Opini  

Karitatif, Melestarikan Kasus Bunuh Diri

Maolana Mohammad Sah

Oleh: Maolana Mohammad Sah

SULTRAKINI.COM: “Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit.” – Imam Ali bin Abu Thalib

Bunuh Diri Menjadi Trend Solusi

Tragis, itulah kata yang mewakili berita menyedihkan di halaman Detik. Tepatnya pada bulan Maret 2024, di apartemen Teluk Intan Penjaringan, Jakarta Utara. Ditemukan dua jasad laki-laki berumur 13 dan 50 tahun, serta dua jasad wanita berumur 16 dan 52 yang tergeletak dalam kondisi kepala belakang pecah, pinggang patah, hingga kedua tangan dan kaki patah. 

Mereka adalah satu keluarga yang memutuskan mengakhiri hidup dengan cara melompat dari lantai 22 apartemen tersebut. Perkiraan mereka menjatuhkan diri hingga mendarat bebas di depan lobi apartemen, pada pukul 16.30 WIB. Kecurigaan, perilaku tersebut dilatar belakangi dengan motif ekonomi.

Tak lama dari peristiwa tersebut, tepatnya bulan September 2024, Detiknews memberitakan seorang tukang ayam potong menggantungkan dirinya dengan seutas tali di pojok rumahnya di kawasan Cirimekar, Kecamatan Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Sekali lagi, motif ekonomi dicurigai menjadi dalang perilaku tersebut.

Kasus bunuh diri atau bahasa kerennya, Suicide yang dilakukan satu keluarga di Jakarta Utara dan seorang tukang ayam potong di Jawa Barat, bukanlah satu-satunya yang terjadi di tahun 2024. Tercatat dari bulan Januari sampai Agustus 2024, ada 849 kasus bunuh diri yang dilaporkan di kepolisian. Angka ini diambil dari aplikasi DORS SOPS Polri dan di publish oleh pusiknas.polri.go.id. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga merilis ada 720 ribu orang meninggal karena bunuh diri setiap bulan di seluruh dunia. Lanjutnya, sebanyak 70 persen di antaranya terjadi di negara berpendapatan rendah dan sedang.

Lebih mengejutkan lagi, Dr Fidiansjah seorang psikiatri, dikutip dari Sindonews. Mengatakan setiap 40 detik ada satu individu yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Hal ini menggambarkan kalau angka-angka yang tertulis bukanlah sesuatu yang pasti. Kemungkinan besar, angka tersebut seperti puncak gunung es yang terlihat di atas permukaan lautan. Sedangkan kasus-kasus yang tidak dilaporkan sangatlah banyak, seperti besarnya gunung es yang ada di bawah permukaan lautan. 

Asumsi Penyebab Perilaku Bunuh Diri

David Emile Durkheim, salah satu pendiri sosiologi menganggap angka kasus bunuh diri setiap tahunnya relatif konstan bahkan asumsi lain mengatakan, semakin berkembangnya suatu negara atau daerah maka keputusan mengakhiri hidup sendiri menjadi trend solusi dalam menyelesaikan masalah dengan tempo sesingkat-singkatnya. Kenapa?

Sudah banyak teori dan penelitian mencoba menjelaskan penyebab individu secara berani memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Apapun cara mereka, baik yang melompat dari apartemen, gantung diri, minum racun nyamuk dan sebagainya. Tapi saat ini yang menarik mencari tahu akar penyebabnya.

Dikutip dari artikel yang berjudul “Suicide and Suicide Risk”, sebesar 17-36% perilaku bunuh diri disebabkan oleh heritabilitas, perilaku yang diakibatkan oleh faktor genetik. Namun, dalam penelitian terakhir, para peneliti tidak menemukan gen-gen yang diidentifikasi sebagai aktor besar dari perilaku tersebut. 

Malahan, individu yang memiliki keluarga yang pernah mencoba bunuh diri, memiliki potensi lima kali lebih besar melakukan percobaan bunuh diri. Faktor ini disebut dengan imitasi, beberapa penelitian menyatakan imitasi ini dipengaruhi oleh kepribadian. Menurut Ninik Sunarti, dalam penelitiannya menyatakan kepribadian yang introvert lebih berpotensi tinggi individu memiliki ide bunuh diri.

Beberapa penelitian psikologi juga menganggap kalau gangguan kejiwaan, seperti kecemasan, stres maupun depresi sebagai biang keladi yang mendorong individu untuk melakukan bunuh diri. 

Tapi, dari mana gangguan kejiwaan itu berasal. Apakah manusia dilahirkan dimuka bumi ini dengan cemas, stres, anxiety, bipolar, borderline personality disorder (BPD), skizofrenia maupun depresi? Selain itu, sejak kapan kepribadian introvert dan ekstrover terbentuk. Apakah jenis-jenis kepribadian tersebut suatu yang genetik? Ataukah kita lahir seperti selembar kertas putih?

Menurut beberapa ahli, kepribadian atau gangguan kejiwaan yang dialami oleh individu cenderung terbentuk dari kesulitan kehidupan yang terjadi dimasa lalu atau bahasa kerennya early life adversity. Beberapa penelitian mengatakan jika interaksi sosial tidak berjalan secara seimbang maka akan tercipta ketidakharmonisan. Hal ini dapat membentuk suatu kepribadian tertentu hingga mengalami gangguan kejiwaan yang mendorong melakukan percobaan bunuh diri ataupun mengakhiri hidupnya dengan segera.

Oleh sebab itu, Durkheim meyakini bahwa perilaku bunuh diri disebabkan oleh sosial yang tidak bertanggungjawab, tidak harmonis dan sangat individualistik. Sementara gangguan kejiwaan, imitasi, atau alkoholisme hanya merupakan efek dari keadaan sosial tersebut. 

Antara Fakta Psikologi atau  Fakta Sosial, Dalang Perilaku Bunuh Diri 

Durkheim, menjelaskan bahwa fakta sosial adalah suatu keadaan sosial yang bersifat  umum dan menuntut individu untuk mematuhinya baik secara sadar maupun terpaksa. Sehingga fakta tersebut akan menciptakan suatu masyarakat yang homogen dalam berperilaku. Apabila individu tidak bisa memenuhinya, maka individu akan termarjinalkan, dijauhi, atau menjadi alienasi di tengah-tengah lingkungannya.

Banyak teman-teman disekitar yang mengalami gangguan kejiwaan akibat tuntutan keluarga yang tidak bisa mereka penuhi. Akhirnya mereka cenderung mengalami stres, depresi hingga self harm tindakan menyakiti atau melukai dirinya sendiri. 

Selain itu, tuntutan menjadi sultan merupakan fakta sosial yang mendorong individu untuk bekerja hampir 24 jam, meminjam uang atau membeli sesuatu dengan kredit. Tuntutan ini cenderung dipenuhi secara terpaksa. Jika individu tidak bisa memenuhinya maka terbentuk kepribadian, seperti individualistik atau introvert. Serta gangguan kejiwaan yang merupakan reaksi mental terhadap stimulus yang diterima dari luar individu.

Jadi fakta psikologi adalah hasil reaksi mental individu terhadap sosial, sehingga terbentuk kepribadian hingga gangguan kejiawaan pada diri individu.

Pertanyaannya, apakah dengan pergi ke psikolog atau psikiater akan memusnahkan perilaku bunuh diri di muka bumi ini. Sedangkan ketidakharmonisan masih menghiasi keadaan sosial kita?

Bunuh Diri, Antara Masalah Sosial Atau Personal

Melansir berita dari Indonesia Window, pada tahun 2023, negara-negara yang memiliki pelayanan kesehatan mental gratis, memiliki tingkat kasus bunuh diri yang tinggi. Misalnya di Australia, kasus bunuh diri menyumbang 36% dari keseluruhan angka kematian di negaranya. Ironisnya, para pakar menyatakan anak muda di Australia berusia 15-24 tahun lebih berpotensi melakukannya.

Inggris dan Wales juga mencatat kasus bunuh diri mencapai 6.069 kasus di tahun 2023. Jumlah ini merupakan angka tertinggi sejak tahun 1999. Dikutip dari berita Viva.

Berbeda dengan New Zealand sebagai negara yang memiliki tingkat kebahagian tertinggi ke-10 di dunia, selain memiliki pelayanan kesehatan mental yang didukung oleh pemerintah. Terdapat pula lingkungan sosial yang stabil, kebersamaan, solidaritas hingga kemakmuran ekonomi. Hal ini pun diyakini sebagai faktor terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan setiap individu di negaranya.

Selain itu, Finlandia juga termasuk negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di dunia. Di sana tidak hanya mengandalkan pelayanan kesehatan, tapi dukungan sosial yang harmonis dan pendidikan yang bagus membantu terciptanya jiwa-jiwa yang bahagia di warganya.

Berdasarkan deretan contoh di atas, dapat diasumsikan bahwa kasus bunuh diri bukanlah persoalan personal yang harus diselesaikan dengan pergi ke psikolog ataupun psikiater saja. Melainkan suatu permasalahan sosial. Hal ini bisa terlihat dari angka kasus bunuh diri yang konstan dan bahkan bertambah setiap tahunnya. Selain itu, gangguan kejiwaan bukan timbul tanpa sebab. Selain faktor biologis, ganguan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosialnya.

Karitatif Bukan Solusi Konkret

Beberapa hari lalu, saya mempertanyakan keadaan teman yang mengalami komplikasi gangguan jiwa anxiety, bipolar, dan terakhir menjerumus ke skizofrenia, kepada seseorang yang sedang mengambil profesi psikologi.

Jika mengingat perjuangan dia berobat di psikolog ataupun psikiater, kurang lebih 3 tahun lamanya. Entah berapa banyak obat yang dia sudah konsumsi, walaupun terkadang dia tidak mau mengkonsumsinya. Alasannya, karena dia tidak mau kehilangan sahabat halusinasinya. 

Puji syukur Tuhan, sekarang dia sudah sembuh dari gangguan-gangguan tersebut. Hal ini terjadi setelah bapaknya meninggal dunia. Setelah ditelusuri, diketahui kalau sosok bapak merupakan trigger terbesar kenapa dia mengalami gangguan kejiwaan. Dia seorang anak bungsu dan satu-satunya perempuan tidak menerima support dari seorang bapak ketika di rumah. Makanya ketika di luar rumah, dia merasa nyaman dan meluapkan semua emosinya hingga melakukan self harm

Pengalaman teman, sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Apakah dia sembuh karena hilangnya stres di lingkungannya, yakni bapaknya yang meninggal dunia atau peristiwa tersebut adalah terapi shock sosial. Namun intinya kesembuhan tersebut bukanlah kerja keras psikolog atau psikiater. 

Usaha yang dilakukan oleh psikolog atau psikiater bersifat karitatif, yang artinya diakonia atau pelayanan yang diberikan oleh mereka hanya bersifat sementara. Setelah pasien atau klien untuk sebutan pasien dalam dunia psikologi untuk kembali ke habitatnya. Mereka akan kembali pada kondisi sebelum mendatangi psikiater atau psikolog. Bahkan bisa jadi bertambah parah. Kenapa? Nanti dibahas ditulisan selanjutnya.

Oleh sebab itu, diperlukan perubahan secara kolektif, di mana dibutuhkan akal yang sehat, kesadaran, kerjasama, solidaritas dan saling percaya dalam suatu ekosistem kehidupan. Jika itu berjalan secara konsisten, maka lingkungan akan menjadi harmonis, kita akan lebih toleran, dan saling terbuka satu sama lain.

Selain itu, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, memiliki peran penting melahirkan aturan-aturan atas kebijakan yang bisa memakmurkan rakyatnya secara ekonomi, lingkungan yang aman, bersih dan lain sebagainya. Sehingga terciptanya individu yang sehat jiwa dan raga di lingkungan yang sehat.***

Exit mobile version