Orangtua Balita Sebut Perawat RSUD Muna Bohong Soal Tanda Tangan Pulang Paksa

  • Bagikan
Orangtua Al Zaindra, Muhammad Jamil dan Santi yang bayinya meninggal dunia saat dirawat di UGD RSUD Muna. (Foto: Arto Rasyid/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: MUNA – Orangtua Al Zaindra, balita enam bulan yang dikabarkan meninggal usai disuntikkan suatu cairan di RSUD Muna, Sulawesi Tenggara, membantah menandatangani berkas pulang paksa terkait pananganan anaknya tersebut.

“Tidak benar kalau anak saya meninggal di rumah, saya ingat persis nanti setelah disuntik antibiotik itu, tidak sampai sepuluh menit seluruh badannya langsung membiru dan dingin, kemudian meninggal saat masih dipangkuan saya,” kata Ibu Al Zaindra, Santi (36), Kamis (7/12/2017).

Menurut dia, ketika anaknya disuntik, dokter dan perawat menghilang tak tahu keberadaanya. Dia yang panik hanya bisa berteriak di dalam ruangan, namun tak seorangpun tenaga medis datang menilai kondisi anaknya itu.

Kata dia, saat itu tak ada himbauan dari pihak rumah sakit, justru menyuruh menyelesaikan administrasi guna infus dan selang oksigen bisa dibuka dan diperbolehkan pulang usai dinyatakan meninggal.

“Untuk pihak rumah sakit, kalau sama pasien layaknya sebagai pelayan masyarakat yang ramah ketika dibutuhkan harus sigap, jangan seperti kejadian yang saya alami. Kasian pasien harus berapa lagi ada korban dengan pelayanan seperti ini,” ucap Santi didampingi suaminya, Muhammad Jamil (36).

Jamil juga menambahkan, saat perawatan anaknya di RSUD Muna 30 November 2017, dirinya sedang berada di Kota Kendari, Sultra. Dia kemudian berpesan kepada istri dan keluarganya untuk menolak balitanya disuntik dengan alasan berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya, gejala Sarampa anak dilarang disuntik. Namun, perawat jaga saat itu beberapa kali merayu untuk dilakukan penyuntikkan yang terus ditolak oleh pihak keluarga sampai suaminya berada di rumah sakit.

Malam harinya, kondisi Al Zaindra memburuk. Balita ini kejang-kejang akibat panas tinggi, sehingga dokter menyarankan agar memasukkan obat Stesolid melalui lubang anus pasien. Usai tindakan itu, pasien pun membaik.

“Saat itu istri saya sudah menandatangani surat penolakan untuk disuntik. Melihat kondisi anak saya yang kejang, istrinya yang panik lalu mengizinkan untuk dimasukan obat melalui anus anak saya. Setelahnya alhamdulillah anak saya menjadi baik. Istri saya dan keluarga merasa agak tenang,” kata Jamil.

Diwaktu itu juga Al Zaindra disuntikkan Parasetamol 6,5 cc sebanyak dua kali diwaktu berbeda di jeda waktu enam jam. Padahal istrinya telah menandatangani penolakan untuk disuntik.

“Seorang mantri menyuntikan Parasetamol 6,5 cc pada bayi saya atas saran dokter sebanyak dua kali dengan jeda waktu enam jam tapi panasnya tidak turun juga, akhirnya istri saya kembali tidak mau bayi saya disuntik sampai pagi hari menjelang siang, istri saya selalu bilang tunggu suami saya datang baru disuntik,” terang Jamil.

Pada 1 Desember 2017, Al Zaindra kembali didatangi mantri untuk mengambil sampel tes antibiotik dengan cara disuntik di kulit pasien dengan alasan untuk mengecek apakah alergi atau tidak dengan antibiotik. Namun setelahnya, kulit pasien menjadi merah di sekitar lingkaran tinta yang ditandai mantri tersebut.

Menurut istri dan keluarganya, ada dua mantri dan satu perawat datang bolak balik untuk menyuntikan antibiotik pada pasien, tetapi selalu ditolak sampai menunggu dirinya pulang dari salat Jumat.

“Perawat sempat bilang pada istri saya tidak ada merah di kulit bayi sambil membalikan badan dan berlalu keluar ruangan. Saat itu yang dirasa istri saya angkuhnya perawat yang tidak ada keramahan pada pasien. Kemudian, sepulang saya dari salat Jumat, bayiku sedang diambil sampel darahnya yang disuntikan pada bagian kaki dengan memberi alasan untuk keperluan periksa darah di laboratorium,” jelasnya.

Saat itu dirinya sempat mengantar kakak pasien untuk membeli jajanan di luar kemudian sang istri kembali menelpon dengan mengatakan bahwa pasien mau disuntikan antibiotik lagi, diapun kembali menyampaikan untuk menolak. Tapi kata sang istri tiba-tiba mantri masuk ke ruangan yang langsung mengambil tangan pasien dan menyuntikan antibiotik ke selang infus. Seketika itu pula, pasien yang masih dalam pangkuan sang ibu membiru serta kaki dan tangan langsung terasa dingin.

“Saya diinformasikan untuk segera melihat kondisi bayi saya. Dan saya mendapati dengan kondisi badan membiru, dingin serta oksigen yang dipasang dihidung bayi saya sudah tidak lagi berjalan. Saat itu saya sadari anak saya sudah tidak bernyawa lagi,” ujar Jamil yang tak dapat menyembunyikan duka.

Olehnya itu, dirinya bersama istri berserta keluarga mengakui sangat menyesalkan sikap dari Evi Apriyani Amir yang merupakan perawat jaga saat itu sebab telah memberikan pernyataan tidak benar di sejumlah media massa, bahwa pihaknya menandatangani semua penolakan penindakan seperti penolakan rawat ICU padahal sebelumnya pihak RS memberikan dua opsi antara dirawat di ICU atau ruang UGD di RSUD baru, mendatangani pulang paksa serta sang anak yang meninggal dunia setelah meninggalkan rumah sakit.

“Jadi apa yang dikatakan Evi (perawat RSUD Muna) itu tidak benar, malamnya itu kami menyetujui UGD baru. Saya tegaskan tidak pernah tandatangani pulang paksa, tapi setelah tahu anak saya sudah tidak ada (meninggal), saya segera tandatangani administrasi dan selesaikan biaya agar bisa membawa pulang almarhum anak saya di rumah,” lanjut Jamal yang tak dapat menyembunyikan duka.

Diberitakan sebelumnya, kejadian tersebut mengundang komentar negatif dari para warga net usai Santi (36) menyiarkan status di akun bernama Zean Zeva Zeyn yang menyebutkan bahwa perawat bernama Evi Apriyani Amir (27) yang bertugas di UGD RSUD Muna tersebut, sebagai pelaku malpraktik yang menyebabkan kematian anaknya.

Baca: Dianggap Lepas Tanggung Jawab, Direktur RSUD Muna Bakal Diaduhkan ke Bupati)

Laporan: Arto Rasyid

  • Bagikan