Kebebasan Ruhani

  • Bagikan
Makmur Ibnu Hadjar.Foto: Ist

Oleh: Makmur Ibnu Hadjar
Alumni UGM Yogyakarta dan Curtin University Of Technology, Perth.

Kebebasan ruhani adalah merupakan salah satu esensi dari pada kebahagian abadi setiap individu manusia, dan usaha untuk mendapatkan kebebasan ruhani itu dapat dilakukan oleh siapa saja- sedangkan usaha untuk menjelasakannya, biasanya lebih fasih oleh kaum yang terdidik atau ulama.

Nurchoish Madjid dalam satu komentarnya tentang kebebasan ruhani ini menjelaskan sebagai berikut; ….”bahwa kebebasan ruhani tidak dapat dipahami kecuali dalam konteks pembebasannya dari kungkungan jasmani. Dalam satu ungkapan yang umum dikenal oleh ummat yaitu ; kebebasan ruhani ialah terutama berpangkal dari mengalahkan “hawa nafsu”. Istilah hawa nafsu itu sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu hawa al-nafs, yang kurang lebih berarti “keinginan diri sendiri, dan hawa itu sendiri sebagai kata kerja diartikan sebagai “jatuh”. Maka makna hawa al-nafs, berarti keinginan diri sendiri atau kejatuhan diri sendiri.

Nurcholish Madjid mensejajarkan kalimat hawa nafsu itu, dengan ungkapan kontemporer dewasa ini – yang dalam bahasa Inggeris disebut “vested interest”. Untuk itu lanjut Nurcholish Madjid maka kalimat “tyranny of vested interest”, adalah suatu ungkapan bahwa hawa nafsu itu dapat membelenggu dan mendominasi kebebasan ruhani manusia, yaitu kegandrungan dan ketundukkan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri.

Jika kita menyimak secara saksama kisah awal mula penciptaan Adam dan Hawa, serta kehidupan mereka berdua di surga, maka kita menemukan suatu hikmah bahwa kebebasan (ruhani) itu adalah anugrah ALLAH SWT sejak awal penciptaan manusia. Ketika ALLAH SWT mengizinkan Adam dan Hawa hidup di dalam surga, maka pada saat yang bersamaan ALLAH SWT juga memberikan kebebasan kepada mereka berdua untuk “makan” (merasakan kebahagiaan surgawi), apa saja yang dikendaki, tetapi juga diberi pesan untuk tidak mendekati sebuah pohon terlarang, sebab dengan mendekatinya maka konsekwensinya mereka akan masuk dunia “zhulm” (gelap), yang dapat menghapuskan kebahagian dan kebebasan yang sedang mereka nikmati di surga itu.

Kembali kepada pengertian hawa al-nafs (hawa nafsu) yang dijelaskan sebelumnya, maka menahan hawa nafsu adalah menahan diri sendiri dari kejatuhan nilai dan eksistensi kemanusiaan. Dalam pemahaman itu, maka menahan diri sendiri dari kejatuhan adalah syarat pokok untuk mendapatkan “kebebasan ruhani”, yang selanjutnya akan membawa kebahagian abadi, sebagaimana yang dilukiskan dengan sangat indah dalam Al Quran suci sebagai berikut : Adapun orang yang senatiasa takut (sadar dan waspada ) akan kebesaran (kehadiran) Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat menetapnya (Q: An Naazi’aat:40-41).

Kisah Adam dan Hawa yang diabadikan dalam kitab suci itu, menggambarkan dua hal yang mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu gambaran tentang kebahagian hakiki yang merupakan fasiitas ALLAH SWT yang diberikan kepada keduanya, dan yang kedua menggambarkan pula kejatuhan keduanya karena melanggar batas-batas kebebasan yang telah ALLAH SWT anugrahkan. Dalam konteks riwayat langit ini, ALLAH SWT memberikan ihtibar atas kegagalan Adam dan Hawa dalam menahan diri (al-nafs).

Karena itu kebahagian akan diraih oleh setiap manusia manakala dapat membebaskan diri dari belenggu nafsu jasmani, dan kebahagian dalam konteks itu adalah wujud hakekat manusia sesuai tujuan primordial (tujuan orisini) Ilahi Rabbi. Dalam keperluan itu, yakni untuk melatih manusia keluar dari belenggu hawa nafsu, maka ALLAH SWT mendatangkan bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi oleh ALLAH SWT , dimana ada fasilitas ruang dan waktu, serta media ibadah selama kurang lebih satu bulan bagi ummat manusia untuk meraih kebebasan ruhani, dengan mengendalikan hawa nafsu. Wallahuallam bissawab*.

  • Bagikan
Exit mobile version