Solusi Konflik Penetapan Ibukota Butur dari Dr. Umran

  • Bagikan
Dr. Laode Muh. Umran menerima penyerahan gelar oleh pimpinan sidang Prof. Usman Rianse di gedung pascasarjana (26/1/2016). Foto: Sarini Ido/SULTRAKINI.COM

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Konflik penetapan ibukota dan kepemilikan sumber daya lahan di Kabupaten Buton Utara, menarik perhatian seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo, Laode Muhammad Umran.

Ia lantas menyusun disertasi dengan judul Pola Jaringan Komunikasi dan Model Resolusi Konflik berdasarkan studi kasus diatas. Alhasil, model pola komunikasi ini menjadi resolusi yang menyelesaikan konflik di belahan utara Pulau Buton itu.

Kajian penyelesaian konflik ini merupakan penelitian untuk mendapatkan gelar Doktor Bidang Ilmu Pertanian Konsentrasi Komunikasi Pembangunan.

Konflik pemindahan ibukota tersebut, dialami oleh dua kelompok masyarakat. Yang pertama adalah warga yang mendiami wilayah Kecamatan Kulisusu dan Kulisusu Utara yang berupaya memindahkan ibukota dari Buranga ke Kulisusu, kelompok ini disebutnya jaringan A.

Sementara kelompok masyarakat yang mendiami Kecamatan Bonegunu dan Kambowa, mempertahankan ibukota sesuai ketentuan undang-undang No. 14 tahun 2007 tentang pembentukkan Kabupaten Buton Utara di Sultra. Ini disebut dengan jaringan B.

Dalam pola konflik ini, diyakini peneliti terdapat pola baru, yaitu model tripolar. Model tersebut, berbentuk segitiga dengan memasukkan kelompok masyarakat yang mendiami Kecamatan Kulisusu Barat dan Wakarumba, yang disebut swing atau jaringan C. Kelompok masyarakat ini sangat tergantung pada kekuatan jaringan A dan jaringan B.

Penelitian yang dilakukan sejak Januari sampai Mei 2015 itu, menilai pemicu jaringan komunikasi konflik di Buton Utara terpola pada kondisi lingkungan, struktur sosial budaya, pola-pola kebersamaan dan muatan kepentingan tertentu dari masyarakat. Selain itu, penguat jaringan tersebut dipengaruhi juga peran aktor dari wilayah masing-masing.

Akan tetapi, jaringan komunikasi yang berkontribusi besar sebagai pemicu konflik, adalah jaringan kekuasaan. Jaringan sosial ekonomi juga menjadi konflik kepentingan kekuasaan tersebut.
Jaringan kekuasaan mengacu pada konfigurasi-konfigurasi saling keterkaitan, antara pelaku komunikasi yang didalamnya sengaja atau tidak diatur oleh kekuasaan.

Sehingga secara teoritis, dari enam jaringan pola komunikasi yakni jaringan kekuasaan, kepentingan, sosial-budaya, sosial budaya vertikal, sosial budaya horizontal, kepentingan politik, sosial-ekonomi dan jaringan lingkungan, terdapat suatu pola baru yang diyakini peneliti sebagai resolusi konflik, yaitu jaringan pemerintah pusat.

“Jaringan yang menciptakan resolusi, yakni jaringan pemerintah pusat. Karena peran pemerintah pusat harus mengawal Undang-undang No. 14 tahun 2007,” jelas Laode Muh. Umran ketika menjawab pertanyaan penguji ekternal yang berlangsung di Gedung Pascasarjana UHO, Selasa (26/01/2016).

Dosen yang akrab dipanggil Umran itu akhirnya menutup sidang yang dipimpin oleh Rektor UHO, Prof. Dr. H. Usman Rianse M.S, dengan mendapatkan gelar doktor dan meraih IPK 98,3.

Laporan: Sarini Ido
Editor: Gugus Suryaman

  • Bagikan