dihindarkan. Namun, apa jadinya jika instrumen kebanggan rakyat itu mengalami kenaikan tarif? Sampai harus mengalami pencabutan subsidi?

 

‘Sengatan’ Kenaikan TDL

Lagi! Rakyat dibebani dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Berdasarkan surat edaran Penetapan Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (Tariff Adjustment) bulan Juni 2016 yang dikeluarkan oleh PT. PLN (Persero) per tanggal 19 Mei 2016, harga tarif listrik untuk rumah tangga di tegangan rendah naik dari Rp. 1353 per kilo Watt hour (kWh) menjadi Rp. 1364 per kWh. Sedangkan untuk tegangan menengah naik dari Rp 1041 per kWh menjadi Rp 1050 per kWh. Adapun untuk tegangan tinggi naik dari Rp 932 per kWh menjadi Rp 940 per kWh.

 

Bahkan pemerintah telah berencana menaikkan TDL golongan 900 VA (tegangan rendah) per 1 Juli mendatang. Tarif baru yang dibebankan kepada rakyat adalah Rp. 1400 per kWh. Ironis!

 

Salah satu penyebab terjadinya kenaikan tarif tersebut akibat dikuranginya subsidi listrik sepanjang pertengahan sampai akhir tahun 2016. Sementara itu, Kepala Divisi Niaga PLN, Benny Marbun, menjelaskan bahwa kenaikan tarif listrik bulan Juni disebabkan adanya penguatan mata uang dolar AS dan harga minyak mentah Indonesia dari bulan Maret menuju April (31/05/2016).

 

Menurutnya, tarif listrik mengikuti mekanisme tariff adjustment. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS mengalami penurunan dari Rp 13.193 per dolar AS menjadi Rp 13.180 per dolar. Harga minyak mentah Indonesia turut mengalami kenaikan dari 34,19 dolar AS per barel menjadi 37,20 dolar AS per barel. Akibatnya, inflasi tidak dapat dihindari. Inflasi naik dari 0.19%  menjadi -0.45%.

 

Ditemui di kantor pusat BPS, Muhammad Sairi Hasbullah, Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), menilai bahwa setiap terjadi kenaikan tarif, termasuk listrik, beban ekonomi rumah tangga masyarakat ekonomi kelas rendah akan meningkat dan berdampak pada daya beli yang semakin rendah pula (okezone.com, 18/04/2016).

 

Tentu saja kenaikan ini akan memberikan dampak negatif pada perekonomian masyarakat akibat tingginya beban yang harus dibayarkan oleh mereka. Terlebih di bulan suci Ramadhan, fokus masyarakat akan terbagi antara beribadah dan memikirkan beban hidup. Sungguh ‘kado lebaran’ yang menyengat!

 

‘Sengatan’ Pencabutan Subsidi Listrik

Setali tiga uang! Pencabutan subsidi listrik juga memberi ‘sengatan’ pada masyarakat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, telah mewacanakan pencabutan subsidi listrik 900 VA secara bertahap setelah hari raya lebaran. Pihaknya sedang menunggu keputusan resmi dari Presiden Joko Widodo. Pernyataan tersebut dilontarkannya ketika ditemui di kantor Wakil Presiden, Jakarta (09/062016). Ironi ‘kado lebaran’ lainnya!

 

Keputusan untuk mencabut subsidi listrik 900 VA ini dilakukan berdasarkan hasil kajian oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang dipadu-padankan dengan data milik PT PLN yang menujukkan adanya indikasi subsidi listrik yang tidak tepat sasaran selama ini. Per Maret 2016, jumlah pelanggan rumah tangga 900 VA sebanyak 22.8 juta. Dari angka sebesar itu, ditemukan ada 18.7 juta rumah tangga mampu pengguna daya 900 VA yang ikut menikmati subsidi. Artinya, hanya kurang lebih 4 juta rumah tangga yang sebetulnya layak mendapatkan subsidi (republika.co.id).

 

Pencabutan subsidi ini akan dilakukan sebanyak 4 tahap, dimulai pada Juni 2016 hingga pada akhirnya subsidi akan hilang sepenuhnya pada Desember tahun ini. Sehingga, tarif listrik untuk golongan 900 VA akan mengikuti harga perekonomian dengan mengacu pada tarif penyesuaian setiap bulan. Pencabutan ini sekaligus menandai pemindahan alokasi subsidi listrik rumah tangga kepada sektor pembangunan yang produktif.

 

Ditemui usai menghadiri acara diskusi di Hotel Darmawangsa, Direktur Jenderal Ketenagakerjaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jarman,  menyebutkan bahwa kenaikan tarif listrik golongan 900 VA akan dilakukan dengan kenaikan tarif sebesar 23 persen setiap tahapnya.

 

Angka 23 persen kenaikan serta skema bertahap diyakini ideal untuk mencegah adanya inflasi yang melonjak akibat kenaikan tarif listrik (27/04/2016). Menurutnya, pelanggan untuk golongan 900 VA memperoleh subsidi listrik sebesar Rp 766 per kWh. Subsidi ini membuat pelanggan hanya dikenai tarif sebesar Rp 586 per kWh dari tarif keekonomian yang berada di harga Rp 1.352 per kWh. Subsidi yang ditunggu pemerintah saat ini sebesar 56.5% dari beban listrik.

 

Rencananya, secara bertahap subsidi ini akan dihilangkan. Tahap pertama pada pertengahan tahun ini, tarif listrik golongan 900 VA akan dinaikan 23 persen menjadi Rp 722 per kWh.

 

Selang dua bulan berikutnya, pada Agustus 2016 tarif yang sebelumnya sudah naik akan kembali dipangkas subsidinya sehingga tarif merangkak ke harga Rp 890 per kWh. Pada tahap ketiga, subsidi kembali dipangkas sebesar Rp 207 per kWh sehingga tarif listrik naik menjadi Rp 1.097 per kWh. Keempat, pada akhir tahun ini pemerintah akan mengurangi lagi sisa subsidi sebesar Rp 255 per kWh.

 

Pada akhirnya, subsidi listrik dengan sendirinya akan hilang. Hal ini dianggap sebagai kemandirian rakyat yang merupakan kunci sukses pembangunan, walaupun harus mengabaikan  jeritan rakyat miskin yang malang.

 

Akar Masalah

Teknologi listrik merupakan teknologi tinggi sehingga alat-alat listrik masih harus diimpor dari luar negeri. Selain itu, banyak jaringan dan alat-alat yang sudah tua karena tidak adanya biaya investasi sehingga harus dilakukan pemadaman listrik bergilir. Makin tingginya harga yang harus dibayar untuk investasi di bidang listrik adalah dampak dari menurunnya nilai tukar rupiah.

 

Dengan alasan APBN terbatas, pemerintah mengundang swasta untuk ikut membangun fasilitas pembangkit dan transmisi listrik. Swasta menjawab undangan ini dengan meminta kontrak karya (keharusan PLN membeli listrik mereka).

 

Oleh karena itu, investasi ala kapitalis semakin memperkeruh permasalahan ini. Belum lagi diperparah dengan masalah lain seperti korupsi dan efisiensi dalam pengelolaan listrik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ekonomi kapitalisme mengajarkan pasar bebas; yakni pengelolaan ekonomi yang diserahkan kepada pihak swasta melalui mekanisme pasar bebas. Alasannya, semakin sedikit negara ikut campur dalam urusan ekonomi, akan semakin baik ekonomi negara tersebut.

 

Konsep inilah yang telah menjadi ‘penjara’ bagi serangkaian pengembangan teori ekonomi konvensional. Solusi tambal sulam terus bergulir mengakibatkan satu per satu perusahaan milik negara diprivatisasi dan didivestasi sehingga menjadi milik swasta asing. Nyatalah, ‘penjajahan’ mereka terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia tetap dapat dilanggengkan.

 

Solusi Sistemik-Islami

Teori ekonomi kapitalis memandang bahwa seluruh harta kekayaan di muka bumi bebas dimiliki oleh individu. Berbeda dengan teori ekonomi syariah Islam, dimana harta kekayaan yang ada di muka bumi mempunyai kejelasan status kepemilikan. Status tersebut dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizhom al-Iqtishadi fi al-Islam).

 

Berdasarkan klasifikasi kepemilikan tersebut, pengelolaan listrik merupakan bagian dari energi (an-naar) yang merupakan kepemilikan umum. Artinya, negara ditetapkan sebagai wakil rakyat untuk mengatur produksi dan distribusi energi tersebut untuk kepentingan rakyat.

 

Melalui paradigma inilah, Islam memandang negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum tersebut, apalagi diserahkan kepada pihak swasta asing. Jika pun rakyat sampai harus membayar listrik, hal itu hanya sekadar untuk menutupi biaya operasional atau biaya produksi tanpa harus membayar biaya keuntungan. (Ab-durrahman al-Maliki, as-Si-yasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla).

 

Sehingga tidak sepantasnya menjadikan listrik sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan kepada rakyat, apalagi memberi kesempatan kepada pihak swasta/swasta asing untuk menguasai komoditi listrik. Sebab, hal tersebut menggambarkan pengalihan tanggungjawab negara kepada rakyat untuk mengelola listrik. Terlebih, tindakan pemadaman listrik bergilir merupakan kebijakan yang sangat merugikan rakyat.

 

Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk memaksimalkan perannya, yaitu bagaimana agar hak milik rakyat (umum) tersebut dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Termasuk dalam hal pengelolaan listrik yang telah menjadi tanggung jawab mereka. Negara harus mengupayakan secara optimal pengelolaan listrik tersebut karena rakyat sangat membutuhkannya.

 

Kesalahan tidak sepenuhnya milik PLN. Cengkeraman neo-liberalisme dan kapitalisme global lah yang sampai saat ini menjadikan Indonesia terpuruk. Cengkeraman tersebut hanya dapat dilumpuhkan dengan penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan di bawah naungan Daulah Khilafah.

 

Wallahu ‘alam bisshawab. 

  • Bagikan