Sistem Gagal, Koruptor Semakin Garang

  • Bagikan
Oleh : Mariana, S.Sos ( Guru SMPS Antam Pomalaa –Kolaka).Foto:ist

Di Negeri Ini sesungguhnya kata Korupsi, bukanlah sesuatu yang baru sebab hampir setiap hari di berbagai media diberitakan orang-orang yang terjerat kasus Korupsi. Di kutip dari SULTRAKINI.COM, Delapan anggota DPRD Kalimantan tengah terjerat operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat( 26/10/2018) malam. KPK juga mengamankan enam pihak swasta. Mereka yang diamankan telah tiba ke Gedung KPK Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. “ Diduga telah terjadi transaksi antara pihak DPRD Kalteng dengan swasta terkait pelaksanaan tugas DPRD dalam bidang perkebunan dan lingkungan hidup. Selain itu ada uang ratusan juta yang diamankan sebagai bagian dari komitmen fee( biaya),” jelas wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan dilansir dari Detik.com, Jumat(26/ 10/2018).  Tentu agak mengherankan sebab meski sudah berapakali terciduk dan terjerat hukum, tetap saja badai korupsi menerjang negeri ini,seolah ini adalah sebuah lingkaran setan yang tak berujung, padahal seperangkat hukum dan lembaga telah di buat untuk menghukum para koruptor, tapi sepertinya penjara dan hukuman tak membuat efek jera, buktinya yang korupsi makin banyak dan makin menggila.

Kapitalisme Liberal Akar Masalah Korupsi

Sesungguhnya,faktor penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang ada, yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor ideologis inilah, beserta beberapa faktor lainnya, menjadi penyebab dan penyubur korupsi saat ini. Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi anutan dalam masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berperilaku. Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan kepemilikan tersebut. (Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990).

Pada akhirnya, Demokrasi yang dianggap sebagai simbol suci karena mengatasnamakan suara rakyat, ternyata dalam prakteknya hampir belum ada satu pun Negara yang menerapkankan demokrasi yang benar-benar menjalankan amanah rakyat. Sebab orientasi kepentingan individu, partai, penguasa, dan pengusaha seringkali menunggangi setiap kebijakan yang muncul. Sehingga kata demokrasi berubah menjadi dari uang oleh uang dan untuk uang. Maka wajar saja, ketika menjabat pada posisi yang penting dalam pemerintahan yang dilirik adalah uang, banyaknya pejabat yang terjerat kasus korupsi menjadi bukti bahwa kekuasaan dalam sistem demokrasi merupakan jalan pintas mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Sebab, pada saat mau menjabat posisi penting di pemerintahan, juga harus mengeluarkan uang banyak, jadi ujung-ujungnya ketika telah menjabat maka target utamanya adalah mengembalikan modal yang telah habis terkuras. Jadi pastinya, yang di dikejar adalah proyek-proyek yang menghasilkan nilai materi, akibatnya korupsi menjadi sesuatu yang tidak terelakkan.

Dalam demorasi ada bagian penting yang seharusnya di pahami bahwa nilai-nilai sakral agama menjadi sesuatu yang tidak di butuhkan bahkan harus dipisahkan dari politik dan kalau bisa harus disingkirkan dalam wilayah kekuasaan, biarkan manusia yang mengatur urusan dunianya. Aturan seperti itu telah memberikan ruang kebebasan bagi manusia untuk melegitimasi berbagai aturan yang mereka buat berdasarkan kelemahan akalnya, puncaknya adalah ketika aturan yang di buat ternyata bukan untuk mengikat tetapi justru untuk di langgar oleh yang membuatnya sendiri. Inilah kebebasan yang kebablasan yang justru menghancurkan nilai-nilai moralitas. Banyaknya orang-orang yang hebat dengan kualitas iman yang baik ketika masuk dalam sistem demokrasi dan berjuang di dalamnya ternyata juga terpapar virus korupsi. membuktikan bahwa penyebab korupsi bukan hanya persoalan internal manusianya tapi juga peranan sistem yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai Spritual.

Korupsi Perlu Solusi

Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).

Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah : 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud).  (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).

Lalu kepada koruptor diterapkan sanksi apa? Sanksinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Tentu untuk memberantas Korupsi, dibutuhkan Political will dari pemerintah untuk membenahi regulasi dan melirik kembali sistem yang diberlakukan di negeri ini. Sebab tanpa keseriusan maka mustahil Korupsi dapat dihentikan, dan itu harus dimulai dari jabatan terpenting dalam struktur pemerintahan. Sebagaimana yang dikisahkan pada masa Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Berdasarkan laporannya, Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan. Karena itu, para pejabat punyalah sedikit sikap elegan kalau tak mampu mengurusi rakyat maka janganlah bermimpi menjadi penyalur aspirasi mereka, kalau tak mampu menahan diri dari godaan receh maka janganlah jadi pejabat sebab orientasi materi telah menjebak sebagian pejabat untuk bertindak sesuai kepentingan pribadi dan golongannya dan tidak peduli lagi dengan amanah rakyat padahal tugas mereka bukan untuk mensejahterakan diri, golongan atau pengusaha tetapi mereka diamanahkan untuk mengurusi rakyat yang mereka pimpin. Wallahu a’lam (***)

  • Bagikan