Skeptis pada Kampanye Politik

  • Bagikan

Catatan M Djufri Rachim

RASANYA tidak ada seorang pemimpin sekelas kepala daerah yang tidak memimpikan kemajuan daerahnya. Tapi mewujudkan mimpi itulah yang membedakan. Tergantung kemampuan kepemimpinan masing-masing akan dibedakan oleh berbagai latar belakang.

Ada yang dilatari oleh kekuatan ekonomi, politik, atau pun dinasti. Karena mempunyai uang banyak seseorang mampu “membeli” suara rakyat untuk memilihnya. Karena mempunyai latar belakang sebagai kader politik yang baik maka mampu menggerakan suara rakyat untuk memilihnya. Ada juga karena diuntungkan oleh garis tangan sebagai anggota AMPI (anak, menantu, ipar, atau istri) seseorang bisa terangkat menjadi pemimpin.

Tiga kekuatan latar belakang itu bisa kita tengok dan cocok-cocokan dari berbagai tampilan iklan kampanye bakal calon gubernur, bupati, dan wali kota yang kita jumpai pada baliho di pinggir-pinggir jalan serta flayer dan aneka narasi yang masuk di ponsel kita setiap saat.

Maksud saya. Jika Anda melihat ada kampanye seseorang yang ingin menjadi gubernur, bupati atau pun wali kota, lihatlah latar belakangnya. Ia maju karena dorongan kekuatan apa; karena banyak uangnya, karena memang benar-benar dia politisi, atau karena hubungan dinasti.

Dinasti selain AMPI tadi, juga bisa dilihat dari kekuatan hasrat berkuasa dari yang sudah pernah berkuasa atau sementara berkuasa dan ingin berkuasa lagi.

Dengan begitu maka mudah ditebak apa yang dikejar dan diinginkan seseorang calon untuk berkuasa di suatu wilayah. Benarkah untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang selalu digadang-gadang dalam kampanye merebut hati rakyat pemilih.

Menjelang pemilukada serentak 2024 tentu akan semakin banyak figur yang menampilkan diri dengan aneka trik. Sekarang saja, baliho-baliho besar bermunculan “Rakyat Sultra Harus Sejahtera” lalu dicounter oleh baliho “Pasti: Putra Asli Sulawesi Tenggara idoLAku” –misalnya.

Tidak ada yang salah dari narasi-narasi demikian. Namun, karena itu adalah narasi kampanye maka kita sebagai rakyat, sebagai pemilik kedaulatanlah yang harus pandai-pandai menakar. Boleh dunk kita skeptis terhadap niat seseorang yang merayu suara kita sebab ini menyangkut nasib daerah yang kita diami selama lima tahun ke depan, lima tahun berikutnya, dan lima tahun selanjutnya lagi yang akan diturunkan ke anak, menantu mungkin juga mertua, ipar, atau istri.

Tak kalah pentingnya adalah latar belakang pendidikan seorang calon karena ini melekat secara permanen dalam diri seseorang. Bahwa kemudian dia didorong oleh kekuatan ekonomi, politik, atau dinasti sekali pun jika pendidikannya baik maka karakteristik ilmiah seperti logis, rasional, objektivitas, bahkan mungkin juga idealisme akan selalu ikut mendasari berbagai keputusan dalam setiap tindakannya sebagai pemimpin.

Hal ini tergambar dari kepemimpinan yang telah terjadi di berbagai daerah tanah air. Sebut saja satu contoh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Ditunjang pendidikan dan latar belakang organisasi yang baik lalu dinilai berprestasi sehingga kekuatan politik kemudian mendorongnya untuk menjadi calon presiden RI pada Pilpres 2024, nanti. ([email protected])

  • Bagikan