Oleh M Djufri Rachim
ADA dua kejadian “gila” dengan “motif” politik, di bulan Oktober barusan. Satu di Konda dan satunya lagi di Amerika. Saya menyebutnya gila tanda petik, karena peristiwanya terasa aneh bagi pikiran manusia kebanyakan (normal), namun mungkin itu biasa dalam dunia politik. Makanya kita sebut saja motif, (juga) tanda petik, politik.
Di Konda, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Indonesia, seorang remaja, –Anda tentu sudah nonton video viralnya, “menyerang” toko Indomaret dengan parang, hingga memecah pintu dan dinding kaca toko pengecer waralaba penyedia kebutuhan pokok harian tersebut.
Setelah “ditangkap” pihak kepolisian, remaja berbaju kuning itu malah makin menjadi-jadi. Ia terus orasi seperti kampanye politik. Baik sesaat setelah “dilumpuhkan” oleh massa di depan toko dirusaknya itu mau pun setelah berada di dalam mobil yang dikawal oleh polisi.
Sebelum orasi atau tepatnya ngomel, seperti halnya kampanye-kampanye politik, ia terlebih dahulu memperkenalkan diri. Menyebut nama dan identitasnya. “Saya Alghifari Abusar, aktivis besar Sulawesi Tenggara.”
Kata-katanya “keras.” “Menyerang” gubernur Sultra yang sedang berkuasa saat ini dan juga “menyerang” salah seorang bakal calon gubernur Sultra yang baliho “kampanye”nya sudah ada di mana-mana.
Ia mau melakukan “kudeta” pada gubernur makanya ke Indomaret untuk pinjam uang, untuk modal politiknya. Ia juga merasa saat ini seperti sedang dijajah, dan seterusnya.
“Saya mau demo karena saya mau jadi pe-el-te gubernur satu tahun, ada surat-suratnya,” ucap Alghifari saat diamankan polisi, 4 Oktober 2022.
Anak muda ini berbicara sangat lancar dan narasinya “seolah-olah” tertata rapi mengangkat tema tentang dinamika politik aktual tingkat lokal, Sulawesi Tenggara. Seperti ada “jin” yang menuntunnya.
Lantaran kerasnya ucapan remaja tersebut, membuat mantan Gubernur Sultra Nur Alam yang juga disebut-sebut dalam narasi Alghifari harus merasa perlu meluruskannya. Pertama, tidak ada hubungan antara ia dan keluarga besarnya dengan remaja tersebut, kendati berasal dari satu kampung yang sama, Konda.
Kedua, ucapan remaja tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara hukum yang sedang dijalani Nur Alam, sehingga masyarakat diimbau tidak menghiraukan, apalagi dikaitkan dengan isu politik dan isu-isu yang bisa memecah kedamaian.
Belakangan diketahui bahwa Alghifari adalah pasien rumah sakit jiwa. Polisi telah menyerahkan yang bersangkutan kepada pihak RSJ Kendari untuk pengobatan kejiwaan.
Dari narasi-narasi omelan Alghifari tersebut, sepertinya ia sakit jiwa akibat begitu kuat fanatismenya pada tokoh politik tertentu dan begitu bencinya pada figur politik lain. Walau pun figur politik yang ia simpatik dan juga benci itu tidak mengenalnya sama sekali.
Setali tiga uang. 24 Hari kemudian, perasaan simpatik politik anak muda di Konda itu juga terjadi di Amerika Serikat. Seorang lelaki bernama David DePape (42 tahun) nekat masuk menyusup ke rumah Ketua DPR AS, Nancy Pelosi pada pukul 02.15 dini hari, 28 Oktober 2022.
David mengakui bahwa motif utamanya dalam melakukan aksi kriminal tersebut adalah politik. “Saya sakit hati atas kegilaan Washington dalam berbohong,” kata David.
Guna “mengobati” sakit hatinya, David menyusup masuk rumah Ketua DPR Amerika di Pacific Heights, San Francisco, untuk menangkap Nancy Pelosi hidup-hidup. Akan menyeretnya dalam tangan terikat lalu digiring ke gedung Capitol atau kantor parlemen di Washington.
Namun di dalam rumah berlantai tiga yang disusupinya itu, David gagal menemukan Nancy karena sementara berada di Washington. Di sana hanya menjumpai suami Nancy bernama Paul Pelosi (82 thn) yang sementara tertidur pulas.
“Apakah Anda Nancy Pelosi?” Mana Nancy Pelosi?” tanya David membangunkan sosok yang dijumpainya di atas tempat tidur.
“Tidak ada di sini, Dia sedang berada di Washington,” jawab Paul sambil bangkit dari tempat tidur.
“Kapan dia akan pulang?” David bertanya lagi pada Paul.
“Masih dua hari lagi jadwal kepulangannya,” Paul menjelaskan.
“Kalau begitu saya akan ikat kamu,” kata Davis. Tujuannya agar istrinya, yakni Nancy, bisa pulang lebih cepat.
Namun rupanya Paul mempunyai kesempatan menghubungi panggilan darurat 911. Polisi datang tiga menit kemudian.
Sebenarnya David ke rumah itu tidak berniat menyakiti Paul, namun situasi tertentu akhirnya ia melayangkan palu di bagian kepala suami ketua parlemen itu. “Saya ke sini hanya untuk bicara-bicara dengan istrinya,” kata David.
David juga berterusterang bahwa selain Nancy, ia juga menarget rumah seorang professor, tokoh-tokoh California dan tokoh-tokoh Partai Demokrat yang membenci Presiden Trump.
David mendeklarasikan dirinya bukanlah penghianat yang tindakannya takut diketahui polisi. Ia menilai dirinya sebagai pahlawan yang mengusir penjajah masa lalu. Karena itu, ia tidak melarikan diri walau pun ada kesempatan.
Seperti juga Alghafari, tindakan David tidak masuk akal. Ia datang seorang diri membawa tali (zipper) dan palu-palu untuk menunaikan niatnya di rumah orang nomor dua Amerika Serikat, setelah presiden.
Mungkinkah juga dia pasien rumah sakit jiwa? Atau ada “jin” penuntun tindakannya? Atau karena telah terpapar fanatisme politik. Alghafari dan David mempunyai sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap suatu pandangan atau suatu sebab sehingga tidak sempat berpikir rasional. ([email protected])