Sampah

  • Bagikan
Petugas kebersihan sedang mengangkut sampah di pinggir jalan dalam Kota Kendari.

Oleh M Djufri Rachim

SUMPAH, sampah masyarakat masih menjadi problem utama di perkotaan. Kendari, apa lagi. Pemerintah kota ini merilis volume sampah mencapai 200 ton per hari.

Itu hitungan pemerintah. Jumlahnya pada kenyataan mungkin jauh lebih banyak lagi. Bila menggunakan teori bahwa setiap orang menghasilkan 0,68 kg sampah per hari maka tinggal kalikan dengan jumlah penduduk Kendari saat ini sebanyak 350 ribu jiwa lebih.

Sampah itu masih banyak tidak terurus. Amat tidak sulit untuk membuktikannya. Cukup dengan pertanyaan-pertanyaan. Misalnya; pinggir jalan raya mana yang tidak ada sampah? Lorong perumahan apa yang bebas sampah? Area publik mana yang tidak berserahkan sampah; halaman sekolah, kampus, kantor, toko, rumah ibadah, dan seterusnya. Atau juga di pekarangan dan dalam rumah kita sendiri. Wallahu a’lam bishawab.

Apakah sampah masyarakat itu tidak diurus oleh pemerintah? Pasti diurus, dan kelihatannya sangat diurus. Bila kita membaca Perda Kota Kendari Nomor 4 tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah, di situ sudah sangat ideal aturan-aturannya, mengenai hak, kewajiban hingga larangan mengenai sampah.

Dalam Perda itu pemkot Kendari menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan.

Lalu setiap orang wajib memelihara kebersihan lingkungan, juga menyediakan tempat sampah. Larangannya pun tak kalah teknis, misalnya dilarang membuang sampah di sungai, got, saluran-saluran air, lorong, taman, lapangan serta tempat-tempat umum lainnya.

Apakah sudah diindahkan hak, kewajiban, dan larangan itu. Bahwa setiap orang wajib mendapatkan layanan secara baik, kita masih kesulitan mencari tempat buang kertas tisu bekas atau kaleng minuman yang telah digunakan di tempat-tempat publik.

Larangan lebih-lebih. Ada satu fenomena yang menarik soal larang melarang ini. Makin dilarang makin dilanggar. Dilarang buang sampah, tetapi di situ banyak sampah berserahkan. Dilarang merokok, tapi di situlah nikmatnya perokok menghisap. Dilarang menyalahkan ponsel dalam pesawat terbang tetapi di situlah sibuknya penumpang menelpon dan bermain HP. Seolah-olah di sana dilarang melarang.

Fenomena lainnya, kita warga negara 62 yang “bebas” melanggar berbagai larangan di dalam Indonesia kita, jika keluar negeri akan auto tertib. Tidak membuang sampah sembarangan, juga tidak merokok pada bukan tempatnya.  

Entah harus dimulai dari mana untuk menertibkan semua itu. Agar selesai membuka kulit permen, pembungkusnya dimasukan dalam saku celana bila tak ada tong sampah tersedia di sekitar.

Saya hanya bisa bertanya. Entah. ([email protected])

  • Bagikan