Oleh: Laode Harjudin (Dosen Ilmu Politik Universitas Halu Oleo)
Di tengah hingar bingar politik jelang pemilu 2024 secara mengejutkan muncul wacana pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Jokowidodo. Wacana tersebut merupakan reaksi terhadap berbagai sikap dan tindakan blunder politik Jokowidodo yang dianggap tidak lagi mencerminkan perilaku kenegarawanan seorang presiden dan melabrak norma-norma demokrasi. Salah satu yang cukup mencengangkan sikap Jokowidodo yang terang-terangan menunjukkan keberpihakan politik pada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk memenangkan pemilu 2024.
Pemakzulan merupakan bentuk sanksi politik terberat yang bertujuan untuk memberhentikan presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Munculnya isu pemakzulan dapat dibaca sebagai refkleksi tingkat kekesalan masyarakat terhadap presiden sudah tidak bisa ditolelir lagi sebagai akibat dari sikap dan tindakan presiden yang dianggap berada di luar batas keawajaran etika bernegara dan demokrasi. Karena itu jalan pemakzulan terpaksa ditempuh.
Namun demikian, proses pemakzulan harus melalui jalan panjang dan berliku untuk sampai pada tujuan akhirnya. Secara formal kontitusi, proses pemakzulan mulai dengan proses politik berupa usulan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, kemudian melewati proses hukum di Mahkamah Konstitusi setelah itu kembali lagi dalam proses politik di DPR dan MPR. Sudah dapat dibayangkan betapa sengitnya tarik menarik kepentingan dan intrik politik yang mewarnai proses tersebut. Dalam kondisi politik saat ini, proses pemakzulan formal hampir mustahil berhasil.
Selain melalui mekanisme formal di legislatif dan yudikatif, pemakzulan presiden dapat dilakukan dengan gerakan rakyat (people power) untuk memaksa presiden turun dari jabatannya. Hal ini sudah ada presdennya di Indonesia pada masa Orde Lama, Soekarno (1966) dan masa Orde Baru, Soeharto, 1998. Dua presiden yang terbilang powefull tersebut harus menerima kenyataan politik tragis karena gelombang tuntutan rakyat yang sangat kuat. Soekarno dan Soeharto dipaksa turun dari jabatannya secara tidak terhormat karena bertindak di luar fatsun politik demokrasi dan menunjukkan watak otoritarinisme.
Gejala-gejala politik 1996 dan 1998 kembali nampak di era pemerintahan Jokowidodo yang cenderung untuk membangun dinasti politik dan melanggengkan kekuasaannya. Kenyataan politik ini memicu munculnya gerakan rakyat untuk menberhentikan presiden dari kekuasaannya. Persis seperti gerakan reformasi 1998, benih-benih gerakan rakyat saat ini mulai muncul dari kampus dan masyarakat akar rumput. Gelombang reaksi kampus dalam bentuk pernyataan sikap dan kritik terhadap sikap dan tindakan politik Jokowidodo merupakan langkah awal sebuah gerakan people power. Tidak tertutup kemingkinan, gerakan dari kampus akan terus menggelinding bak bola salju yang semakin membesar menjadi kekuatan dahsyat untuk meruntuhkan tembok kekuasaan.
Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, tidak terkecuali presiden turun. Wallahualam. ***