Jebakan Batman (Bank) untuk Jurnalis, Gak Bahaya Ta?

  • Bagikan
Ilustrasi, Bank Badman.
Ilustrasi, Bank Badman.

CATATAN: M Djufri Rachim

Bank lokal di Kendari, Sulawesi Tenggara mewajibkan mengisi formulir bagi jurnalis yang akan meliput di sana. Tujuannya baik namun penerapannya keliru. Baik karena dengan mengisi sederet pertanyaan dalam formulir itu dapat menghalau media abal-abal yang meresahkan banyak pihak, termasuk di kalangan pers sendiri.

Sangat banyak persyaratan yang wajib diisi oleh seorang jurnalis yang akan meliput di bank lokal itu. Mulai menyebut nama media dan statusnya di dewan pers, nama wartawan berikut nomor KTP, nama organisasi wartawan dan nomor registrasi, asosiasi media, nomor telepon/faksimile/hp juga nama e-mail. Serta perihal yang akan dikonfirmasi.

Untuk tujuan menyaring yang benar-benar harus media pers meliput di sana tentu tidak salah dengan semua itu. Namun penerapannya tidak musti harus memenuhi semua syarat dalam formulir yang bertele-tele demikian. Di sinilah kelirunya.

Bank itu menolak jurnalis bila hanya menunjukkan syarat id card medianya bekerja dan organisasi profesi tempatnya bergabung. Padahal dengan cukup memenuhi satu atau dua syarat dalam list formulir itu sudah bisa meyakinkan bahwa jurnalis bersangkutan memang bukan abal-abal.

Perlu kita tahu bahwa Dewan Pers sebagai lembaga yang diberi otoritas oleh negara untuk “menyehatkan” media di Indonesia pun sedang melakukan penataan. Misalnya, memberi peluang luas kepada jurnalis mengikuti uji kompetensi dan verifikasi media pers.

Bayangkan, hingga saat ini jumlah jurnalis kompoten baru 10 persen, atau 25 ribu orang dari 200 ribu yang ada di Indonesia. Demikian pula dengan media, baru 5 persen (2 ribu media) yang telah terverifikasi dari 47 ribu yang ada.

Seorang jurnalis yang sudah mengantongi sertifikat kompetensi belum tentu bekerja pada media yang terverifikasi Dewan Pers. Sebaliknya, media yang telah terverifikasi faktual Dewan Pers belum jaminan semua jurnalisnya memiliki sertifikat kompotensi.

Karena itulah diperlukan organisasi jurnalis seperti AJI, PWI, IJTI dan organisasi perusahaan media seperti AMSI, SMSI, dan JMSI untuk ikut membantu jurnalis dan media bisa memenuhi seluruh standar yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Di dalam formulir bank itu, ada pula embel-embel lain. Jurnalis wajib melampirkan KTP dan ID Card. Lalu ada catatan ancaman bagi jurnalis, bahwa ”….. apabila saya melanggar maka saya siap menerima konsekuensi yang berlaku” –entah apa maskudnya ini?

Permintaan nomor kartu penduduk dengan melampirkan KTP juga satu masalah karena tidak relevan dan berpotensi disalahgunakan.

Hati-hati soal KTP. Di era digital ini banyak penyalahgunaan data pribadi melalui identity theft sehingga mendorong pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang PDP (perlindungan data pribadi) tahun 2022. Tentu sudah banyak contoh kasus terkait pencurian identitas warga, termasuk dalam dunia perbankan.

Dengan demikian, akan sulit bagi bank tersebut untuk menerapkan idealaisme listing points dalam formulir itu. Sementara di sisi lain, bank membutuhkan publikasi media karena dia adalah perusahaan jasa yang melakukan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

Rasanya terlalu berlebihan membuat syarat-syarat khusus bagi jurnalis yang akan melakukan liputan di suatu instansi. Apalagi syarat itu sampai mengekang kemerdekaan (kebebasan) pers.

Kemerdekaan adalah salah satu privilege seorang jurnalis. Dalam menjalankan tugas profesinya, jurnalis mendapatkan perlindungan hukum. Mereka tidak boleh dihalangi oleh siapa pun. Ini adalah perintah undang-undang (UU No.40 tahun 1999 tentang Pers).

Keisitimewaan yang dilindungi itu meliputi; mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyiarkan berita kepada audience media pers tempatnya bekerja.  

Mengapa jurnalis harus merdeka. Karena mereka bekerja untuk kepentingan publik.

Memenuhi hak publik untuk mengetahui berbagai berita, baik maupun buruk.

Sehingga melalui mekanisme jurnalistik, seorang jurnalis dapat mengungkapkan keburukan orang atau kelompok yang merugikan negara atau pun masyarakat. Di sini jurnalis sering kali disanjung sekaligus dibenci.

Bagi sekelompok orang yang bermasalah biasanya tidak suka dikonfirmasi oleh jurnalis. Padahal konfirmasi amat penting untuk balancing suatu berita.

Bagi yang tidak suka dikonfirmasi dan kebetulan punya “kuasa” bisa saja membuat bermacam rintangan bagi kemerdekaan pers. Misalnya seperti di salah satu bank itu, karena pers menyoroti penggunaan dana CSR senilai Rp 2,2 miliar, tiba-tiba membuat aturan, mewajibkan jurnalis yang ingin konfirmasi untuk lebih dahulu mengisi lembaran yang mereka sebut “Formulir Konfirmasi Media/Pers.”

Saya bisa memahami betapa kecewa para jurnalis di lapangan yang sedang dikejar deadline, ingin segera bertemu nara sumber namun diperhadapkan dan harus memenuhi semua syarat dalam formulir. Itu adalah “jebakan badman” dari bank untuk kemeredekaan pers.   

Jebakan sebab kurang satu syarat saja dari deretan permintaan isian formulir itu maka pihak bank secara sepihak dapat menolak jurnalis yang akan mengonfirmasi beritanya. Seperti halnya badman yang superhero dengan keahlian khusus dalam membuat Joker matikutu. Lho, gak bahaya ta? ([email protected])

  • Bagikan