Oleh: Sumadi Dilla (Dosen Ilmu Komunikasi UHO)
ISTILAH vandalisme beberapa tahun terakhir sangat populer. Menjadi topik menarik dalam berbagai forum, diskusi, seminar, riset bahkan tulisan kritis para ahli. Popularitas tersebut terjadi seiring dengan munculnya berbagai pandangan atau perspektif vandalisme sebagai akibat dari munculnya aksi-aksi atau perilaku masyarakat, khususnya kaum muda yang mengekspresikan pemikiran, sikap, tindakan, hasrat dan harapan mereka secara bebas dan berbeda-beda di ruang terbuka.
Jauh sebelum era modern, vandalisme telah menjadi narasi isu dan cara (perilaku) tertentu dalam mengekspresikan pikiran, hasrat, sikap, perilaku dan harapan. Pada zaman Romawi, istilah vandalisme dipergunakan sebagai narasi yang mengilustrasikan peristiwa kemenangan dan penaklukan wilayah bangsa lain dalam bentuk tulisan, coretan dan gambar. Namun, seiring begitu masifnya aksi tersebut menyebar di benua Eropa, vandalisme berbalik arah menjadi anti tesis narasi dan aksi barbar yang merusak, mengganggu dan mengacaukan tatanan sosial (Goldstein, 2006). Hal tersebut pada akhirnya menggeser narasi vandalisme menjadi perilaku menyimpang yang kompleks dan rumit.
Kompleksitas dan kerumitan tersebut berkaitan dengan tema dan isu vandalisme yang semula bersifat positif, menjadi bermuatan negatif. Dari tema dan isu semangat heroik, kegembiraan, dan kemenangan berubah menjadi tema penindasan, pemaksaan, dan pengrusakan property orang lain dan publik. Bahkan istilah atau narasi vandalisme disematkan kepada seseorang atau sekelompok orang menjadi label tabiat perilaku menyimpang. Sebagaimana istilah vandalisme dari suku Vandal di Jerman Timur yang mempertontonkan perilaku pengrusakan, kekejaman, pengacauan, penistaan serta kriminalitas.
Pergeseran narasi, tema, isu, cara atau makna istilah vandalisme yang diuraikan di atas, menunjukkan adanya perspektif vandalisme yang berkembang, dari yang bersifat positif-negatif menuju perspektif alternatif. Keragaman perspektif ini akan terus terjadi seiring dengan pergeseran bentuk perilaku masyarakat. Dengan demikian, vandalisme bukan diklaim narasi, tema, isu dan perilaku yang kaku dan terbatas. Sehingga terdapat ruang diskusi yang longgar buat kita menilai atau menganalisis aksi-aksi kaum muda seperti demonstrasi mahasiswa yang marak terjadi di dalam maupun luar kampus. Pada konteks ini, mungkin kita sepakat bahwa aksi-aksi mahasiswa merupakan ekspresi spontanitas terhadap keadaan tertentu. Maka sejatinya pula, harus bijak menyimpulkan aksi mahasiswa sebagai perilaku vandalis barbar atau bukan. Patut kiranya kita harus cermat dan adil menelaah makna dibalik tindakan mahasiswa tersebut. Sungguh naif sebagai insan cendekia secara semena-mena menjustifikasi aksi spontanitas itu sesuatu yang bermuatan vandalis.
Pada sisi lain, kita juga tentu bersepakat bahwa segala aksi atau tindakan mahasiswa yang bermuatan kekerasan, perusakan, kekacauan, penindasan, atau kriminal sebagai perilaku vandalis perlu diperbaiki. Meskipun demikian, kita pun akan maklum bersama bahwa segala bentuk perilaku atau aksi yang mengarah pada tindakan kriminal dan vandalisme kampus yang merusak ala barbar, semestinya dicegah dan dihilangkan.
Perilaku Positif-Negatif menuju Alternatif
Secara historis pemahaman terhadap perilaku vandalisme telah mengalami dinamika panjang mulai era penaklukan hingga era pembebasan zaman Romawi. Dinamika vandalisme terlihat dalam beberapa pemikiran para ahli sosial hingga saat ini, sangat beragam dengan perspektifnya masing-masing. Perilaku vandalisme yang dahulu dipahami identik dengan narasi positif, negatif lalu secara perlahan berkembang menjadi perspektif alternatif yang berbasis isu dan aksi kreatif dalam masyarakat modern.
Sebagian ahli menyebut vandalisme sebagai gerakan seni alternatif yang kekinian. Dinamika dimaksud berkaitan keragaman perspektif atau pergeseran makna vandalisme, sebagaimana penjelasan ahli psikologi sosial, Jason Lase (2003), dan Goldstein (2006) menyebut vandalisme sebagai perilaku negatif yang menyimpang dan merusak melalui aksi coret dan tulisan. Goldstein misalnya, menjelaskan bahwa suatu perilaku dapat disebut sebagai perilaku vandalisme, apabila tindakan itu dilakukan secara sporadis, bersama-sama dan menyebar dengan tujuan amarah, geram, dan kesal. Apalagi jika tindakan tersebut sengaja untuk menciptakan teror, kekacauan atau ketidakaturan (disorder) semata. Sebaliknya Lase menguraikan, suatu tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang secara sengaja dan terencana secara bersama dan menyebar terhadap suatu keadaan, peristiwa, sistem atau struktur tertentu, dengan motif penolakan, ketidaksetujuan, perlawanan atau protes, secara vulgar di ruang publik, bukan termasuk tindakan vandalis. Dengan demikian, tindakan atau perilaku dapat disebut aksi vandalisme atau bukan, diukur dengan batas etis, culture, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat setempat.
Merujuk pada pemikiran di atas, berikut sebuah contoh buruk tindakan vandalisme yang dimuat detik.com (2014), bahwa aksi coretan bertuliskan pesan tidak terpuji, bertentangan dengan budaya dan hukum lingkungan di Jepang. Peristiwa tersebut menjadi sorotan publik Jepang akibat ulah warga negara Indonesia yang menulis di atas batu Gunung Fuji, “CLA-X INDONESIA” (baca: Klaten, Indonesia). Tulisan itu menuai kritik sebagai tindakan vandalisme yang merusak lingkungan dan keindahan alam yang sangat disakralkan dalam budaya masyarakat Jepang.
Jika merujuk pendapat Goldstein dan Jason Lase yang mengidentifikasi Vandalisme sebagai perilaku negatif dan merusak property orang lain, fasiltas publik dan lingkungan, dilakukan secara emosional (amarah, geram, kesal), maka perilaku vandalisme tersebut dapat dilihat dari 2 (dua) sisi; Pertama, vandalisme yang bersifat verbal seperti coretan/tulisan liar yang mengganggu, menyerang dan merusak keindahan, pada objek tembok, jembatan, pagar, halte bus, bus umum, WC umum, telpon umum, gedung umum, sarana pariwisata, dan lain sebagainya. Kedua, perilaku vandalisme yang bersifat fisik (merusak) seperti, memotong pohon, merusak tanaman, memecahkan lampu, mencabut, melempari, mengotori, dan membongkar fasiltas publik, dengan objek: taman umum, hutan wisata, gedung umum, gedung sekolah, kampus, taman, dan lain sebagainya. Pada konteks ini menurut Jason Lase (2003), perilaku vandalisme sebagai bentuk perilaku depresif yang di luar norma dan moral dalam suatu sistem sosial.
Sementara Gustave Courbet dan Asgert Jorn (1961) termasuk beberapa dari banyak ahli yang mewakili perspektif vandalisme sebagai gerakan isu dan aksi seni alternatif. Menurut mereka vandalisme telah berkembang menjadi sarana penyaluran bakat, minat, hobi dan seni, sebagai “graffiti arts” kaum urban, sehingga beberapa daerah, kota dan negara di dunia menaruh perhatian serius atas manifestasi bakat tersebut dengan wadah khusus pada area terbuka. Bahkan perspektif ini melihat perilaku vandalisme sebagai bentuk penguatan isu tertentu malalui aksi kreatif (coretan, tulisan, pernyataan).
Pandangan perspektif ini, menyebutkan bahwa menyeragamkan semua aksi coretan atau tulisan sebagai tindakan menyimpang atau vandalisme tidaklah tepat. Dalam banyak kasus misalnya, coretan atau tulisan seni grafitti merupakan bentuk produksi pesan yang sarat makna yang menggambarkan adanya batasan antara kebutuhan, harapan dan cita-cita dengan perjuangan suatu kelompok tertentu. Pada konteks ini, aksi coretan, tulisan atau tindakan tertentu (baca:pelajar-mahasiswa) yang bertujuan anti kemapanan dan status quo dapat juga dimaknai sebagai tindak komunikatif sebagai aksi protes. Aksi-aksi seperti ini kerapkali dijumpai pada berbagai aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai kampus di dunia termasuk Indonesia.
Bentuk aksi demonstrasi dimaksud tidak jarang dijumpai aksi coretan, tulisan atau pernyataan pada media demo yang diusung maupun yang tempelkan, atau disematkan pada fasiltas publik. Bahkan dampak aksi tersebut menimbulkan berbagai kerusakan fisik dan non fisik (ruang terbuka hijau, taman, rambu lintasan, dll). Karenanya menurut hemat penulis, menarik benang merah antara aksi vandalisme dengan aksi mahasiswa yang berdampak menggangu atau menimbulkan kerusakan tertentu sebagai sebuah tindakan vandalisme atau tindakan menyimpang menurut perspektif psikologi sosial, adalah hal yang keliru dan berlebihan. Alangkah bijaksana, apabila aksi-aksi mahasiswa yang marak terjadi di lingkungan kampus atau masyarakat umum ditelaah sebagai suatu koreksi, perbaikan atau harapan ideal sebagai sebuah perubahan melalui jalur aksi nyata. Meskipun kita juga sepakat bahwa jalur aksi tersebut terkadang kurang elok dan etis, tanpa bermaksud sebagai ekspresi luapan amarah, kebencian, dendam atau hasutan anarkis.
Karenanya menghubungkan narasi vandalisme beberapa ahli di atas dengan aksi-aksi mahasiswa yang marak terjadi akhir-akhir ini, penting juga mempertimbangkan telaah Cohen, Miller, Stokols dan William yang dikutip Jason Lose (2003), bahwa aksi mahasiswa yang mengganggu nalar logis dan nilai etis, hanyalah manifestasi aktualisasi gerakan (actualization movement), aksi kreatif (creative action), kritik sosial (social criticims), atau koreksi pada sistem (system correction) kaum muda. Jadi menurut mereka, menifestasi aksi secara berlebihan berpotensi menjadi faktor penyebab lahirnya perilaku vandalisme, tetapi bukan aksi vandalisme itu sendiri. Bahkan seorang seniman Perancis Gustave Courbet yang beraliran realisme dalam berbagai artikelnya menuliskan bahwa vandalisme yang menjadi momok negara-negara di dunia, menyebut gerakan vandalisme sebagai seni bernilai artistik. Menurutnya, vandalisme kini telah menjadi gerakan seni alternatif, yang akhir-akhir ini berkembang sebagai jalan keluar kebuntuan struktur kekuasaan atau suatu sistem yang kaku dan otoriter.
Analisis Gustave Courbet terhadap Vandalisme sendiri berawal dari upayanya menggulingkan atau merobohkan patung Napoleon Bonaparte, yang dianggap sebagai simbol nasionalisme Perancis beraliran kiri (penaklukan) bernuansa politik masa lalu, yang akhirnya bertentangan dengan semangat atau sentimen kaum republikan saat itu, pada masa kini (wikiwand.com ; 2022). Dengan demikian, hemat penulis aksi aksi kaum muda (pelajar-mahasiswa) saat ini dengan berbagai bentuk, tema, pesan, tujuan dan cara yang berubah-ubah sangat sulit disebut sebagai perilaku vandalisme atau bentuk penyimpangan perilaku. Namun penulis juga mengakui jika aksi-aksi tersebut muncul sebagai ekspresi emosional (amarah, dendam, jengkel) menjadi kebiasaan atau tabiat perilaku sehari-hari yang berujung pengrusakan, dan penghancuran, dapat disebut perilaku vandalisme atau tindakan menyimpang.
Diskursus Zaman dan Area Abu-abu
Para ahli dan pemikir sosial di dunia Barat, Eropa termasuk di Indonesia telah banyak berkonstribusi memberikan perspektif baru pada isu dan aksi vandalisme dalam berbagai perspektif. Berbagai ide, pemikiran, dan narasi tentang vandalisme pun berkembang dari satu perspektif ke perspektif lainnya dari waktu ke waktu. Keragaman perspektif dimaksud memungkinkan isu atau aksi vandalisme itu sendiri menjadi luas dan kompleks sehingga membuka ruang wacara (diskursus) bahkan perdebatan kritis para intelektual sosial saat ini. Tidak jarang kita menemukan kajian vandalisme diantara pemikiran para ahli saling melengkapi satu sama lainnya sebagai khazanah pengetahuan yang patut dipahami dan diapresiasi. Sebagaimana yang dikemukakan Goldstein, Jason Lase, Cohen, Miller, Stokols, William, hingga Gustave Courbet, membuktikan tentang narasi vandalisme baik dilihat sebagai perilaku, gerakan, isu, aksi maupun seni menurut penulis menjadi tema sentral “diskursus zaman”. Dengan lain perkataan vandalisme selalu mengetengahkan narasi perspektif baru yang variatif, baik tema, pesan, isu, aksi maupun makna yang mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Akibatnya, narasi vandalisme itu sendiri menuai perbedaan dan perdebatan kritis baik secara literal maupun simbolis.
Pada satu sisi, perbedaan istilah vandalisme secara historis merujuk pada pergeseran perilaku dari ekspresi kemenangan melalui coretan menjadi aksi barbar suku Vandal (Red; Jerman Timur) zaman Romawi Kuno. Pada sisi yang lain, perdebatan narasi vandalisme secara kultural banyak dipengaruhi perubahan peradaban dan pengetahuan masyarkat yang terus bertambah.
Sebagai sebuah “diskursus zaman”, perspektif narasi vandalisme itu sendiri menyediakan ruang diskusi dan analisis yang terbuka bagi kita terhadap perilaku vandalisme yang semakin kompleks saat ini. Sedangkan sebagai arena abu-abu, vandalisme dipahami sebagai wacana atau perspektif yang dinamis dan bersifat ambigu. Sebagai arena abu-abu, perilaku vandalisme yang bermunculan dalam masyarakat, tidak pula serta merta diklaim atau didominasi sebagai perilaku yang merusak dan tidak berguna. Dengan demikian narasi, wacana atau perilaku vandalisme baik sebagai diskursus zaman maupun area abu-abu menegaskan adanya relasi politik dalam narasi vandalisme dan perilaku tertentu berdasarkan ruang dan waktu.
Dalam berbagai literatur ilmiah, media massa maenstrime termasuk media digital, narasi vandalisme baik sebagai isu, aksi maupun gerakan sering dijumpai secara berbeda pula. Tak terkecuali, vandalisme secara verbal dipergunakan sebagai tuduhan yang dialamatkan kepada aksi ruang tertutup atau jalanan kaum muda terdidik (pelajar-mahasiswa). Bersamaan itu pula, wacana pro dan kontra vandalisme muncul secara beragam dalam masyarakat. Realitas ini menjadi tanda bahwa vandalisme memiliki dinamika historikal, kultural dan makna dari waktu ke waktu, sehingga menjadi “arena abu-abu”.
Hal tersebut relevan dengan pandangan semiotik Saussure,F, bahwa tanda-tanda yang hadir dalam narasi vandalisme (coretan-aksi) memproduksi sekaligus menyampaikan “pesan serta makna” dalam dunia sosial, atau masyarakat menurut zamannya. Tanda tersebut memiliki makna jamak atau multi perspektif, yang artinya pesan dan makna dari tanda bukanlah kualitas yang dimiliki oleh tanda individual, melainkan sesuatu yang eksis diluar tanda dalam relasinya dengan berbagai tanda lainnya (Thwaites, Tony, 2011). Hal ini mengandung arti bahwa makna tanda dari vandalisme bukan saja terletak pada apa yang tertulis (coretan-aksi) tetapi disesuaikan dengan pengalaman dan interaksi budaya pemakai tanda yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Dinamika Vandalisme, Kasus di Indonesia
Menyoal dinamika vandalisme sebagai bentuk ekspresi (coretan, tulisan, pernyataan) masyarakat urban era modern saat ini, berkait erat dengan sejarah lahirnya istilah vandalisme dalam masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Di negara Eropa dan Barat vandalisme dipergunakan secara berbeda-beda baik sebagai instrumen penaklukan, perjuangan, pembebasan maupun ungkapan seni budaya alternatif.
Di Indonesia, jejak-jejak dinamika vandalisme masa lalu hingga era modern banyak terpampang pada dinding gedung, perkantoran, sekolah, rumah, jembatan, tiang listrik dan papan reklame, termasuk media cetak. Tulisan dan coretan termasuk ungkapkan tersebut masih jelas terdokumentasi. Pada masa-kemerdekaan Indonesia misalnya, tulisan, coretan atau pernyataan, seperti; “Merdeka”, “Merdeka atau mati”. Sementara pada masa orde lama, tulisan seperti, “Bubarkan PKI”, “Turunkan harga”, serta pada masa reformasi, coretan-tulisan seperti, “Bubarkan Orde Baru”, “Turunkan Soeharto”, menjadi bukti sejarah bahwa tulisan, coretan dan ungkapan tersebut bukanlah bentuk vandalisme yang merusak saat itu.
Ahli sejarah dan tokoh-tokoh seniman Indonesia menganggap hal itu sebagai alat perjuangan, pembebasan dari suatu keadaan yang memaksa. Sementara para seniman menilainya sebagai seni budaya populer, sebagai grafiti dan mural pada masanya. Sebagai sebuah seni, grafiti tersebut menjadi kata penyemangat dan mural menjadi seruan perlawanan di ruang publik.
Salah satu fenomena tentang dinamika vandalisme sebagai aksi seni yang menghebohkan publik Indonesia, terjadi beberapa waktu lalu. Fenomena tersebut menarik dan bernilai artistik menghiasi dinding, poster dan media massa dan media sosial. Tulisan dan coretan yang dahulu disebut perilaku vandalisme seperti; “Jokowi: 404 Not Found”, “Indonesia shutdown’, #viralkanIndonesi#, yang viral dan ramai diperbincangkan, adalah bukti beragamnya kreativitas seni, grafiti dan mural saat ini. Dan luar biasanya, tulisan, coretan dan gambar tersebut tidak dituduh sebagai perilaku vandalisme yang merusak dan menyimpang. Justru berbagai pihak mengapreasi kreativitas tersebut sebagai kritik positif terhadap pemerintah Indonesia, yang kemudian berubah menjadi media-saluran berekspresi dan berkarya para generasi muda milineal.
Akhirnya, vandalisme baik dilihat sebagai narasi, isu, aksi maupun seni, tidak luput dari pengaruh zaman, budaya, politik dan kebutuhan yang berkembang, sebagaimana hukum realitas dalam sistem sosial. Berdasarkan logika itu pula, dipenghujung tulisan ini, penulis menitipkan bahwa “narasi vandalisme” bukanlah perilaku vandalisme itu sendiri, melainkan saling mempengaruhi.
Bahan Bacaan
Goldstein ; Psychology of Vandalism, 2006.
Detik.com; Vandalisme CLA-X Gunung Fuji di duga dari Klaten, 2014
https://www.wikiwanda.com, 20:57; 2022, Gustave Courbet; Historically, vandalism has been justified by painter Gustave Courbet as destruction of monuments symbolizing,
Jason Lase; Depreciative and deviant behavior, 2003.
Thwaites, Tony ; Lloyd Davis & Warwick Mules; Introducing Cultural and Media Studies; Sebuah Pendekatan Semiotik, Jalasutra, Yogyakarta, 2011.