SULTRAKINI.COM: JAKARTA – Pembahasan RKUHP kembali diangkat oleh DPR dan pemerintah dengan alasan bahwa pengesahan RKUHP di tengah kondisi pandemi (wabah penyakit global) dapat menjadi solusi dari penanganan pencegahan Covid-19 dalam sistem peradilan pidana.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai hal tersebut tidak sepenuhnya tepat, mengingat saat ini penanganan Covid-19 haruslah menjadi prioritas utama pemerintah dan DPR.
“Pengesahan RKUHP tanpa pembahasan keseluruhan justru akan menambah panjang daftar masalah yang harus diselesaikan,” demikian siaran pers bersama LSM yang tergabung dalam Nasional Reformasi KUHP yang diterima Redaksi SultraKini.com, Jumat (3 April 2020)
LSM dimaksud masing-masing adalah ELSAM,
ICJR, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta,
PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, Wiki DPR, SEJUK, LBH APIK, LBH
Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, TURC, Jatam, ECPAT
Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu
Visi, PKNI,
Menurut mereka, jika pemerintah
dan DPR belum dapat fokus dan serius membahas masalah RKUHP, lebih baik
pengesahan dengan pembahasan sebagian ditunda terlebih dahulu, sehingga seluruh
fokus diarahkan kepada penanganan Covid-19,”
DPR seharusnya fokus melakukan fungsi pengawasan
terhadap pemerintah dalam penanggulangan COVID-19. Dalam kondisi Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) ini, seharusnya DPR dan pemerintah justru
memfasilitasi diskusi-diskusi online terkait dengan substansi-substansi RKUHP
untuk mensosialisasikan, mendapatkan masukan, dan menjangkau pelbagai pihak dan
seluas-luasnya.
Pandemi ini tidak boleh dijadikan kesempatan
untuk mengesahkan RUU yang masih mengandung banyak permasalahan dan tidak
dibahas secara inklusif. Aliansi Nasional Reformasi KUHP memiliki beberapa
catatan terkait dengan RKUHP yang masih harus diselesaikan:
Pertama, Pemerintah dan DPR harus kembali
mengevaluasi seluruh pasal-pasal yang ada di dalam RKUHP. Depenalisasi dan
dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana harus digalakkan, mengingat
kondisi overcrowding yang terjadi
saat ini salah satunya disebabkan oleh overkriminalisasi dalam peraturan
perundang-undangan yang juga gagal diatasi RKUHP.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat di dalam
draft terakhir per September 2019 masih terdapat pasal bermasalah yang
overkriminalisasi: Pasal hukum yang hidup di masyarakat, penghinaan Presiden
dan Pemerintah, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan,
kohabitasi, penggelandangan, aborsi, tindak pidana korupsi, contempt of court, makar, kriminalisasi
penghinaan yang eksesif, tindak pidana terhadap agama, rumusan tindak
pencabulan yang diskriminatif, tindak pidana narkotika dan pelanggaran HAM
berat.
Kedua, pembahasan RKUHP belum melibatkan lebih
banyak pihak yang akan terdampak dari penegakan RKUHP nantinya. Selama ini,
pembahasan hanya fokus dilakukan oleh ahli-ahli hukum pidana, tanpa
mempertimbangkan pendapat dari bidang ilmu lain yang terdampak seperti bidang
kesehatan, kesehatan masyarakat, kriminologi, pariwisata, dan ekonomi. Selain
penting melibatkan lebih banyak aktor, skala konsultasi pembahasan RKUHP tidak
boleh hanya berpusat di Jawa, perlu keterwakilan seluruh daerah di Indonesia
untuk menjamin KUHP di masa depan mampu ditegakkan hukumnya di seluruh wilayah.
Ketiga, melihat masalah COVID-19 saat ini,
masalah utama dalam penanggulangannya adalah bagaimana cara mengeluarkan
tahanan dan narapidana dari dalam Rutan/ Lapas. Masalah kelebihan penghuni,
utamanya, menjadi masalah tersendiri dalam pandemi ini. Belajar dari kondisi
ini, pemerintah dan DPR seharusnya dalam membahas secara serius tentang
alternatif-alternatif pemidanaan non-pemenjaraan. Masalah saat ini dikarenakan
tidak efektifnya alternatif selain pemenjaraan, DPR harus mampu memastikan
bahwa pemerintah memiliki instrumen dan sumber daya mumpuni untuk
mengefektifkan alternatif selain pemenjaraan. Supaya ke depan tidak perlu
memikirkan masalah overcrowding jika kondisi darurat kembali terjadi.
Selain menekankan catatan di atas, Aliansi
Nasional Reformasi KUHP meminta agar DPR dan pemerintah kembali membahas dengan
lebih teliti dan inklusif seluruh pasal dalam RKUHP khususnya yang berpotensi
memperburuk kondisi overcriminalization
yang mengakibatkan overcrowding Rutan
dan Lapas serta menekankan pentingnya membuka akses dan pengaturan lebih
komprehensif terkait alternatif pemidanaan non-pemenjaraan.
Apabila Pemerintah dan DPR masih memaksakan
melakukan pengesahan dalam waktu yang sempit ini terhadap pengaturan RKUHP yang
diyakini justru memperburuk kondisi pandemi COVID-19, maka Aliansi Nasional
Reformasi KUHP meminta pemerintah dan DPR segera menunda pembahasan tersebut
sampai dengan kondisi pulih.
Laporan: Shen Keanu