Sepanjang 2018, 112 Miliar Kosmetik Ilegal Disita BPOM

  • Bagikan
Sepanjang 2018, 112 Miliar Kosmetik Ilegal Disita BPOM. foto: Buser KriminalSepanjang 2018, 112 Miliar Kosmetik Ilegal Disita BPOM. foto: Buser Kriminal
Sepanjang 2018, 112 Miliar Kosmetik Ilegal Disita BPOM. foto: Buser Kriminal

SULTRAKINI.COM: Memiliki wajah bersih dan berpenampilan menarik tentu impian setiap orang, khususnya kaum hawa. Hadirnya produk kecantikan dengan berbagai merek, membuat sejumlah konsumen tergiur tanpa memastikan keaslian dari produk tersebut. Padahal banyak merek kosmetik mengandung bahan berbahaya masih ditemukan di pasaran. Seperti temuan kosmetik ilegal oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Sepanjang 2018, BPOM menyita 112 miliar kosmetik ilegal atau yang mengandung bahan berbahaya (BB), bahan dilarang (BD) serta 22,13 miliar obat tradisional (OT) mengandung bahan kimia obat (BKO). Sedikitnya enam merek kosmetik ilegal dilarang beredar tahun ini, mengandung bahan berbahaya berupa pewarna yang dilarang dan logam berat.

Keenam merek kosmetik itu ialah Marie Anne Beauty Shadow 02, Marie Anne Beauty Shadow 07, dan QL Matte Lipstick nomor 07 sampai nomor 10. Izin edar keenam merek tersebut kini dicabut Badan POM karena diketahui memakai bahan pewarna berbahaya. Walaupun sebelumnya, sempat memiliki izin edar.

Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito mengungkapkan, temuan kosmetik didominasi oleh produk yang mengandung merkuri, hidrokinon, dan asam retinoat. Secara umum bahan tersebut menyebabkan kanker (karsinogenik), kelainan pada janin (teratogenik), dan iritasi kulit.

Sementara itu, BKO yang teridentifikasi dalam temuan obat tradisional didominasi oleh sildenafil sitrat, fenibutazon, dan parasetamol yang berisiko menimbulkan efek kehilangan penglihatan dan pendengaran, stroke, serangan jantung, kerusakan hati, perdarahan lambung, hingga gagal ginjal.

Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Produk Kosmetik, Badan POM, Mayagustina Andarini, mengatakan peredaran kosmetik ilegal yang telah memiliki izin edar tersebut terungkap dari hasil pengawasan yang dilakukan pasca-edar atau post market evaluation.

Menurutnya, dalam pengawasan pasca-edar Badan POM mengambil contoh produk yang sudah dipasarkan di masyarakat secara acak.

“Produk kosmetik yang telah memiliki izin edar kami teliti sampelnya di laboratorium dan ternyata mengandung pewarna kimia berbahaya. Kami beri notifikasi dan izin edarnya pun kami cabut,” ungkapnya di Jakarta.

Penny Lukito menerangkan, Badan POM telah memperketat pengawasan dengan bekerja sama di forum internasional. Melalui forum tersebut, Indonesia akan mendapat informasi terbaru terkait merek kosmetik, obat tradisional, dan obat palsu berbahaya.

“Melalui post market alert system kita bisa segera mendapat informasi terbaru soal kosmetik maupun obat tradisional dan produk pangan yang berbahaya,” terangnya.

Kepala BPOM, Penny K. Lukito, menegaskan BPOM RI mengungkap 36 perkara tindak pidana obat terlarang yang mengandung BKO dan 45 perkara kosmetik mengandung bahan dilarang dan berbahaya. Keseluruhan perkara tersebut telah ditindaklanjuti secara pro-justitia

“Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, putusan tertinggi pengadilan perkara OT, yaitu pidana penjara 2 tahun dan denda 1 miliar rupiah, sementara perkara kosmetik dijatuhi sanksi berupa putusan pengadilan paling tinggi penjara 2 tahun 6 bulan dan denda 1 miliar rupiah,” ucap Penny.

Selain hasil temuan tersebut, BPOM RI juga menindaklanjuti hasil laporan Post-Marketing Alert System (PMAS) yang dilaporkan oleh negara lain, yaitu sebanyak 113 item kosmetik mengandung BD/BB dan 115 item OT dan suplemen kesehatan mengandung BKO. Semua temuan PMAS tersebut produk yang tidak terdaftar di BPOM RI.

“Sebagai peminat kosmetik ada baiknya untuk selalu memperhatikan keaslian dari produk yang dibeli. Ingat selalu cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa (KLIK). Pastikan kemasan dalam kondisi baik, baca informasi produk yang tertera pada labelnya, memiliki izin edar BPOM, dan tidak melebihi masa kedaluwarsa,” terang Penny.

Sumber: BPOM&Media Indonesia

Laporan: Hariati

  • Bagikan