Sultra Punya Kita

  • Bagikan
Nur Alam. Foto: IST
Nur Alam. Foto: IST

Oleh Nur Alam (Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara)

Sulawesi Tenggara dengan ibu kota Kendari adalah negeri yang multikultural, dan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Potensinya tak sebatas hanya meningkatkan perekonomian secara nasional maupun global, namun juga sangat menguntungkan bagi perekonomian masyarakat Sultra.

Namun,        kian banyaknya perusahaan tambang yang mengeskplorasi dan  mengeksploitasi kekayaan alam Sulawesi Tenggara nyatanya belum optimal memberikan dampak ekonomi dan kesejahteraan pada masyakat lokal. Keberadaan para pengusaha tambang masih sebatas untuk meraup keuntungan pribadi semata.

Belakangan ini tensi persaingan (politik) di Sultra tampak semakin meningkat.

Hal itu tentu saja menimbulkan gejolak sosial di tengah masyarakat, yang kalau dibiarkan lebih jauh dapat menimbulkan percik api yang berujung pada keterbelahan.

Kesibukan berkompetisi di kalangan para politisi membuat mereka lupa bahwa Sultra adalah negeri yang plural, terdiri dari berbagai etnis suku, baik yang ada di daratan maupun kepulauan. Suku Tolaki, Mekongga, Buton, Wolio, Muna, Moronene, Kabaena, Wawonii, Bajau, dan Bugis punya hak yang sama untuk hidup damai dan sejahtera.

Politisi di Sultra sekarang lebih didominasi oleh orang-orang yang hanya berorientasi pada kekuasaan, dan bukan bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Padahal, menjadi politisi mestinya dimaknai sebagai panggilan hidup, bukan demi mengejar kekuasaan. Kalau kompetisi di antara politisi hanya mengejar ambisi mau berkuasa, akhirnya mereka rentan disusupi oleh kekuatan dari luar. Yang akhirnya kekuatan politik dan ekonomi di Sultra pun dikuasai oleh orang-orang non lokal.

Fenomena politisi yang hanya berorientasi pada kekuasaan bisa terjadi karena faktor tidak adanya kedewasaan politik. Hal itu biasanya dipicu oleh tak adanya sosok pemimpin yang dapat memberi contoh keteladanan. Pemimpin yang baik biasanya melahirkan kader-kader yang baik. Mereka (kader politik) membutuhkan keteladanan dalam hal pengelolaan emosi, spiritual, dan tujuan berpolitik yang positif (demi mengabdi pada negeri – bukan pada jabatan dan kekuasaan).

Kegaduhan juga tampak nyata di media sosial. Medsos kerap digunakan untuk menyerang dan menghina orang yang dianggap tak sepaham dan tak jarang bahkan digunakan untuk menjatuhkan lawan politik.

Medsos memang punya sisi paradoks; memberi manfaat positif sekaligus berdampak negatif. Ia juga ibarat pisau, yang bisa digunakan untuk kebaikan bisa pula dipakai untuk kejahatan. Karenanya, saya berharap masyarakat lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Kita harus mampu membedakan berita-berita hoax dan berita yang betul-betul mengungkap fakta (kebenaran).

Kekuatan dan kecepatan medsos menjangkau jutaan penggunanya dalam tempo singkat, membuat siapa saja yang berani menguak kebenaran di sana mesti berhadapan dengan resiko besar. Maka, kepada orang yang menggunakan medsos sebagai media untuk mengungkap fakta layak disebut “pahlawan”. Merekalah pahlawan transparansi yang akuntabel.

Perbedaan Adalah Fitrah

Jangan pernah lupa betapa pentingnya mengutamakan persatuan, meski ada perbedaan pilihan dalam soal pilihan politik dan tokoh kepemimpinan. Dalam hidup pun manusia senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan. Pilihan kita bisa jadi tidak sama, pendapat pun mungkin berlainan. Karena hal itu pula, kita bahkan bisa saja

berdiri di kutub yang berbeda. Tapi pada akhirnya, yang harus lebih dikedepankan adalah kerukunan dan persatuan. Karena sejatinya, kita semua di bumi Sultra adalah saudara.

Sulawesi Tenggara adalah daerah multi etnis dan multi kultural. Karenanya, jadikanlah perbedaan sebagai keberagaman yang merupakan berkah dari Tuhan. Jadikan keberagaman sebagai alat untuk menciptakan damai dan cinta. Jangan jadikan pemicu terjadinya perpecahan. Semua pihak hendaknya saling jaga, saling menghargai, dan saling merangkul.

Jangan lupa pula bahwa segenap kekayaan alam yang melimpah di Sultra adalah hak semua etnis dan suku di sana. Jadikanlah itu sebagai potensi kekayaan (daerah) yang harus dikembangkan sekaligus dipertahankan demi masyarakat Sultra yang damai, maju, dan selamat.

Kita harus sadar bahwa, negeri kita (Sultra) ini adalah negeri yang diperebutkan secara ekonomi karena potensinya yang luar biasa. Negeri yang seksi yang menjadi incaran dunia luar, yang akan mudah roboh kalau kita tidak punya struktur yang jelas untuk menjaganya.

Maka, yang perlu ditumbuhkembangkan dalam diri para politisi di Sultra adalah kesadaran tentang rasa memiliki, dan kemudian bersama-sama mengatur pengelolaannya, agar semua pihak dapat menikmati manfaat dari aktivitas ekonomi, sekaligus menjaga keberlanjutan.

Betapa pun, berpolitik itu hendaknya dilandasi oleh idealisme, etika dan nurani. Sehingga akan punya orientasi dan strategi yang jelas, dan akhirnya menjadi kuat sekaligus membumi dan merakyat.

Perlunya Budaya Politik

Yang dimaksud dengan budaya politik adalah aspek dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, yang dipengaruhi oleh situasi zaman dan tingkat pendidikan masyarakat itu sendiri. Partisipasi politik masyarakat sangat membantu berkembangnya budaya politik suatu daerah. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan.

Demokrasi merupakan media untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kalau demokrasi ditegakkan, ditambah dengan tingginya partisipasi rakyat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka masyarakat adil dan makmur bisa terwujud.

Maka, menjadi sangat penting membangun karakter budaya politik, sehingga kegiatan politik bukanlah panggung bermain bagi para elit, tetapi sebagai sarana mengabdi bagi pemenuhan kebutuhan dasar warga, dalam menciptakan kemaslahatan bersama. Politik yang cerdas dan berintegritas akan membawa Sultra yang lebih baik dan sejahtera.

Politisi yang baik adalah mereka yang memiliki mental membangun yang tinggi, yang ditandai oleh tiga hal berikut; pertama adalah keyakinan akan kemampuan untuk membangun daerah, dan mengatasi segala rintangan yang menghadang proses pembangunan. Yang kedua adalah, rasa bangga dengan identitasnya sebagai putra daerah, sekaligus bangga pada potensi yang dimiliki daerahnya. Dan ketiga, memiliki kepedulian individu terhadap daerahnya, sehingga dia mau berkomitmen menjadi bagian dari pembangunan.

Kesadaran Spiritual

Hidup tak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Meski setiap pagi matahari tetap terbit dari ufuk Timur, tapi musim penghujan sesekali bisa tak setia pada penanggalan. Karenanya, lihatlah hidup sebagai amanah, anugerah, sekaligus cobaan. Terima dan jalani dengan keimanan dan budi pekerti yang baik.

Ketika situasi yang terjadi di hadapan kita tak bisa lagi dicerna dengan akal dan logika, maka jalan paling menyelamatkan adalah melihatnya dengan kacamata iman

– kaca mata spiritualitas. Ketika Allah berkendak maka apa saja bisa terjadi.

Itu pula pilihan sikap yang saya ambil, ketika hakim yang mulia menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara, untuk kesalahan yang tidak bisa dibuktikan – untuk tiga tuduhan pelanggaran yang absurd.

Saya melihatnya, yang menjatuhkan vonis 12 tahun bukanlah para hakim dan jaksa, tapi Allah SWT yang tengah menguji dan akan mendudukkan saya di kelas yang lebih tinggi. Yang menjadi catatan penting bagi saya adalah, saya tidak berhutang (secara moral) kepada istri, anak, dan cucu saya, terlebih kepada bangsa dan negara. Saya memang untuk sementara harus terpisah ruang waktu dengan orang-

orang tercinta. Tapi itulah kehendak-Nya. Inilah khalwat yang harus saya jalani sebaik-baiknya sampai Dia berkata, “cukup!”

Mari lanjutkan perjalanan dengan modal kesadaran yang positif. Jalani dengan baik dan jangan pernah kehilangan akal sehat dan iman. Karena dua hal itulah bekal kita dalam mengarungi gelombang kehidupan, hingga kita sampai di batas pantai, di singgasana-Nya. ***

  • Bagikan