Oleh: Amran Mustar Ode
Tak cukup setahun lagi pemilihan umum (Pemilu) serentak tahun 2024 akan dilaksanakan. Berbagai upaya akan dilakukan oleh para calon maupun tim kampanye untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Terkadang para calon maupun tim kampanye tidak saja menggunakan cara baik namun juga cara kotor dilakukan, salah satunya politik uang demi mendulang suara sebanyak-banyaknya.
Politik uang ini bukan hal yang tabu di tengah-tengah masyarakat saat Pemilu berlangsung, namun persoalan ini bahkan seakan-akan menjadi budaya di setiap pesta demokrasi.
Pada dasarnya semua pihak menginginkan pemilu yang bebas dari politik uang, namun mereka tidak kuasa melakukannya karena adanya situasi ketika para calon maupun tim kampanye merasa khawatir tidak akan menang tanpa melakukan politik uang.
Dilain sisi masyarakat menerima dan bahkan meminta uang politisi karena pemilu menjadi satu-satunya kesempatan bagi mereka mendapat uang dari para calon.
Politik uang harus dicegah karena selain merusak demokrasi, juga akan berdampak pada kwalitas pemimpin yang dihasilkan nanti. Para pemimpin yang lahir dengan politik uang tentunya rawan melakukan korupsi karena ia akan berfikir untuk mengembalikan kos politik yang telah dikeluarkan saat Pemilu.
Para pelaku politik uang ini terkadang memanfaatkan sedikit kelonggaran dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, yang hanya mengatur larangan politik uang terbatas waktu dan objek. Sehingga memungkinkan para pelaku politik uang bisa melakukan praktek kotornya sepanjang dirinya tidak masuk sebagai tim kampanye, peserta pemilu, atau pelaksana pemilu.
Ada berbagai modus politik uang yang dilancarkan oleh para pelaku seperti, memberikan hadiah kepada pemilih melalui undian berhadiah, pemberian sumbangan ke rumah ibadah atau lembaga keagamaan, pemberian beasiswa kepada pelajar atau mahasiswa, pemberian sembako kepada masyarakat kurang mampu, dan jual beli dukungan partai dan mahar.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Bawaslu Republik Indonesia (RI) pada Pemilu 2019 terdapat laporan maupun temuan tindak pidana pemilu sampai tahap pemeriksaan pengadilan sebanyak 548 kasus, kemudian yang berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan 380 kasus, serta yang berkaitan politik uang sebanyak 69 kasus.
Walaupun begitu, upaya pencegahan politik uang masih dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pengawas pemilu terkait politik uang, gencar melakukan sosialisasi dan kampanye mengenai bahayanya politik uang, menguatkan kesabaran masyarakat tentang sangsi hukum melakukan politik uang, memperkuat singkronisasi data pengawasan dari pusat hingga daerah, menegaskan peraturan yang menjadi dasar larangan politik uang.Sudah jelas dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Pada pasal 515 sangsi pidana bagi pelaku politik uang paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta. Kemudian pasal 523 mulai dari ayat 1, 2, dan 3 sangsi yang diterapkan beragam mulai dari 2 sampai 4 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta sampai Rp 48 juta.
Pencegahan politik uang ini tidak akan maksimal jika hanya mengandalkan Bawaslu saja namun butuh peran serta seluruh pihak, dengan meningkatkan pengawasan partisipatif dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga masyarakat. (Penulis adalah wartawan SultraKini.com)