Kontroversi Gibran dan Integritas Pemilu 2024

  • Bagikan

Oleh: Laode Harjudin (Dosen Ilmu Politik UHO)

Sampai menjelang pemungutan suara Pemilu 2024 masih dibayangi kontroversi pencalonan dan indikasi pelanggaran Gibran Rakabuming Raka serbagai calon  wakil presiden. Hal ini terkait dengan keluarnya putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menjatuhkan sanksi berat kepada seluruh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI karena meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) Pemilu 2024. Putusan ini melengkapi kontroversi sebelumnya dengan keluarnya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan hakim konstitusi lainnya yang terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstiusi. Di bawah kendali Ketua MK Anwar Usman, paman Gibran, para hakim konstitusi berupaya mengubah syarat usia capres dan cawapres demi mengakomodir Gibran sebagai calon wakil presiden. Keluarnya dua putusan ini kemudian menimbulkan dua pertanyaaan besar, pertama, bagaimana status keabsahan Gibran sebagai calon wakil presiden peserta pemilu 2024? Kedua, bagaimana integritas pemilu 2024?

Apapun argumentasi hukum yang diberikan, tidak terbantahkan bahwa keluarnya dua putusan tersebut telah mendeligitimasi status Gibran sebagai calon wakil presiden. Putusan MKMK dan DKPP menunjukkan bahwa pencalonan Gibran bermasalah dan cacat prosedural. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa Gibran tidak memehuhi syarat sebagai wakil presiden. Dalil KPU meloloskan Gibran berdasarkan putusan MK menjadi lemah karena putusan MK juga bermasalah. Kalaupun putusan MK dianggap sah tetap saja pencalonan Gibran bermasalah karena pada saat pencalonan belum ada putusan MK tentang perubahan batas usia calon wapres. Semestinya KPU menolak sejak awal pendaftaran Gibran karena masih berlaku batas usia minimal 40 tahun sesuai Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kasus tersebut semakin problematik karena KPU meloloskan Gibran sebagai cawapres sebelum merevisi peraturan KPU tentang pencalonan. Hal ini berarti bahwa pada saat pencalonan Gibran belum memenuhi syarat usia minimal cawapres bergasarkan UU Pemilu dan PerKPU uyang masih berlaku.

Kontroversi pencalonan Gibran telah menjadi masalah besar pada pemilu 2024 yang akan menimbulkan implikasi politik panjang dan ancaman serius tehadap keberlanjutan demokrasi. Paling tidak terdapat dua implikasi politik dari kontroversi tersebut, pertama, lunturnya integritas pemilu 2024.  Pelanggaran prosedural dan substansial yang dilakukan hakim MK dan KPU sebagai akibat kasus Gibran telah mencederai integritas pemilu 2024. Proses pencalonan Gibran merupakan salah satu bukti (disamping bukti-bukti lain) adanya manipulasi proses pemilu yang menggerus nilai-nila demokrasi. Pemilu yang penuh dengan kecurangan (flawed elections) melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi dan pemerintah.

Implkasi lanjut dari kontroversi ini akan beringsut pada gugatan hasil pemilu bagi pihak-pihak yang tidak puas, apalagi jika pasangan Prabowo dan Gibran menang. Dengan tingginya tingkat manipulasi dan bukti-bukti pelanggaran yang ada, dapat dipastikan gugatan terhadap proses dan hasil pemilu akan memiliki ekskalasi yang lebih luas dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Bentuk gugatan bisa saja berupa pembatalan hasil pemilu  atau pemilu ulang. Bahkan mungkin akan memicu gerakan rakyat (people power) yang lebih besar yang bisa menjatuhkan kekuasaan. Hal ini sudah terbukti dalam beberapa studi  kasus yang dilakukan Pipa Norris, ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pemilu yang berlarut dapat menjadi pemicu menuju transisi rezim yang revolusioner (Norris, 2014).

Implikasi penting lain dari kontoversi pencalonan Gibran adalah lemahnya legitimasi  politik calon terpilih. Dalam tradisi demokrasi, legitimasi politik bersumber dari rakyat, atau orang yang diperintah (the governend) melalui pemilu. Pemerintah yang sah dan legitimate hanya jika memperoleh persetujuan dari pihak yang diperintah nelalui proses pemilu yang berintegritas.. Legitimasi politik bagi pemerintah menjadi penting dalam konteks demokrasi karena dua alasan, pertama, legitimasi politik menjadi alasan bagi rakyat untuk patuh kepada pemerintah sebagai konsekuensi dari persetujuan yang diberikan. Pemerintah yang lahir melalui mekanisme pemilu yang tidak berintegritas tidak memiliki hak moral untuk memerintah, sehingga dengan demikian, rakyat  tidak memiliki kewajiban moral untuk patuh. Kedua, legitimasi politik memberikan landasan moral bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang mengikat secara hukum. Pemerintah yang memiliki  legitimasi politik dari pemilu yang demokratis, juga memiliki kewenangan dengan konsekunesi hukum sehingga kebijakannya efektif. Sebaliknya, pemerintah yang lahir dari pemilu yang cacat integritas maka basis legitimasinya sangat lemah sehingga banyak mendapatkan resistensi dan krisis kepercayaan dari masyarakat. Jika tidak terkendali, kondisi ini bisa menimbulkan kekacauan (chaos) pasca pemilu.

Kita tunggu hasil pemilu!!!

  • Bagikan