Oleh: Awaluddin (Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, IPB)
SULTRAKINI.COM: Isu pembangunan di Daerah menjadi perhatian banyak kalangan, apalagi jika kaitkan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Seperti kita ketahui, akhir dari agenda yang dilaksanakan lima tahun sekali tersebut, untuk membentuk poros kepemimpinan baru yang akan melaksanakan pembangunan berdasarkan proyeksi sebelumnya. Menariknya, ide pembangunan secara nasional, diarahkan pada berkelanjutan terutama daerah yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam di sektor pertambangan.
Konsep Pembangunan berkelanjutan, mungkin sudah tidak asing untuk negara-negara maju, seperti cina, jerman dan amerika. Di Indonesia sendiri konsep pembangunan berkelanjutan bukan hal yang baru. Meskipun, di posisi tertentu pembangunan berkelanjutan hampir tidak dirasakan terutama di level mikro seperti kabupaten/kota. Menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan merupakan tanggungjawab generasi saat ini.
Pembangunan berkelanjutan, merupakan paradigma ekologis untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang, tanpa mengorbankan kebutuhan generasi selanjutnya. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan di Daerah dengan memperhatikan dimensi sosial-ekonomi dan lingkungan, seperti indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) dan indeks pembangunan manusia (IPM).
Sekadar contoh, IKLH Provinsi Sulawesi Tenggara (Sul-Tra) berada di angka 76,78 % pada tahun 2023, jika dibandingkan rata-rata IKLH nasional 73,07% Provinsi Sul-Tra masih relatif baik. Meski begitu terdapat beberapa kabupaten/kota yang berada di bawa standar rata-rata IKLH seperti Kabupaten Buton Tengah 43,94%, Kabupaten Muna 49,15% dan Kabupaten Muna Barat 48,01% (sultra.bps.go.id).
Sedangkan rata-rata IPM di provinsi Sul-Tra secara umum masih terdapat daerah dimana IPM dibawa standar rata-rata nasional 74, 39 % pada tahun 2023. Kabupaten Buton Tengah 65,83 %, Kabupaten Buton Selatan 66,15 % dan Kabupaten Konawe Kepulauan 67,32% tiga daerah ini merupakan daerah dengan IPM dibawa standar rata-rata nasional. Meski begitu hampir semua kabupaten/kota dengan IPM di bawa rata-rata, kecuali kota Kendari 84,85% dan kota bau-bau 77,52%.
Semakin baik representasi KLHK dan IPM di daerah semakin mempermudah penerapan pembangunan berkelanjutan. Sehingga ini menjadi patokan dalam memproyeksikan Pembangunan berkelanjutan. Selain itu, perlu dilakukan revitalisasi yang mengarah pada pembaharuan tata Kelola pemerintahan yang baik.
Kutukan Sumber Daya Alam
Pengelolaan sumber daya alam (SDA) secara nasional, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjelaskan bumi, air dan kekayaan alam dikelola oleh negara digunakan untuk kemakmuran rakyat. Dengan kebijakan desentralisasi, setiap daerah diharuskan memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Dikarenakan setiap pemerintah daerah diberikan kebebasan oleh pemerintah pusat untuk mengelola sumber daya alamnya demi kemandirian secara ekonomi dan tercipta Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Argumentasi bahwa SDA yang melimpah-rua dapat dimanfaatkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di Daerah, dapat diterima secara rasional. Menjadi masalah ketika SDA di eksploitasi namun tidak berdampak secara efisien terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Tanpa kita sadari ini merupakan kutukan SDA akibat kesalahan dalam mengelola.
konsep keberlimpahan dan ketergantungan daerah dapat di jadikan ukuran fenomena kutukan SDA. Ke berlimpahan berkaitan dengan stok dan ke tersediaan SDA, sedangkan ke tergantungan mengacu pada tingkat ke tergantungan daerah terhadap SDA. Inti dari konsep ke berlimpahan dan ke tergantungan daerah terhadap SDA adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menekan kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan bagi Masyarakat di Daerah.
Sehinga menjadi relevan ketika potensi SDA yang dimiliki daerah dikelola untuk menambah PAD dengan memperhatikan etika/prinsip dalam pengelolaannya.
Etika pengelolaan SDA
Sebagai mana kita ketahui terdapat etika dalam pengelolaan SDA, penting untuk mengetahui etika tersebut, seperti etika antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.
etika antroposentrisme memandang bahwa manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, sebaliknya alam semesta tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri selain nilai instrumental ekonomis bagi kepentingan ekonomi manusia.
Etika Biosentrisme yang memandang memiliki nilai yang terlepas dari kepentingan manusia, setiap mahluk hidup memiliki nilai bagi dirinya sendiri.
Etika Ekosentrisme memandang alam sama pentingnya karena memiliki nilai intrinsik pada dirinya sendiri, justru karena ada kehidupan di dalamnya tidak hanya kehidupan manusia melainkan ada kehidupan mahluk hidup lainnya yang di hormati dan harus dijaga kelestariannya.
Karena itu, untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan perlu memperhatikan etika dalam melaksanakan pengelolaan SDA dari antroposentrisme ke biosentrisme atau bahkan ekosentrisme.
Seiring perkembangan zaman paradigma pembangunan baik di level nasional maupun level daerah dengan pendekatan konsep pembangunan berkelanjutan, demi kebutuhan generasi saat ini dan yang akan datang. Wallahualam bisawab.***