Oleh M Djufri Rachim | SULTRAKINI.COM: HIMAYATUDDIN Muhammad Saydi alias Oputa yi Koo adalah satu-satunya Sultan Buton, Sulawesi Tenggara, yang konsisten melakukan perlawanan pada Kompeni Belanda hingga akhir hayatnya (1752-1776).
Di Kalimantan Barat, Raden Temanggung Setia alias Abdul Kadir (1771-1875) merupakan bangsawan dari Melawi melakukan perlawanan pada pasukan kolonial Belanda. Menghimpun kekuatan pasukan dengan cara menawarkan pengembangan ekonomi pada rakyatnya.
Dari Jawa Tengah, Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno alias Nyi Ageng Serang (1752-1828) sebagai putri bangsawan wilayah terpencil Serang, Kerajaan Mataram. Turunan Ki Hajar Dewantara ini tampil sebagai panglima perang melawan penjajah pada beberapa pendudukan Belanda.
Di Ternate, Sultan Nuku Muhammad Amiruddin (1738-1805) dari Tidore memimpin berbagai pertempuran laut melawan pasukan kolonial Belanda yang hendak menguasai rempa-rempa di sana.
Sedangkan di Ambon, Pattimura (1783-1817) merupakan gerilyawan dari Maluku yang melawan kolonial Belanda.
Di Jawa pula, Pangeran Diponegoro (1785-1855), merupakan putra Sultan Yogyakarta yang melawan pasukan kolonial Belanda melalui peperangan selama lima tahun. Dikenal dengan Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrojo.
Sementara di Sumatera pada kurun waktu itu, Imam Bonjol (1772-1864) sebagai tokoh Islam asal Sumatera Barat yang melawan pasukan kolonial Belanda dalam Perang Padri.
Sebelumnya, ada Sultan Hasanuddin (1631-1670) dari Gowa Sulawesi Selatan yang melakukan perlawanan pada Kolonial Belanda.
Tentu masih banyak lagi orang seperjuangan seperti mereka, yang belum tercatatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia.
Oputa yi Koo saja tercatat sebagai pahlawan nasional nanti tahun 2019, sangat jauh dari adik leting seperjuangannya melawan penjajah, seperti Pangeran Diponegoro (1785-1855) dan Pattimura (1783-1817) misalnya, yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 1973.
Pun Oputa yi Koo adalah orang pertama dari bumi Sulawesi Tenggara yang menjadi Pahlawan Nasional. Bukan pahlawan daerah. Maka layak untuk dihormati dan dihargai oleh semua orang di seantero nusantara ini.
Bentuk penghormatan itu bermacam-macam, bisa diabadikan sebagai nama jalan, diberikan sebagai nama perguruan tinggi, nama bandar udara, nama gedung pertemuan, atau prasasti seperti pendirian patung.
Maka kemudian kita lihat ada nama Jalan Pattimura hampir di setiap provinsi di tanah air, tidak kecuali di Sulawesi Tenggara. Di Jakarta, Jalan Pattimura merupakan jalan utama sepanjang 1,2 KM dari Senayan sampai Selong, Kebayoran Baru, Jaksel. Bahkan di Jambi, diabadikan menjadi nama Mie Aceh Pattimura, karena berlokasi di Jalan Pattimura, Simpang Rimbo.
Ada juga Universitas Dipenegoro yang terkenal di Semarang itu, Universitas Hasanuddin di Makassar, Universitas Patimura, dan seterusnya.
Toh masyarakat Betawi dan Jambi baik-baik saja, nama jalan mereka dibuatkan nama pahlaman dari Maluku, wilayah Timur Indonesia. Atau seluruh warga Indonesia tidak ada yang protes menerima uang kertas seribu rupiah bergambarkan Pattimura yang memegang parang itu.
Ada pula patung pencipta Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman di kompleks pemakamannya di Surabaya (Jawa Timur), pada hal seniman yang juga seorang jurnalis tersebut adalah kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Toh tidak seorang warga Jawa Timur yang terusik dengan kehadiran patung di wilayah mereka, atau tidak ada warga Jawa Tengah minta patung itu dibangun saja di Purworejo.
Juga Patung Sultan Hasanuddin di Kabupaten Maros tidak dipersoalkan masyarakat Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Atau sebaliknya.
Andai Oputa yi Koo ditetapkan tahun 1973 sebagai pahlawan nasional, mungkin juga sudah sepopuler Pattimura, Diponegoro, Imam Bonjol, Muhammad Yamin, Oto Iskandar Dinata, Robert Wolter Monginsidi, Wahiddin Sudorihusodo, dan lainnya.
Alangkah layaknya bila Pahlawan Nasional Oputa yi Koo bisa dihargai dan dihormati di seluruh wilayah NKRI, seperti juga pahlawan nasional lainnya. Apalagi di wilayahnya sendiri.
Tidak ada kata terlambat. Bersyukur di masa pemerintahan Gubernur Sultra Ali Mazi telah mencatatkan seorang pahlawan nasional dari Sulawesi Tenggara untuk pertama kali, dengan harapan masih bisa disusul oleh pahlawan-pahlawan lain di daerah ini yang tidak kalah heroiknya dalam melawan penjajah.
Perjuangan yang dilakukan sepanjang hidupnya melebihi tugas yang diemban, tanpa celah. Mereka memimpin dan mengangkat senjata melawan ketidakadilan. Penjajahan. Bukankah begitu? Damai Sultraku. ([email protected])