Oleh: Laode Harjudin (Dosen Ilmu Politik UHO, Sekretaris Asosiasi Ilmu Politik Sultra)
PELAKSANAAN pilkada serentak tahun 2024 memiliki impilkasi politik serius karena menimbulkan kekosongan kekuasaan (vacum of power) di daerah. Kekosongan kepala daerah terjadi karena penghapusan Pilkada 2022 dan 2023 yang mengakibatkan sebagian besar daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota tidak memiliki kepala daerah definitif.
Mengantisipasi kekosongan pemerintahan, sesuai dengan UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah maka dilakukan penunjukkan atau pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah. Penjabat kepala daerah yang diangkat pada 2022 untuk 101 daerah dan pada 2023 untuk 171 daerah. Dengan demikian, total Pj kepala daerah yang harus diangkat oleh pemerintah sampai 2024 sebanyak 272. Jumlah ini setengah dari total jumlah provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia. Selain jumlah yang fantastis, masa tugas penjabat kepala daerah juga sangat lama, yaitu lebih kurang 2,5 sampai 3 tahun hingga terpilih kepala daerah definiti hasil pilkada serentak 2024.
Pengangkatan atau penunjukkan penjabat kepala daerah merupakan suatu bentuk bencana politik dalam sistem demokrasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait legitimasi politik penjabat yang ditunjuk tanpa keterlibatan rakyat. Di negara-negara penganut sistem demokrasi, berlangsung suatu tradisi untuk menentukan pemimpin atau perwakilan politik melalui proses pemilu yang diselenggarakan secara periodik. Persetujuan yang diperoleh dalam pemilu kemudian menjadi basis legitimasi oleh pemimpin politik yang memperoleh suara signifikan. Legitimasi bagi pemimpin politik menjadi penting karena merupakan faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakannya. Respon masyarakat terhadap kebijakan, sedikit banyak tergantung pada legitimasi para pembuat kebijakan (decision maker) tersebut.
Secara lugas, Coicaud (2002) memaknai legitimasi sebagai pengakuan terhadap atas hak untuk memerintah (right to govern). Dalam demokrasi, legitimasi politik bersumber dari rakyat, orang yang diperintah (the governend). Pemerintah yang sah dan legitimate hanya jika memperoleh persetujuan dari pihak yang diperintah. Persetujuan memiliki implikasi pada kewajiban untuk patuh (obey). Karena itu legitimasi politik bagi pemerintah menjadi penting dalam konteks demokrasi karena dua alasan, pertama, legitimasi politik menjadi alasan bagi rakyat untuk patuh kepada pemerintah sebagai konsekuensi dari persetujuan yang diberikan.
Pemerintah yang tidak melalui mekanisme persetujuan rakyat tidak memiliki hak moral untuk memerintah, sehingga dengan demikian, rakyat tidak memiliki kewajiban moral untuk patuh. Kedua, legitimasi politik memberikan landasan moral bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang mengikat secara hukum.
Dalam perspektif demokrasi, pemerintah yang memiliki legitimasi politik dari rakyat, juga memiliki kewenangan dengan konsekuesi hukum sehingga kebijakannya efektif. Lain halnya dengan penjabat kepala daerah yang ditunjuk tidak memiliki kewenangan politik yang mengikat karena basis legitrimasinya sangat lemah. Dengan demikian tidak memiliki kewenangan yang memaksa dalam menjalankan kebijakan.
Pengangkatan kepala daerah secara kolosal tanpa melalui pemilu berpotensi menimbilkan kemunduran demokrasi. Paling tidak, terdapat tiga argumentasi kemunduran demokrasi tersebut. Pertama, akuntabilitas dan responsibilitas penjabat yang diangkat terhadap masyarakat sangat rapuh. Pj kepala daerah akan lebih banyak tunduk pada perintah dan kepentingan atasan yang mengangkatnya ketimbang memperhatikan kepentingan rakyat. Hal ini membuat kepentingan masyarakat terabaikan atau kebijakan yang diambil tidak mencerminkan aspirasi masyarakat. Yang berlaku bukan kedaulatan rakyat, tapi kedaulatan penguasa.
Kedua, memicu konflik kepentingan yang tajam antara Pj. kepala daerah dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Konflik bisa muncul karena perbedaan sumber legitimasi antara kedua lembaga tersebut. DPRD merasa lebih superior karena dilegitimasi oleh suara rakyat, sementara Pj. kepala daerah lebih mengandalkan kekuatan pemerintah pusat sebagai institusi yang mengangkatnya. Bila antara kedua lembaga tersebut tidak mencapai titik temu bisa menimbulkan deadlock dalam pengambilan keputusan. Bila hal ini terjadi, lagi-lagi kepentigan masyarakat yang dikorbankan.
Ketiga, pengangkatan Pj. kepala daerah bisa menjadi pembenaran untuk menghapus pilkada secara permanen. Wacana ini sudah sering didengungkan rezim penguasa dengan dalih pilkada menelan biaya besar dan rawan konflik. Dalil tersebut akan semakin kuat jika para Pj. kepala daerah yang diangkat dianggap sukses dan tidak ada masyarakat yang mempersoalkannya. Bisa jadi pengangkatan Pj. kepala daerah secara besar-besaran merupakan ajang test case untuk mewujudkan ambisi penguasa.
Pengangkatan Pj. kepala daerah secara masif di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan masa jabatan setengan atau lebih dari periode kepala daerah merupakan sinyal bahaya bagi demokrasi Indonesia. Jika fenomena ini terus menggelinding tanpa kendali maka demokrasi Indonesia akan mundur ke belakang beberapa dekade, bahkan mungkin kembali ke otoritarianisme. Situasi ini mestinya menyadarkan kekuatan-kekuatan pro-demoktasi dan civil society untuk bersikap dan beraksi. Perjuangan mencapai demokrasi tidak akan pernah berakhir karena buah manis demokrasi tidak jatuh dengan sendirinya tetapi harus diraih, diperjuangkan. ***