Oleh: Abdi Mahatma (Mantan Jurnalis/Komisioner KPU Bombana)
Andai saja Sitti Jauhar melihat aksi heroik Apriani Rahayu saat ini, sulit membayangkan betapa bangga dan bahagianya wanita itu. Anak yang ia lahirkan di Lawulo, Konawe, 23 tahun silam tersebut baru saja mengukir sejarah. Ayunan raket Ani-panggilannya di kampung-bersama Greysia Polii sukses mengantar keduanya ke babak final ganda putri bulutangkis Olimpiade Tokyo 2020. Inilah kali pertama Indonesia menembus partai puncak di ajang olahraga terakbar di kolong langit itu.
Perempuan hebat bernama Sitti Jauhar itu telah dipanggil ke pangkuan Tuhan sejak 2015 lalu. Tapi ia meninggalkan kebanggaan dan selalu menjadi pelecut semangat bagi Apriani tiap kali bertanding. Hari ini, di Tokyo, si bungsu dari empat bersaudara itu lagi-lagi membuat sang ibu tersenyum, meski dari alam berbeda. Apriani membuktikan bahwa segala pengorbanan ibunya, mensuport hobbynya, tak sia-sia.
Ya, Apriani tak hanya membuat bangga orang tuanya. Seluruh Indonesia, apalagi masyarakat Konawe dan Sulawesi Tenggara kehabisan kata-kata melihat bagaimana heroiknya Apriani Rahayu bersama Greysia Polii mencapai babak final ganda putri bulutangkis di Olimpiade Tokyo. di semifinal, mereka menumbangkan unggulan keempat asal Korea Selatan, Lee Sohee/Shin Seungchan dengan dua game langsung.
Ada rentetan perjuangan menguras keringat dan air mata bagi Apriani hingga ia bisa benderang di Tokyo, bahkan melampaui ekspektasinya sendiri. Ani, putri keempat pasangan Ameruddin dan mendiang Sitti Jauhar mencintai olah raga tepok bulu itu sejak belia. Saat usia tiga tahun, Ani sering melihat ibu dan bapaknya bermain bulutangkis di pekarangan rumah mereka.
Saat pertama mencoba olahraga ini, Ani menggunakan raket yang dibuat oleh ayahnya, dari kayu dengan dengan shuttlecock terbuat dari jerami. Ia kadang bermain bersama tetangganya, seorang bocah lelaki. Saat SD, hobinya berlanjut. Ani lalu meminta orang tuanya agar dibelikan raket sesungguhnya. Namun karena keterbatasan, Ani hanya diberi raket usang yang tali senarnya sudah pada putus.
“Tali senarnya itu kami sambung-sambung lagi dengan tali pancing, supaya bisa dipakai. Masalahnya kalau tidak dikasi raket, Ani mengamuk,” kenang Ameruddin, sang ayah. Kisah ini saya kutip dari artikel milik sultrakini.com, tahun 2017 lalu. Kala itu, Apriani/Greysia baru saja menjuarai Thailand Open yang menjadi titik awal nama mereka mendunia.
Tahun 2005, Ani mulai ikut turnamen bulutangkis tingkat kecamatan. Setahun kemudian, dia tampil profesional di ajang bulutangkis junior tingkat Kabupaten Konawe. Pada tahun yang sama, Ani langsung melejit ke level provinsi. Saat di kelas enam SD, prestasinya semakin cemerlang. Ia sudah ikut Pekan Olahraga Daerah (Porda) Sultra dan meraih juara II.
Ameruddin, sang ayah adalah pegawai di UPTD Dinas Pertanian Konawe. Sementara Sitti Jauhar hanya ibu rumah tangga. Tiap kali latihan, Ani selalu ditemani ayahnya. “Kami biasa latihan sore hari di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Unaaha. Untuk sampai ke arena, Ani berlari dari rumah ke SKB. Jaraknya itu sekira Sembilan kilometer. Saya ikut dari belakang, naik motor,” tutur sang ayah, lelaki yang dipanggil Opande oleh Apriani
Hasil kerja kerasnya pun tidak sia-sia. Dibeberapa pertandingan tingkat provinsi, untuk kelas junior ia selalu gemilang. Sayangnya, kendala keuangan kerap menghadang prestasinya. Tiap kali hendak berkompetisi, problem ini selalu menghantui. Untung saja, selalu ada kawan-kawan dan pelatihnya yang membantu. Mereka berkongsi, mengumpulkan duit buat Ani bertanding. Kadang, ibunya ikut berkorban.
Di kanal youtube indosport, setahun lalu, Apriani bercerita bahwa ibunya adalah orang yang paling mendukung impiannya. Sang ibu bahkan selalu mendampingi Ani dimanapun ia bertanding. Apalagi saat masih di level junior. Suatu saat, kala bertanding di Jakarta, perempuan yang ia panggil Omande itu ikut. “Saya masih sering ngompol soalnya,” buka Apriani sembari terkekeh malu pada perbincangan yang dipandu Shintya Maharani itu.
Sang ibu bahkan beberapa kali harus menggadai perhiasannya agar Ani bisa terus bermain. Untuk jajan, Ani pernah diminta ibunya berjualan cabe rawit dan sayur terong yang ditanam keluarganya di halaman belakang rumah. “Luar biasa jasa dan pengorbanan Omande untuk karier saya,” tukasnya. Ia terdiam beberapa saat kala mengucapkan itu.
Demi terus mengasah kemampuannya menjadi pebulutangkis, pada tahun 2011 silam, Ani hijrah ke Jakarta bergabung di Klub PB Pelita Bakrie binaan legenda bulu tangkis, Icuk Sugiarto. Ia nyaris saja ditolak, tapi dengan usaha seorang pencari bakat bernama Pa Akib, Icuk akhirnya mau menerima. “Saya dicoba tiga bulan, dan ternyata ada perkembangan. Saya akhirnya bisa gratis latihan,” kenang Ani.
Dari sinilah kariernya meroket. Ia mendadak jadi bintang, khususnya di tingkat junior. Sayang, kala sedang menunju sukses, Apriani harus kehilangan Omande. Kala itu, November 2015 lalu, saat Ani sedang mengikuti Kejuaraan Dunia Junior di Peru, sang ibu meninggal dunia.
Kini, Apriani/Greysia sudah di final Olimpiade. Satu langkah lagi, keduanya akan kembali menoreh sejarah. Mereka nanti bakal berhadapan dengan ganda kuat asal China, Chen Qing Chen/Jia Yi Fan. Saya tak lagi peduli, mau emas atau perak yang bakal diraih, toh Apri/Polii sudah membuat saya bangga jadi orang Indonesia. Pasangan beda usia 10 tahun ini telah memberi contoh soal daya juang, mental kuat, kekompakan dan juga teknik tinggi kala bermain.
Dari surga, Sitti Jauhar, ibunda Apriani pasti berharap agar si bungsu bisa pulang ke Indonesia berkalung medali emas Olimpiade. Dari sudut kampung Lawulo di Kecamatan Anggaberi, Konawe, bakal ada kiriman doa dari warganya agar bintang mereka, bintang Indonesia bisa memungkasi Olimpiade dengan emas.
Saya ingat omongan mantan Menpora Adhyaksa Dault. “Indonesia Raya itu bisa berkumandang diluar negeri hanya ada dua momentum. Pertama saat ada kunjungan kenegaraan, kedua saat atlet berprestasi Internasional.”
Ayo..dukung Greysia/Apriani kumandangkan Indonesia Raya di negeri matahari terbit, Jepang. ***