Wacana Politik Elit: Jalan Sulit Demokratisasi

  • Bagikan

Oleh: Sumadi Dilla

Akhir-akhir ini wacana politik elit menggugah kesadaran demokrasi kita. Gejolak kecemasan merambat seantero negeri Indonesia. Selubung citra makin dominan dibanding Fitra. Dimana saja kita sulit menemukan tumpuan berfikir normal. Rakyat dibuat bingung dengan sandiwara politik elit. Berita hoax menyebar, media amatir menjamur, sangkaan meluas, tuduhan menyeruak, amarah meledak, kejujuran tersandera, fitnah menderas, agama mengeras, rasa percaya meranggas, kohesi sosial meretas, dan demokratisasi mengikis.

Apa yg terjadi sesungguhnya dengan bangsa ini. Banyak inkonsistensi elit terjadi antara wacana (voices) dan pilihan (choises) rasional. Yang diumbar soal hoax tapi pilihannya mengekang pikiran warganya. Yang disoal identitas nasional tapi pilihanya menyempitkan kebinekaan budaya masyarakatnya, yang dibahas soal teror (teroris) tapi pilihanya memvonis agama tertentu, dan anehnya yang didambakan/dielukan soal toleransi tapi pilihanya malah memaksakan dan menyeragamkan aturan beragama masing-masing, tanpa melihat urgensinya, yang digubris radikalisme tapi pilihannya menuduh dan memojokan orang yang berpikir terbuka/anarkis serta menghina keyakinan berbusana/pakaian satu agama. Ini semua terjadi akibat hegemoni wacana elit dan kepentingan politik tertentu. Sementara pilihan yang diberikan/tersedia oleh negara terhadap kemerdekaan berpikir, bersikap dan bertindak semakin terbatas dan terkekang. Akibatnya energi dan semangat rakyat untuk berdaulat, bersinergi, berinovasi, berkreasi atas keragaman menjadi lemas.

Secara sepihak elit (negara) telah melakukan politisasi, stigmatisasi dan labelisasi pada symbol-simbol kebahasaan dan kelompok masyakarat tertentu. Pada titik ini elite dan negara terus memproduksi wacana serta framing pada teks dan narasi negatif. Pada sisi ini polemik dan argumentasi pun berkembang jauh hingga tafsir wacara dan framing pada teks dan narasi berubah jadi pembelahan sosial di masyarakat. Hal ini mengingatkan kita pada pesan Rachel M. McCleany & Robert J Barro dlm The Wealth of Relegion (2019), bahwa keterbelahan sosial yang deras memicu kesenjangan sosial yg berpotensi “bom waktu” bagi bentrokan sosial. Anehnya counter wacana atau opini yang muncul dianggap bentuk perlawanan dan ancaman bagi ideologi nasional dan negara bangsa. Jika wacana politik elit dipandang sebagai personifikasi pemerintah/negara, maka yang terjadi malah negara terlalu jauh masuk pada wilayah privat individu dan menafikan eksistensi keragaman kultur rakyatnya yang dijamin UUD 45. Stigmanissa ataupun pelabelan dengan diksi dan frase abstrak dan absurd pada satu individu atau kelompok lain yang penuh curiga negatif berarti elit/negara sedang melakukan/mempertontonkan disharmony sosial yg menyandera jalannya proses demokratisasi kebangsaan kita.

Jika fenomena perilaku elit dan negara di atas dibiarkan terus berlanjut serta luput dari pikiran dan sikap kritis publik apalagi mereka yang merasa kaum terdidik, patut rasanya kita pertanyakan, seperti bait salah satu lagu viral anak melinel “entah apa yg merasukimu” hai para elit ? Apakah yang sedang terjadi pada elit negara kita dan kemanakah negara ini akan berlabuh dengan damai.

Sejatinya setiap kita warga negara termasuk para elit negara menyerukan dan mewujudkan iklim yang damai untuk merajuk masa depan sebagai negara besar, maju, adil dan sejahtera rakyatnya. Sudah saatnya elit menyadari kegaduhan wacana elit yang muncul di masyarakat mendistorsi kepentingan nasional.

Akhirnya jalan panjang menuju negara demokratis dimulai dengan menghindari wacara teks/narasi abstrak, memulihkan kedaulatan pikiran rakyat dengan kejujuran yang saling menghargai perbedaan sesama anak bangsa. (Sumadi Dilla adalah Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Halu Oleo)

  • Bagikan