Oleh: Said Abdullah (Ketua DPP PDI Perjuangan)
Pemilihan umum (Pemilu) idealnya merupakan perhelatan yang berlangsung dalam suasana damai dan menggembirakan, dimana rakyat menjalankan hak politik mereka dengan pertimbangan yang matang dan cermat. Namun, penting bagi kita untuk tetap kritis dan waspada terhadap slogan “Pemilu Damai dan Bergembira Ria”, karena di balik jargon tersebut bisa tersembunyi niat-niat licik yang bertujuan menyamarkan praktik-praktik kecurangan sistematis.
Pemilu yang damai dan menyenangkan memang menjadi tujuan yang sepenuhnya saya dukung. Namun, aspek-aspek tersebut tidaklah cukup. Pemilu yang demokratis hanya dapat terwujud ketika semua peserta diperlakukan secara adil dan setara, aparatur negara bersikap netral, dan penyelenggara pemilu bertindak secara profesional dan imparsial. Ketiadaan kondisi-kondisi objektif ini membuka celah bagi kerentanan yang dapat menghambat pertumbuhan demokrasi dan ketertiban sipil.
Kita tidak menginginkan peristiwa-peristiwa pahit seperti yang terjadi dalam suksesi kepemimpinan di negara-negara konflik seperti Irak, Suriah, dan Afghanistan terulang dalam Pemilu di negara kita. Kita berharap tidak ada sedikit pun penderitaan yang disebabkan oleh Pemilu, yang bisa menyebabkan kehilangan air mata, darah, dan nyawa rakyat.
Harapan kita adalah Pemilu menjadi jalur suksesi yang damai. Keyakinan ini dapat diwujudkan jika semua pihak berkomitmen untuk mengawal proses Pemilu agar berlangsung dalam koridor demokrasi yang jujur, adil, bebas, dan rahasia.
Era digital saat ini telah mengubah dinamika sosial dan teknologi informasi dan komunikasi. Kekuatan ini memungkinkan rakyat untuk memonitor dengan ketat dan dengan cepat mendeteksi setiap tindakan yang menyimpang dari aturan. Hampir semua warga kini memiliki akses ke informasi dan komunikasi, dan tindakan penyalahgunaan kekuasaan, tidak peduli sekecil apa pun, dapat dengan cepat diketahui dan menyebar luas.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Google dalam survei berjudul “Think Tech, Rise of Foldable: The Next Big Thing in Smartphone”, jumlah perangkat ponsel aktif di Indonesia mencapai 354 juta, melebihi jumlah penduduk, menandakan banyak warga yang memiliki lebih dari satu perangkat. Realitas ini menunjukkan bahwa setiap tindakan yang menyimpang dalam pelaksanaan Pemilu akan dengan cepat menjadi viral, mendapat perhatian dan pengawasan ketat dari rakyat.
Indonesia telah memasuki era reformasi selama hampir 25 tahun, membawa perspektif pemikiran baru dan mendorong masyarakat untuk lebih berani dalam menyampaikan kritik dan perlawanan terhadap tindakan yang merugikan kepentingannya. Ini termasuk tindakan dari institusi yang seharusnya bersikap netral namun ternyata bersikap partisan.
Penting bagi para politisi, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk memperhatikan dinamika sosial ini, dan memastikan bahwa mereka bersikap netral dan imparsial. Tidak ada ruang untuk bermain-main dalam proses pelaksanaan Pemilu, dan rakyat akan mengawasi dengan sangat ketat.
Kasus-kasus seperti pengiriman kertas suara ke Taiwan, simulasi kertas suara Pilpres yang hanya untuk 2 pasangan, pengerahan aparat desa, dan politisasi bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan sosial (Bansos) yang diklaim dari pribadi, harus dihindari. Kondisi dinamika yang luar biasa ini memerlukan perhatian lebih serius lagi untuk mencegah potensi kekecewaan massal.
Semua pihak perlu berhati-hati untuk tidak tergoda melompati pagar undang-undang dan etik, serta menghindari berbagai pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilu. Penyebaran informasi dan komunikasi yang demikian massif dapat dengan mudah memobilisasi solidaritas kekecewaan dan kekesalan masyarakat.
Mari kita menjaga Pemilu agar berjalan secara jujur, adil, dan rahasia (Jurdil), sehingga kedamaian, persaudaraan, kesatuan, dan persatuan tetap terjaga, dan negeri ini menjadi lebih baik. ***