Disabilitas Mental Nyoblos, Bukti Demokrasi Keropos ?

  • Bagikan
disabilitas mental nyoblos, bukti demokrasi kropos

SULTRAKINI.COM: Jakarta, juru bicara tim kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin, TB Ace Hasan Syadzily menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan tuna gharita atau dikenal dengan disabilitas mental menggunakan hak pilihnya saat HYPERLINK “https://news.okezone.com/topic/38262/pemilihan-presiden” Pilpres 2019 mendatang.
Menurutnya, hak memilih merupakan hak dasar warga negara, termasuk hak perekaman e-KTP yang merupakan salah satu syarat sebagai pemilih.

“Menurut saya hak dia (disabilitas mental) sebagai warga negara untuk memilih adalah bagian hak dari konstitusional dan itu harus dihargai,” katanya keapada Okezone, Sabtu (24/11/2018).

Ketua DPP Partai Golkar itu menambahkan, putusan MK memiliki spirit untuk memberikan hak yang sama bagi kaum tuna gharita dalam pemilu. Meskipun, tidak semua penderita keterbelakangan mental dapat menggunakan hak pilihnya.

“Soal apakah yang bersangkutan akan menggunakan hak pilihnya atau tidak, itu nanti tergantung kesadaran dia. Menurut saya hak dia sebagai warga negara untuk memilih adalah bagian hak dari konstitusional dan itu harus dihargai,” ungkapnya.

Dilansir dalam Suara.com – Komisioner Komisi Pemilihan Umum Ilham Saputra mengaku adanya aturan penyandang disabilitas mental bisa ikut mencoblos di Pemilu pada 2019 merujuk kepada putusan Mahkamah Konstitusi ( HYPERLINK “https://www.suara.com/tag/mk” MK). Dalam putusan MK bernomor 135/PUU-XIII/2015, warga yang mengidap gangguan jiwa bisa menggunakan hak pilihnya dengan syarat khusus.

Terkait hal ini, Ilham pun mempertanyakan masih ada warga yang berguyon ketika HYPERLINK “https://www.suara.com/tag/kpu” KPU hendak mengakomudir pemilih dari kaum disabilitas mental.
“Kan itu memang sudah putusan MK, harus diluruskan juga. Masyarakat kok ketawa ya ketika kemudian kita mengakomodir HYPERLINK “https://www.suara.com/tag/hak-pilih” hak pilih dari disabilitas mental,” ujar Ilham di Hotel El Royale, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (22/11/2018).

Putusan MK tersebut, menyatakan pemilih disabilitas mental, sepanjang tidak mengalami gangguan jiwa atau ingatan yang permanen maka masih memiliki hak pilih. Menurutnya, penyandang disabilitas mental yang mau ikut mencoblos juga diwajibkan membawa bukti berupa surat keterangan dokter jiwa.

“Disabilitas mental ini kan semua orang mungkin mengalami tapi ada levelnya. Nah levelnya ini kemudian di tentukan oleh dokter siapa kira kira diantara mereka itu yang bisa milih. Bisa menggunakan nalarnya,” ujarnya.

Ilusi Demokrasi

Sebagian besar manusia sudah terbius oleh ide demokrasi. Mereka seolah dibuai oleh janji-janji manis yang selalu diserukan oleh para pengusung demokrasi. Mereka mengira, sistem demokrasi akan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih modern. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).

Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).

Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat (bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal.

Karena itu, kebijakan pengidap gangguan mental mencoblos dalam pemilu hanya satu fakta yang menunjukkan hakikat sistem demokrasi sesungguhnya. Dalam sistem ini kekuasaan adalah segalanya sehingga boleh menghalalkan segala cara, umat seharusnya sadar bahwa pangkal kesemrawutan dan segala krisis adalah penerapan sistem demokrasi yang demikian rusak dan hanya berorientasi pada kekuasaan saja.

Demokrasi memang bisa dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan. Tapi demokrasi tak akan membiarkan Islam berkuasa dan menang. Lalu masihkah, kita akan berharap pada demokrasi? Padahal kemenangan Islam terdahulu justru diraih melalui jalan dakwah yang dituntun wahyu. Ketika saat ini kita ingin mengembalikan kejayaan Islam, maka wajib hukumnya mengambil metode Rasulullah dan para sahabatnya yang telah berhasil meraih kekuasaan yang memenangkan Islam, bukan dengan demokrasi yang tak sesuai Islam.

Islam dan Politik

Sejatinya Islam dan politik tidaklah dapat dipisahkan. Islam adalah satu satunya agama yang mempunya pengaturan dalam kehidupan untuk manusia. Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah manusia kepada penciptanya, tapi dia mengatur urusan manusia dengan dirinya sendiri mau dengan sesamanya.
Islam adalah agama yang mempunyai solusi bagi permasalahan manusia. Dia tidak melulu mengurusi masalah akhirat, tapi dia memberikan arahan dan tatacara manusia menjalankan kehidupannya agar sesuai dengan aturan sang pencipta se agai bekal untuk akhiratnya.

Oleh karena itu Islam adalah sebuah jalan hidup, sebuah ideologi, maka Islam mengurusi semua aspek kehidupan, termasuk urusan politik. Islam tidak akan pernah bisa jauh dari politik, yang tentu politik Islam.
Dalam bahasa arab, politik dikenal dengan assiyasah yang berarti mengurus. Karena Islam bukan hanya agama ritual,  tetapi aturan hidup maka politik dalam Islam adalah dalam konteks mengurusi urusan umat. Baik dalam pemerintahan,  pengaturan kepemilikan, kesejahteraan umat dan lain lain.

Maka dalam Islam, al hukkam atau penguasa adalah pihak yang bertanggung jawab dalam urusan umat, dalam pengaturannya hingga kesejahteraannya. Penguasa akan senantiasa melayani rakyat dan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syara’.

Aktivitas politik dalam Islam pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Penguasa sebagai pelayan masyarakat memiliki kewajiban memikirkan persoalan rakyat. Hal ini merupakan implementasi dari sabda Rasul SAW ”Barang siapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barang siapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin”).

Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Ketika umat dibatasi dan dipaksa untuk meninggalkan politik Islam, maka kemunduran dan kesengsaraan yang akan didapat. Termasuk di dalam politik Islam adalah mengoreksi penguasa,  ketika penguasa melenceng dari syariat Islam maka umat harus mengoreksi dan meluruskan, penguasapun berkewajiban kembali kepada aturan Allah (Islam) bukan malah mengkriminalisasi pengemban politik Islam, membuat perppu dzalim yang mengebiri peran ormas Islam. Umat pun harus mulai membangkitkan kesadaran politik Islamnya, agar Amar Makruf Nahi Mungkar bisa berjalan selaras dan seimbang.

Alhasil, ketika Islam diterapkan secara kaffah maka kesejahteraan akan dicapai dan keridhoan Allah akan didapat. Tentu dalam Islam telah ditentukan dan dipilih sebuah sistem pemerintahan yang bisa menerapkan semua itu, yaitu Khilafah Rasyidah. Wallaahu a’lam.

Oleh : Risnawati (Staf Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kolaka)

  • Bagikan