Setelah Gagal CPNS

  • Bagikan
setelah gagal cpns foto: dilwan arfan

SULTRAKINI.COM: Lebih dari Topatimasang yang kagum melihat kecantikan remaja putri kala mengenakan seragam sekolah, saya justru jatuh hati pada Wanita yang mengenakan seragam PNS. Ia tampak anggun dan berkarakter. Tapi saya batal jatuh hati seiring mimpinya lolos CPNS yang belum terwujud. Ia mengalami kesuksesan yang tertunda saat mengikuti Seleksi Kemampuan Dasar (SKD) di Gedung Maedani, Kota Bau-bau.

Wanita itu adalah salah satu dari 4.416 peserta yang memerebutkan 428 kursi CPNS di Kabupaten Buton Selatan. Setelah mengikuti Computer Assisted Test (CAT) mimpinya dikubur untuk waktu yang tidak ditentukan. Ia tidak termasuk dalam 42 orang yang dinyatakan lolos SKD.

Peristiwa yang terjadi pada mantan calon wanita yang saya idami adalah kasus yang juga dialami secara umum di daerah-daerah lain. Misalnya di Sumatera Selatan. Dari 4.283 kursi yang disediakan hanya 13 orang yang dinyatakan lolos. Jumlah ini jelas lebih rendah bila dibandingkan Buton Selatan.

Selain jumlah kelulusan SKD yang rendah, penerimaan CPNS 2018 telah menghebohkan sejak pembukaan pendaftaran pada tanggal 26 September. Ribuan pegawai Honorer ribut soal penyelenggaraan CPNS. Keluh kesah disampaikan di jalan raya Ibu Kota. Aksi serupa juga digelar oleh Honorer di kotanya masing-masing dengan tuntutan yang sama: revisi batas usia persyaratan pendaftaran CPNS.

Sebetulnya, jumlah pelamar tahun ini tidak sesuai harapan. Pemerintah menargetkan 8 juta orang, tapi peserta hanya 4 juta-an orang. Kalau ditambah guru Honorer K2 yang berjumlah sekitar 1.53 juta orang, target jumlah pemerintah masih tetap belum terpenuhi.

Andai pemerintah tidak membatasi usia pelamar. Mereka yang telah mengabdi bertahun-tahun dapat unjuk gigi dan dapat dijadikan bagian dari modal politik 2019. Tidak perlu ada yang dirisaukan. Lagi pula tingkat kelulusan peserta juga sangat minim. Korwil Honorer K2 Jawa Timur (Jatim), Eko Mardiono mengatakan bahwa tingkat kelulusan Honorer K2 di daerahnya hanya sekitar 5 sampai 10 persen (jppn.com, 9/11/18). Di media itu juga diterangkan bahwa 110 kuota Honorer K2 di Kediri sepi peminat, hanya diikuti 44 orang dan yang lolos 12 orang.

Nilai ambang batas (passing grade) dan waktu pengerjaan soal dinilai sebagai akar masalah rendahnya tingkat kelulusan. Seratus soal dalam 90 menit. Waktu meluber saat mencerna soal, apalagi pada tema logika dan kepribadian. Begitu dalih bagi mereka yang mimpinya tertunda.

Standar tinggi mencerminkan mutu. Kalau meminjam istilah Mael Lee, content creator asal Medan, Panselnas itu bukan kelompok “kaleng-kaleng”. Soal dan standar yang Panselnas buat tentu saja melewati beberapa filter akademik. Bila standarnya dikurangi, kualitasnya berbanding lurus. Tes itu adalah alat ukur. Indikator pengukurannya bertumpu kepada dua hal: ketepatan dan tentu saja kecepatan. Membludaknya peserta yang belum lolos menandakan bahwa bukan otak yang perlu dibenahi, melainkan laptop yang digunakan saat ujian.

Meskipun banyak yang memecahkan cermin setelah wajah kusam dari biasanya, nyatanya ada juga yang berhasil. Bagi mereka yang lolos berlaku pepatah “hasil tak menghianati usaha”.

Pepatah itu juga tidak sepenuhnya berlaku. Teman saya mempersiapkan diri sejak hari kemerdekaan tahun ini. 100 hari hari ia belajar. Kerjanya di kamar berdzikir dan berpikir. Buku kiat CPNS berhasil dikhatamkan. Aplikasi simulasi CAT yang stand by di smartphone silih berganti ditamatkan. Usaha memang sudah maksimal, namun akhirnya manusia sekadar berusaha. Adapun hasilnya, DIA yang menentukan.

Ruang ujian SKD itu seperti medan perang. Pemenang tidak hanya ditentukan oleh yang giat berlatih. “Ada taktik yang harus dimainkan,” begitu kata pemilik Bimbel. Kekurangan teman saya mungkin di situ. Tapi, tidak juga. Teman saya ada yang ikut Bimbel CPNS, namun sama saja. Selain itu, saya juga percaya bahwa secerdas dan segiat apapun manusia, masih dapat dikalahkan oleh keberuntungan. Dalam istilah religius “rejeki tiap manusia sudah diatur.”

Mengeluh adalah salah satu sifat manusia Indonesia. Menyikapi fenomena CPNS, Peserta yang tidak lolos dan pemerintah mengeluhkan hal yang sama. Mereka bersepakat kalau passing grade lebih baik diturunkan. Ukuran utamanya letakkan saja kepada seleksi kemampuan bidang. Tentu saja ini adalah keinginan positif. Namun, Honorer K2, golongan usia 35 tahun ke atas, menanggapi hal itu dengan nada kurang sepakat. “Ya enggak boleh gitu. Mendingan formasinya dibiarkan kosong. Katanya kan mau cari PNS berkualitas,” kata Mardiono kepada jppn.com (9/11/18).

Oleh: Dilwan Arfan

  • Bagikan