Utang Penghancur Indonesia, Hanya Islam Solusinya

  • Bagikan
utang negara ilustrasi foto google

Oleh : Dessy Damarasry Bambang, SE

Berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) sampai dengan akhir Januari 2018, total utang pemerintah sebesar Rp 3.958,66 triliun dan utang luar negeri swasta sebesar Rp 2.351,7 triliun (US$ 174,2 miliar dengan kurs Rp 13.500 per dolar AS). Jika dibagi dengan rasio jumlah penduduk, maka utang perkepala sekitar Rp.13 juta. Tapi dalam perhitungan lembaga INDEF, jika ditambah. kan dengan SBN (Surat Berharga Negara) maka total utang indonesia sebesar  Rp 7.839 T. Jumlah utang yang ditanggung Indonesia itu jauh melampaui jumlah pendapatan Negara. Total Pendapatan APBN 2018 adalah sebesar Rp. 1.894,7 T. Tapi kenapa pemerintah bersikap “tenang” dengan utang yang menggunung ini?

Pemerintah berargumen dengan membandingkan rasio utang Indonesia dengan Negara lain. Utang Indonesia jika ditanggung perkepala sebesar $997. Utang Amerika ditanggung per kepala $ 62.000. utang jepang ditanggung perkepala sebesar $ 85.000. Apalagi sebagian besar penduduk Indonesia memiliki usia produktif. Jadi utang bisa dilunasi jangka panjang dengan mengoptimalkan pajak dari penduduk produktif tersebut. Demikian garis besar yang dituturkan Menteri Keuangan RI. Padahal dengan skema utang berbunga, tingkat bunga periodik yang harus dibayar, APBN yang selalu defisit, dan selisih kurs yang tajam, sulit membayangkan bagaimana skema penyelesaian utang dan berapa lama. Contoh nyata era kini juga banyak, harga yang harus ditebus suatu Negara yang tidak bisa melunasi utangnya. Seperti Zimbabwe yang mngganti mata uang negaranya menjadi yuan per 1 januari 2016 karena tidak mampu membayar utang kepada Cina. Srilanka juga mau tidak mau harus menyerahkan pelabuhannya ke Cina karena gagal membayar utang.

Utang menempati peran penting dalam Demokrasi dan Kapitalisme

Kalau kita telaah lebih mendalam, ideologi demokrasi dengan kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama amerika, eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini. Karena dalam demokrasi, Utang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita pelajari dari mulai kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah diarahkan dan dibenamkand pemikiran kita bahwa Utang mengambil peranan yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Ini sudah menjadi jalan yang shohih dalam kehidupan sekarang ini. Padahal tanpa terasa didalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah.

Konsep tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu mau pun perusahaan tidak akan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana ekspansi/perluasan usaha, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk mencari pinjaman. Bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, dimana sektor perbankan telah berkembang sampai memainkan peran kunci dalam kehidupan ekonomi, karena perbankan menjadi alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjang atau utang piutang. Lalu kenapa jalan ini yang dipilih untuk pembangunan??? Padahal ini adalah Jerat (konsep utang) dan ribawi.

Pandangan Islam

Islam memiliki aturan yang khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi. Fakta tersebut sangat jauh berbeda bila ditinjau dari pengelolaan perekonomian dalam Islam. Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR. Muslim). Ditinjau dari pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam, sumber-sumber pendapatannya diperoleh dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghonimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya. Negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tersebut tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil.  Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak). 3 pos ini mengalirkan harta baitul mal karena bertumpu pada sector produktif. Harta baitul mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.

Baitul mal sebagai lembaga yang mengelola pemasukan tersebut dan akan dikeluarkan atau dibelanjakan untuk keperluan negara dan rakyat. Termasuk diantaranya proyek-proyek infrastruktur. Hal tersebut bukanlah tanggung jawab kaum muslimin melainkan tanggung jawab baitul mal, yang berarti bagian dari tanggung jawab negara. Disini terlihat jelas, sumber-sumber pemasukan negara didapatkan tanpa membebani rakyat. Kalaupun ada pengambilan pajak (dhoribah), hanya akan dibebankan jika baitul mal sedang kosong dan pelaksanaannya sesuai dengan apa yang telah diwajibkan oleh syariat atas kaum muslimin.

Sebagai gambaran jumlah surplus (pendapatan dikurangi pengeluaran Negara) imasa Khalifah Harun Ar-Rasyid sama besarnya dengan jumlah total APBN Indonesia. Pembangunan infrastruktur juga sangat megah dan modern tanpa berhutang sepeser pun dengan Negara luar. Paada masa Khalifah Umar bin Khattab beliau membangun kanal dari fustat ke laut merah untuk memudahkan akses perdagangan, membangun kota dagang Basrah (Jalur dagang ke Romawi), membangun kota Kuffah (Jalur dagang ke Persia) dan memerintahkan gubernur Mesir membelanjakan sepertiga pengeluarab infrastruktur dan lain-lain. Itupun neraca keuangan tidak pernah defisit. Maka sebetulnya secara keimanan dan logika ilmiah kita membutuhkan Baitul Maal dalam sistem politik khilafah Islam untuk membangun Negara yang mandiri dan masyarakat yang makmur.

Namun, semua aturan ini akan sulit tercapai dan tidak mampu mengantarkan umat pada keridhaan Allah SWT bila masih menggunakan sistem demokrasi-kapitalis. Sungguh, hanya dengan sistem Islam yang kaffah, semua permasalahan yang ada bisa teratasi, baik dalam bidang perekonomian, pendidikan, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Thaha ayat 124, “Siapa saja yang berpaling dari perintahku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”. Wallahu a’lam.

 

(Ibu Rumah Tangga Tinggal di Kolaka)

  • Bagikan