Tari Lulo, Tarian yang Mengandung Filosofi tentang Persahabatan

  • Bagikan
(Foto: InfoPublik)

SULTRAKINI.COM: Tarian Malulo atau Lulo merupakan salah satu tarian tradisional di Provinsi Sulawesi Tenggara yang berasal dari Suku Tolaki. Setiap gerakan tari mengandung filosofi menarik untuk diketahui.

Dilansir dari berbagai sumber, saat ini Tarian Lulo atau disebut juga Tarian Persahabatan, biasa ditampilkan sebagai bagian dari akhir acara hiburan masyarakat dalam berbagai even sosial, seperti pernikahan, ulang tahun, penyambutan akhir tahun, dimana diikuti oleh semua warga masyarakat yang datang, baik tua maupun muda, pria ataupun wanita.

Menurut sejarah, Tarian Lulo awalnya ditampilkan untuk upacara ritual memuja Dewi Padi terutama saat selesai panen. Kata Lulo sendiri berarti menginjak-injak onggokan padi untuk melepaskan bulir dari tangkainya. Tradisi menginjak padi ini dikenal dengan istilah Molulowi Opae.

Ada juga yang menyebutkan Tarian Lulo dilakukan pada upacara pelantikan raja, pernikahan, bahkan penyembuhan warga yang sakit. Di mana dilakukan dengan menggunakan pakaian adat dan diiringi alat musik pukul berupa gong. Namun seiring perkembangannya, tarian ini banyak diiringi musik berbahasa tolaki baik itu lagu tradisional maupun berlatar musik modern.

Pertunjukkan Tarian Lulo

Tarian Lulo ini ditampilkan secara massal atau dalam jumlah banyak, biasanya dilakukan di area yang luas sehingga dapat diikuti oleh masyarakat dan membentuk lingkaran.

Dalam pertunjukkannya, para penari menari dengan berpegangan tangan, biasanya akan dibuat selang-seling antara pria dan wanita. Saat bergandengan, tangan pria harus berada di bawah telapak tangan wanita, ini sesuai dengan etika Tarian Lulo.

Dalam gerakan Tarian Lulo, ada beberapa istilah yang perlu diketahui, yaitu Moese berarti gerakan tangan ke atas dan ke bawah, Molakoako bergerak ke arah kanan dan kiri, serta Nilulo-lulo yang artinya gerakan kaki menginjak-injak. (C)

(Baca juga: Tarian Lulo sebagai Salah Satu Penutup Rakernas XV Apeksi 2022)

Laporan: Julia Dwi Sadini
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan