Waspada! Asing Mencengkeram Sumber Daya Alam Kita

  • Bagikan
Deliana, pemerhati sosial politik.Foto:ist

Indonesia adalah negara kaya raya.  Memiliki sumber daya alam (SDA) yang berlimpah hingga biasa disebut dengan zamrud khatulistiwa. Kandungan minyak, batu bara, gas alam, emas, nikel, tembaga dan berbagai bahan tambang lainnya kita miliki tapi sayang kekayaan negeri belum sebanding dengan kesejahteraan rakyat.   Ibarat pepatah  “ayam mati dilumbung padi” demikian kondisi rakyat negeri ini.

Padahal  menurut data Indonesia Mining Asosiation, Indonesia meraih peringkat ke-6 terbesar di dunia kategori negara yang kaya akan sumber daya tambang (emas, tembaga, nikel, dll). Cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia dan menduduki posisi ke-6 dalam produksi emas di dunia yakni sekitar 6,7 %. Sedangkan cadangan timah Indonesia menduduki peringkat ke-5 sebesar 8,1% dari cadangan timah dunia dan menduduki peringkat ke-2 dari sisi produksi sebesar 26 %  dari jumlah produksi dunia.  Begitu juga dengan sumber daya energi berupa migas, cadangan batu bara Indonesia hanya 0,5 % dari cadangan dunia namun produksi Indonesia posisi ke-6 sebagai produsen dengan jumlah produksi 246 juta ton. Indonesia sebagai eksportir batu bara peringkat ke-2 terbesar di dunia setelah Australia dengan jumlah 203 juta ton. (Sumber: Data Himpunan Pemerhati Lingkungan Hidup).Pada tahun 2004, produksi batu bara Indonesia mencapai 127 juta ton dan akan ditingkatkan pada tahun 2005 menjadi 150 ton (Kompas, 25/2).

Khususnya wilayah Sulawesi Tenggara merupakan wilayah dengan potensi pertambangan mencapai 300 ribu triliun. Selain aspal Buton yang memiliki deposit 3.8 miliar ton, nikel daerah ini mencapai 97 milir ton dan emas yang bernilai lebih dari 200 ribu triliun rupiah.  Khusus sektor pertambangan Sultra, Dinas Ekonomi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra mencatat, cadangan nikel di bumi anoa mencapai 97.401.593.025,72 Wmt. Persebarannya, paling padat di Kabupaten Konawe Utara, menyusul Kolaka Utara, Konawe, Kolaka, Konawe Selatan dan Bombana.  Di luar semua itu, salah satu kabupatennya (Wakatobi) mempunyai kekayaan alam bawah laut yang mempesona. Terletak di pusat segitiga karang dunia, wakatobi memiliki keanekaragaman hayati serta terumbu karang terbesar di dunia dengan 750 spesies karang dan lebih dari 900 spesies ikan.

Malangnya kekayaan alam Indonesia saat ini masih dikuasai asing. Position paper Asia-Europe People’s Forum-9 Sub Regional Conference mengungkap bahwa kekayaan alam tambang Indonesia 100 persen berada di bawah kontrol asing, kekayaan migas sebanyak 85 persen dikuasai asing, dan kekayaan batubara 75 persen dikontrol asing.  Tak terkecuali di Sulawesi Tenggara.  Sebut saja salah satunya,  tambang di Konawe Utara.  Mayoritas dikuasai pihak swasta dan asing.   Terkait hal ini Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, pernah mengatakan bahwa keberadaan kekayaan sumber daya alam tambang di Kabupaten Konawe Utara belum bisa mensejahterakan warga setempat. “Fakta yang ada, warga kita hanya dijadikan penonton dan penjaga kebun bagi para pemilik izin usaha pertambangan (IUP) di daerah ini,” kata Nur Alam di Wanggudu, Selasa. (sultraantara.news.com). Padahal tercatat 528 Izin Usaha Pertambangan، (IUP) dimiliki swasta dan asing. Sebanyak 350 IUP adalah pertambangan nikel.(penaaktual. com)

Maka lumrah bila kondisi rakyat Indonesia alih-alih sejahtera malah memprihatinkan.   Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)   bulan September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen).    Selama periode Maret 2017–September 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan   10,27 juta orang pada September 2017, sementara di daerah perdesaan  16,31 juta orang pada September 2017.   Bukan angka yang sedikit tentunya.

Sejenak bila kita menoleh ke belakang maka terbukanya pintu pengelolaan sumber daya alam untuk asing dimulai sejak rezim Orde Baru.  Saat itu rezim mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.  Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim Orde Baru. Di area pertambangan yang dikuasai Freeport diperkirakan cadangan emas mencapai 63,7 juta pon, sedangkan tembaga 50,9 milyar pon. Setelahnya rezim berganti namun kebijakan tetap berpihak pada asing.  Belakangan hadirnya Undang – Undang (UU) Minerba (Mineral dan batubara) No. 4 tahun 2009 semakin menegaskan hal tersebut.   Karena dlm UU tersebut  ijin usaha pertambangan bisa didapatkan dengan cara lelang, artinya sumber daya alam kita bisa dibeli oleh siapapun yg penting dgn hrga paling tinggi termasuk bangsa asing. Di dalam UU Minerba investor bisa memiliki sumber daya alam, menambang sendiri, dan bisa menjual sendiri hasil tambangnya.   Luar biasa.   Parahnya lagi peran negara sama sekali dihilangkan dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut.  Negara hnya mendapatkan royalti pnbp 3.75% serta pendapatan pajak penghasilan.

Nampak amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33  ayat 2 dan 3 cenderung tak lagi diindahkan.  Padahal ditegaskan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” dan “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.  Andai mengikuti bunyi pasal itu harusnya kekayaan alam Indonesia dikelola negara untuk kemakmuran rakyat.

Namun apa daya faktanya tidak demikian.  Beda halnya bila merujuk pada Islam.  Sebab Islam hadir tidak hanya sebagai agama yang diturunkan Sang Khaliq  tapi juga sebagai sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam.  Didalam Islam kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh penguasa dan hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu maupun swasta terlebih asing.  Rasûlullâh saw bersabda :“Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api” (H.R. Ahmad).   Imam as-Syaukani, didalam kitab Nailul Author menyatakan, hadist dalam bab ini secara keseluruhan menunjukan adanya hak bersama(isytirôk) dalam 3 hal di atas secara mutlak, tak ada satupun dari ketiganya keluar dari hukum ini kecuali dengan dalil. (Al-Imam as-Syaukani, Nailul Author, VI/38).   Tentu aturan ini hanya sebagian dari aturan Islam yang kaffah.  Mengambil dan menerapkannya secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari tak lain adalah konsekuensi iman kepadaNya. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk-Nya kepada para penguasa negeri ini untuk dapat menerapkan syari’at Islam secara kaffah termasuk dalam mengelola sumber daya alam. Wallahu a’lam.

 

Oleh : Deliana,  pemerhati sosial politik

Email: [email protected]

  • Bagikan