Oleh M Djufri Rachim
JURNALIS adalah profesi, seperti halnya dokter, guru, pengacara, dan lainnya. Mereka ada dan bekerja untuk melayani kepentingan umum. Sehingga keberadaan mereka pun dilindungi oleh undang-undang.
Profesi biasanya dicirikan oleh adanya organisasi dan kode etik. Itulah bedanya dengan pekerjaan lain, yang bukan profesi. Ciri khusus lain dari profesi adalah kompetensi. Ada tiga urutan kompetensi dalam profesi jurnalis, yakni jurnalis muda, madya dan utama.
Jurnalis, juga professional lainnya, adalah manusia biasa. Sebagai mahluk sosial yang tak lepas dari kesalahan. Tentu yang tidak disengaja. Maka disitulah regulasi negara hadir untuk mengatur. Undang-undang dan kode etik, diantaranya.
Kesalahan tak sengaja umumnya menyangkut akurasi. Kesalahan penulisan nama, kesalahan menerjemahkan data, dan kesalahan-kesalahan “ringan” lainnya.
Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers pun sudah mengatur mekanisme perbaikan atas kesalahan-kesalahan tak sengaja itu, berupa hak jawab dan hak koreksi. Publik biasanya mahfum atas kesalahan demikian.
Di sisi lain, jurnalis dalam menjalankan tugasnya selain memberikan informasi, hiburan, dan edukasi juga yang paling penting adalah sebagai kontrol sosial. Di sini menyuarakan kebanaran yang harus ditahu oleh publik. Kebenaran merupakan hak tahu publik
Dalam menjalankan tugas sosial kontrol inilah acap kali jurnalis tidak disukai, terutama oleh pihak yang dikontrol. Pelaku kecurangan, pelaku ketidakadilan, koruptor, dan berbagai kejahatan lain. Kejahatan mereka akan terbongkar pada publik melalui kontrol sosial media.
Pihak yang dikontrol itu biasanya marah kepada jurnalis. Hak jawab maupun hak koreksi tidak dapat digunakan karena memang jurnalis telah membongkar fakta sesungguhnya melalui mekanisme investigasi reporting.
Ketidakpuasan atas pemberitaan media massa dapat menempuh cara hukum. Nanti hakim pengadilan yang akan memutuskan. Itu semua harus dihormati, sebagai cara yang fair.
Itulah kemerdekaan pers yang hakiki. Di satu sisi jurnalis bebas menulis apa pun, namun di sisi lain publik juga mempunyai hak untuk mempersoalkan karya yang dianggap merugikan dirinya atau orang lain. Mempersoalkannya tentu melalui mekanisme hukum yang telah diatur negara.
Namun di luar itu, rupanya masih ada pihak yang menempuh cara pintas alias berpikiran pendek. Kriminalisasi. Itulah yang menjadi problem kemerdekaan pers di Indonesia hingga saat ini. Masih kerap terjadi kekerasan fisik dan non fisik bagi jurnalis dan media pers.
Kekerasannya tak main-main, sampai menghilangkan nyawa jurnalis. Ini terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat terdapat sembilan kasus kematian jurnalis dalam kurun waktu 1996 sampai 2010. AJI merilis secara detail proses kekerasn terhadap jurnalis itu dalam buku berjudul “Mati karena Berita”. Mereka yang mati karena beritanya itu adalah Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (1996), Naimullah (1997), Agus Mulyawan (1999), M. Jamal (2003), Ersa Siregar (2003), Herliyanto (2006), Ardiansyah Matrais Wibisono (2010), Anak Agung Prabangsa (2009) dan Alfrets Mirulewan (2010). Dari Sembilan kasus itu, baru satu kasus pembunuhan yang pelakunya diproses hukum, yang lainnya masih gelap penyelesaiannya (dark number).
Dark number ini akan menjadi utang negara selamanya, jika tak ada penyelesaian. Organisasi jurnalis dan aktivis hak asasi manusia akan menyuarakannya terus, utamanya pada hari-hari besar internasional.
Pada tanggal 2 November 2022, kembali disuarakan bertepatan hari internasional mengakhiri impunitas kejahatan terhadap jurnalis. Impunitas merupakan suatu fakta yang memberikan pembebasan dari tuntutan hukum kepada pelanggar hak asasi manusia.
Peringatan itu bertujuan untuk mendesak negara-negara anggota PBB agar melakukan langkah-langkah yang pasti untuk melawan budaya impunitas, terutama terhadap jurnalis.
Pemilihan 2 November sebagai peringatan hari internasional mengakhiri impunitas kejahatan terhadap jurnalis juga dilakukan untuk mengenang pembunuhan terhadap dua jurnalis Prancis di Mali pada 2 November 2013.
Peringatan tersebut tentu saja sangat relevan bagi Indonesia, karena negara ini masih memelihara impunitas terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh aktor negara maupun aktor non-negara kepada jurnalis.
Selain delapan kasus dark number itu, AJI mencatat, sejak 2006 sampai 2022 telah terjadi 935 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Beberapa kejadian terkini misalnya jurnalis Manado Post dijemput paksa polisi karena berita, situs konde.co tidak bisa diakses setelah memberitakan kasus perkosaan di salah satu kementerian, HP jurnalis di Jeneponto dilempar ketua bawaslu, dan dihapusnya data dua jurnalis Papua yang meliput sidang militer.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis Indonesia juga dipantau dan dicatat oleh Amnesty International Indonesia dimana setiap tahun masih selalu terjadi kekerasan. Pada 2019, terjadi 16 kasus kekerasan dengan 52 korban, pada 2020 terjadi 36 kasus dengan 68 korban, pada 2021 terjadi 37 kasus dengan 49 korban, dan pada 2022 terjadi 17 kasus dengan 23 korban.
Dalam situasi demikian bermakna Indonesia masih belum menjadi tempat aman bagi jurnalis dalam menjalankan profesinya. Sehingga peringatan 2 November dapat dijadikan momentum bagi negara untuk melunasi “utang” dark number. ([email protected])