Oleh: H. Adlan Daie
Puan Maharani, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Politik dan Keamanan sekaligus Ketua DPR RI diframing tidak ramah bahkan “anti Islam” dan hendak dijauhkan dari basis elektoral umat Islam dalam kontestasi elektoral politik termasuk dalam konteks pilpres 2024.
Gagasannya tentang Islam “Merah Putih” yang disampaikan Puan saat “ngaji” Ramadhan bareng Cak Nun( Emha Ainun Nadjiib) di kompleks kantor DPP PDI Perjuangan (Investor, 27/4/2022) dituding dokter Eva Sri Diani sebagai aliran atau “sekte” Islam baru yang “bid’ah” dan mengada ngada (Warta ekonomi, 30/4/2022).
Di level akar rumput tak kurang dahsyatnya Puan dihubungkan pula dengan issu sensitif, (hoax) seolah olah Puan hendak menghapuskan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah umum.
Dalam konteks di atas itulah penulis sebagai pengurus NU Jawa Barat selama sebelas tahun memiliki “mas’uliyah diniyah”.
Sebuah tanggung jawab keagamaan untuk meletakkan konsep Islam “Merah Putih” dalam proporsi yang dimaksud Puan, yakni merujuk pada sambutan Puan sendiri dalam acara haul ke 6 (almarhum) Taufik Keimas, ayahanda Puan, bahwa Islam “Merah Putih” menurutnya adalah “Islam nusantara yang berkemajuan” (Sindonews, 3/4/2022).
Di sini jelas bahwa gagasan Puan tentang Islam “Merah Putih” bukanlah “sekte” baru dalam Islam.
Konsepsinya memiliki “sanad” dan tautan dengan “Islam nusantara” NU dan “Islam berkemajuan” Muhammadiyah.
Jejak keislaman Puan dalam relasi dengan NU dan Muhammadiyah tentu bukan hal baru.
Kakek dan ibunya, Bung Karno dan Megawati, memiliki relasi.kuat dengan NU, mengutip Gus Yahya ketua umum PBNU, bukan sekedar patner, lebih dari itu, “senyawa” dalam perjuangan kebangsaan.
Dari “trah” nenek dan ayahandanya, yakni ibu Fatmawati dan Taufiq keimas, Puan memiliki relasi organisatoris dengan Muhammadiyah.
Dengan demikian jelaslah relasi Puan dengan NU dan Muhamadiyah. Karena itu Puan mengerti Islam, memahami keragaman corak ekspresi keislaman di Indonesia.
Dalam diksi Bung Karno dalam bukunya “Galilah Api Islam” (1966) Puan mengerti “api” dan “abu” nya Islam. Api dan prinsip prinsip Islam harus selalu “dinyalakan” tapi “abu” atau ekspresi corak budayanya, meminjam istilah Gusdur harus “dipribumisasikan” dalam budaya khas Indonesia tentu dengan spirit berkemajuan.
Hal penting yang hendak digarisbawahi dari tulisan singkat ini selain menjelaskan proporsi keislaman Puan dan relasinya dengan NU dan Muhammadiyah di atas adalah bahwa penggunaan “politik identitas” dengan narasi-narasi keagamaan secara konfliktual sangat berbahaya dalam kontestasi politik.
Berpotensi merusak harmoni sosial dan sendi-sendi kebangsaan.
Ongkos sosialnya terlalu mahal bagi keindonesiaan yang beragam.
Di sinilah urgensi ormas-ormas Islam di Indonesia harus terlibat dan melibatkan diri meletakkan kekuatan moral agama dalam dinamika kontestasi politik dan mencegah agama menjadi alat “politik identitas” untuk menyerang pihak lain dalam persaingan politik.
Hanya dengan cara itulah kontestasi pilpres 2024 menjadi jalan mulia dan beradab dalam proses seleksi kepemimpinan politik dan tidak berbalik arah menjadi ajang caci maki dan ujaran kebencian dalam konteks tulisan ini.
Sekali lagi bukan sekedar merugikan Puan secara individual melainkan sebuah pertaruhan bagi keutuhan bangsa. Tabik !!! Wasaalam. (Penulis adalah Wakil Sekretaris NU Jawa Barat 2010-2021)