Dampak Covid-19 pada Kontrak Bisnis di Indonesia

  • Bagikan
Masran Amiruddin, S.H,.M.H. (Praktisi Hukum/Advokat)
Masran Amiruddin, S.H,.M.H. (Praktisi Hukum/Advokat)

Oleh: Masran Amiruddin, S.H,.M.H. (Praktisi Hukum/Advokat)

Saat ini  Covid-19 sangat berdampak kepada kehidupan manusia, yang dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan yang dirasakan oleh beberapa negara yang wargannya terkena virus tersebut.

Salah satu dampak Covid-19 dapat dilihat dalam dunia bisnis atau usaha  yang tidak lain dalam melaksanakan kegiatanya memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Namun dengan adanya Covid-19 tentunya tujuan dari perusahaan tersebut   sepertinya akan mengalami perubahan, baik pada usaha industri (manufacture) atau usaha Jasa ( service) karena dengan adanya berbagai kebijakan dari pemerintah tentunya juga akan berdampak bagi kegiatan bisnis dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi kerugian besar-besaran di dunia bisnis akibat Covid-19.

Perubahan yang dapat terjadi pada kegiatan bisnis dapat dilihat pada pelaksanaan perjanjian atau kontrak bisnisnya karena pada umumnya hubungan hukum dalam suatu kegiatan usaha terjadi melalui suatu perjanjian atau kontrak baik itu dengan perjanjian komersial (konsumen)  maupun dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh para pelaku bisnis dengan mitranya atau dengan pihak ketiga maupun dengan pihak pemerintah.

Tentunya perjanjian atau kontrak yang dibuat disesuaikan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh pelaku bisnis atau pengusaha yang tujuannya adalah untuk saling memenuhi prestasi atau untuk melahirkan kontraprestasi antara para pihak yaitu antara pengusaha dengan konsumen atau dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam obyek yang diperjanjikan, misalnya dalam usaha kredit kendaraan, biasanya selain para pihak penjual dan pembeli ada pula pihak perbankan atau pihak asuransi yang ikut terlibat didalamnya.

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya, artinya jika salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pasti akan ada sanksinya. Adapun sanksi terhadap pelanggaran dari isi perjanjian adalah sanksi ganti rugi terhadap kerugian yang timbul akibat dilanggamya isi perjanjian.

Secara umum dalam pelaksanaan perjanjian terdapat dua jenis perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak yaitu ingkar janji (wanprestasi) dan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH). Kedua perbuatan tersebutlah yang dapat melahirkan tanggung gugat bagi pihak yang melakukannya, artinya pihak yang melanggar dapat di gugat di Pengadilan guna untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang dialaminya baik kerugian materil maupun immateril.

Namun saat ini dengan adanya wabah Covid-19, maka akan membuat isi perjanjian atau kontrak mengalami perubahan dalam pelaksanaanya, dimana perbuatan ingkar janji (wanprestasi) dapat dikecualikan atau dengan kata lain salah satu pihak dapat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian (Kontrak)

Hal demikian dapat terjadi karena pemerintah melalu media maupun melalu kebijakannya telah menyatakan bahwa Covid-19 telah membuat indonesia dalam keadaan darurat dibidang kesehatan  dan sudah dapat  disebut sebagai becana Nasional. Apalagi  secara yuridis pemerintah telah mengeluarkan beberapa surat edaran yang isinya tidak lain tentang  kebijakan-kebijakan mengenai Covid-19 yaitu berupa  Surat keputusan atau peraturan melalui menteri-meteri terkait maupun melalui lembaga-lembaga negara yang memiliki tugas dibidang yang berkaitan dengan penanganan virus Covid-19 di indonesia, seperti Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/Menkes/104/2020 Tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCov) Sebagai Penyakit yang Dapat menimbulkan Wabah dan Upaya Penaggulangannya,  SE HK.02.01/MENKEs/2020 Tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri Dalam Penanganan Corona Virus Disease  (Vovid-19).

Selain itu secara khusus dibidang Bisnis, salah satu kebijakan yang ada dan memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan perjanjian dalam kegiatan bisnis adalah kebijakan yang dibuat oleh lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dituangkan dalam Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease.

Peraturan tersebut merupakan kebijakan Restrukturisasi kredit atau pembiayaan yang memberi kelonggaran bagi debitur tertentu atau khusus bagi debitur yang terkena dampak Covid-19 berupa  penundaan pembayaran angsuran (kredit) terhadap kendaraan pada lembaga-lembaga Perbankan, pembiayaan konsumen maupun lembaga nonperbankan lainnya.

Dimana dengan adanya kebijakan tersebut warga yang memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran angsuran dapat tidak melakukannya selama masa tertentu yang telah ditentukan pemerintah, sedangkan  pihak lainnya, dalam hal ini perusahaan tidak dapat menarik kendaraan yang dikredit oleh warga sebagai Konsumen/Debitur  karena tidak membayar cicilan (anggsuranya) selama masa darurat Covid-19.

Bukan itu saja perbuatan dari warga (Konsumen/Debitur) yang tidak melaksanakan kewajiban selama waktu yang telah ditentukan batas pengecualianya atau keringanan penundaan pembayaran  oleh  pemerintah akibat adanya Covid-19 tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan ingkar janji (wanprestasi) maupun perbuatan melanggar hukum (PMH) karena adanya alasan pemaaf yang dibuat oleh pemerintah, yaitu melalui kebijakanya telah memberi Kompensasi berupa penundaan pembayaran kredit akibat adanya bencana wabah Covid-19, yang tidak lain adalah merupakan keadaan memaksa (force Majuer) sehingga konsumen/Debitur tidak bertanggung gugat dan tidak dapat dituntut ke pengadilan karena tidak membayar anggsuranya.

Nah dari uraian di atas maka sudah sangat jelas bahwa keberadaan Covid-19 sangat berdampak pada dunia bisnis di Indonesia dan secara khusus sangat berdampak terhadap perjanjian-perjanjian atau kontrak yang telah dibuat  oleh pengusaha, dimana perjanjian (Kontrak) yang telah dibuat secara pelaksanaanya tidak berjalan mulus karena adanya Covid-19, apa lagi pemerintah melalui kementeriannya atau lembaga (OJK) telah membuat kebijakan yang memudahkan warga sebagai debitur untuk dapat menunda pembayaran angsurannya, disisi lain Perusahaan atau pengusaha sangat membutuhkan pembayaran angsuran dari debiturnya untuk kelangsungan usahanya.

Belum lagi ketika pengusaha ingin menggugat haknya yang dilanggar oleh debitur, maka dengan alasan adanya Covid-19, maka debitur tentunya secara hukum akan mendapat pembelaan dengan cukup berdalil bahwa ia tidak melaksanakan kewajiban karena  telah terjadi keadaan memaksa/kahar (Force Majuer). Apalagi pada umumnya dalam perjanjian (kontrak) secara tertulis biasanya ketentuan tentang keadaan kahar (Force Majuer ) di tuangkan dalam klausul tambahan dalam perjanjian (Kontrak) yang menjadi unsur pengecualian dalam pelaksanaan perjanjian. 

Akan tetapi hal tersebut tentunya tidak akan membebaskan debitur  dari kewajiban membayar sesuai perjanjian secara terus- menerus karena kebijakan yang dibuat oleh pemerintah baik oleh kementerianya maupun lembaga-lembaganya memiliki jangka waktu berlakunya, misalnya Peraturan OJK yang hanya berlaku selama satu (1) Tahun saja yaitu mulai tanggal 31 Maret 2020 – 31 Maret 2021,  sehingga terhadap debitur yang nantinya tidak membayar anggsuran pra Covid-19 atau keadaan sudah kembali normal lagi maka debitur akan kembali melaksanakan kewajiban seperti biasa lagi yaitu membayar cicilan atau angsuran kreditnya dan jika hal tersebut tidak dilakukan, maka debitur tentunya dapat digugat ke Pengadilan dengan dasar ingkar janji (Wanprestasi). ***

  • Bagikan