Cegah Risiko Kesehatan Akibat Sampah di TPA, Ini Rekomendasi Kebijakan yang Melindungi Pemulung

  • Bagikan
Sri Damayanty Mahasiswi Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin)

Oleh: Sri Damayanty (Mahasiswi Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin)

Pembangunan dan kegiatan masyarakat telah menimbulkan masalah lingkungan hidup dan gangguan kesehatan akibat kualitas lingkungan yang buruk. Peningkatan produksi dan gaya hidup konsumtif telah menyebabkan melimpahnya produksi sampah. Tanpa pengelolaan yang berkelanjutan, sampah menumpuk dan berdampak negatif pada lingkungan dan kesehatan masyarakat (Alisjahbana et al., 2018). Krisis polusi global terjadi karena produksi dan pelepasan limbah harian ke lingkungan yang mencapai 2,01 miliar ton per tahun (Ertz et al., 2021; UNEP, 2021). Jika tidak dikendalikan, diperkirakan produksi sampah perkotaan akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2050 (World Bank, 2018).

Pengelolaan sampah padat merupakan komponen penting dalam pembangunan berkelanjutan karena dampaknya yang signifikan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, lingkungan, dan pencapaian tujuan global. Pengelolaan sampah ini sejalan dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) pada tujuan ke 11 yaitu “Membangun Kota dan Permukiman yang Inklusif, Aman, Berdaya Tahan dan Berkelanjutan”. Khususnya pada target 11.6 yang isinya menyebutkan “pada tahun 2030, mengurangi dampak perkotaan perkapita lingkungan yang merugikan, termasuk dengan memberi perhatian khusus pada kualitas udara, termasuk penanganan sampah kota”. Serta Tujuan ke 12 yaitu “Menjamin Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan” khususnya pada target 12.5, yaitu “pada tahun 2030 setiap negara secara substansial mengurangi timbulnya sampah melalui pencegahan, pengurangan, daur ulang, dan penggunaan kembali”. Target SDGs tersebut merupakan salah satu upaya penanganan timbulnya sampah khususnya di daerah perkotaan.

Persoalan sampah terkhusus pada pengelolaan sampah yang baik dan berkelanjutan juga berkaitan dengan upaya mitigasi perubahan iklim, dan hal itu disebutkan pada Tujuan 13 SDGs “Penanganan Perubahan Iklim”. Strateginya adalah tersedianya sistem pengelolaan limbah yang terintegrasi (Alisjahbana et al., 2018). Ini berkaitan dengan beberapa komponen dalam sampah yang merupakan kontributor Gas Rumah Kaca (GRK) yang meningkatkan pemanasan global.

Permasalahan sampah telah menjadi perhatian nasional di Indonesia. Perubahan pola belanja dan konsumsi masyarakat, pembangunan ekonomi, dan pertumbuhan populasi semuanya terkait langsung dengan permasalahan ini. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa sejumlah variabel seperti pertumbuhan penduduk dan pergeseran kebiasaan konsumen berkontribusi terhadap peningkatan produksi sampah baik dari segi volume, jenis, dan ciri.

Permasalahan dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah juga terjadi di Kota Kendari. Kompleksitas permasalahan sampah terjadi, salah satunya sampah berserakan di tempat umum. Fenomena penumpukan sampah di TPS juga mewarnai beberapa sudut kota. Saat ini pengumpulan sampah masih belum dipisahkan antara sampah anorganik dan sampah organik sehingga masih dimanfaatkan oleh pemulung untuk dikumpulkan kembali dan diolah sendiri. Belum lagi permasalahan pemulung yang dalam giatnya yang tidak dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang baik (Sundi Putri et al., 2023).

Pemulung di tempat pembuangan sampah terbuka menghadapi risiko kesehatan yang signifikan ketika mereka memungut sampah di sana (Ferronato & Torretta, 2019). Mereka merupakan salah satu kelompok paling berisiko di masyarakat. PBB menyebut pemulung sebagai “pecinta lingkungan yang tidak terlihat” di seluruh dunia (UNEP, 2013). Daur ulang dan sampah lainnya dikumpulkan dari tempat pembuangan sampah dan jalan raya oleh pemulung untuk menghidupi diri mereka sendiri (Uddin & Gutberlet, 2018b).

TPA merupakan medan kerja para pemulung, menjadi rumah bagi sejumlah bahan kimia yang diketahui berbahaya bagi kesehatan manusia (Ferronato & Torretta, 2019), yaitu dikaitkan dengan masalah kesehatan seperti alergi, gangguan psikologis, kelelahan, sakit kepala, iritasi kulit, hidung dan mata, masalah pencernaan, dan gejala pernafasan. Sampah bahkan mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan dapat menyebabkan kanker, cacat lahir, kelainan bawaan, dan kelahiran prematur. Menurut Norsa’adah dkk (2020), terdapat peningkatan risiko cacat bawaan dan berat badan lahir rendah masing-masing sebesar 2% dan 6% pada penduduk yang tinggal dalam jarak dua kilometer dari tempat pembuangan sampah.

Sebuah studi menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dari penyakit pernapasan, iritasi mata, dan masalah perut di antara individu yang tinggal di dekat lokasi pembuangan akibat terpapar oleh partikel PM 10 dan PM 2.5, dibandingkan dengan individu yang tidak terpapar. Angka penyakit pernapasan (12%), infeksi mata (8%), dan masalah perut (7%) lebih tinggi secara signifikan pada kelompok yang terpapar dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpapar. Evaluasi kualitas udara selama kebakaran di lokasi pembuangan menunjukkan tingkat PM 10 dan PM 2.5 yang tinggi, yang menimbulkan potensi risiko terhadap polusi udara (Singh dkk., 2021).

Dapat dikatakan bahwa sampah di TPA memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sementara peran pemulung sangat signifikan dalam manajemen sampah dan proses daur ulang, namun lingkungan tempat kerja dalam hal ini TPA dipenuhi dengan risiko kesehatan yang serius. Maka penilaian risiko kesehatan yang komprehensif perlu dilakukan untuk melindungi kesehatan para pemulung yang bekerja di TPA.

Pertama-tama, penting untuk mengembangkan dan menerapkan program penilaian risiko kesehatan yang komprehensif dan terstruktur bagi para pemulung di TPA. Program tersebut mencakup pemeriksaan kesehatan berkala guna mengidentifikasi potensi risiko kesehatan, seperti paparan terhadap bahan kimia berbahaya, risiko cedera fisik, dan penyebaran penyakit infeksius. Langkah-langkah pencegahan dan perlindungan yang sesuai kemudian ditetapkan berdasarkan hasil penilaian risiko ini.

Diperlukan juga pelatihan yang memadai bagi para pemulung dan tenaga kerja di TPA dalam mengenali dan mengelola risiko kesehatan. Pelatihan ini harus meliputi pengetahuan tentang penggunaan APD yang tepat, praktik kebersihan yang efektif, serta langkah-langkah pencegahan terhadap paparan bahan berbahaya. Selain itu, pelatihan juga harus mencakup pemahaman tentang pentingnya mengenali gejala penyakit secara dini yang mungkin muncul akibat pekerjaan di TPA.

Selanjutnya, kerjasama antara pemerintah daerah, instansi atau lembaga kesehatan, dan organisasi non-pemerintah menjadi sangat esensial khususnya dalam mengutamakan kesejahteraan para pemulung. Dengan bersinergi, berbagai pihak dapat saling mendukung dalam usaha penilaian risiko kesehatan, penyelenggaraan pelatihan, serta pengembangan program-program kesehatan yang sesuai untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan para pemulung.

Tingkatkan pula ketersediaan layanan kesehatan yang terjangkau dan bermutu bagi para pemulung di TPA di Kota Kendari. Hal ini bisa mencakup penyediaan layanan primer kesehatan yang berlokasi dekat dengan area TPA, pelaksanaan program vaksinasi secara rutin, dan mempermudah akses ke layanan pemeriksaan kesehatan serta perawatan medis lanjutan.

Terakhir, pemerintah daerah harus menetapkan dan menguatkan regulasi terkait keselamatan dan kesehatan kerja di TPA. Ini termasuk penegakan peraturan terkait penggunaan APD, pengelolaan limbah berbahaya, dan keamanan infrastruktur di sekitar TPA. Penegakan regulasi ini penting untuk memastikan bahwa lingkungan kerja para pemulung di TPA aman dan sehat.

Penilaian risiko kesehatan bagi para pemulung di TPA di Kota Kendari adalah suatu keharusan. Dengan menerapkan rekomendasi kebijakan yang telah disebutkan di atas, diharapkan dapat meningkatkan kondisi kesehatan dan kesejahteraan para pemulung, serta mengurangi risiko paparan terhadap penyakit dan cedera yang dapat mengancam kehidupan mereka. Pada akhirnya bukan hanya berimplikasi pada pemulung saja, juga pada masyarakat sekitar dan lingkungan sekitar.

Dengan mempertimbangkan risiko kesehatan akibat sampah harusnya menjadi pegangan setiap individu akan pentingnya penanganan sampah yang baik. Sebab persoalan sampah merupakan masalah kompleks yang seharusnya tidak hanya ditangani pada wilayah TPA saja atau ditangani oleh pihak tertentu saja. Berkaitan dengan sampah haruslah dimulai dari individu sebagai penghasil sampah, untuk mewujudkan prinsip “Zero Waste”. Mengurangi timbulan sampah hingga titik nol harus menjadi tugas bersama. Selanjutnya penanganan yang baik pada pemilahan, daur ulang, hingga sampai pada Proses Akhir sampah di TPA harus menjadi perhatian yang serius. ***

  • Bagikan
Exit mobile version