Etika Politik dan Praktik Saweran dalam Pemilu, Sebuah Refleksi Kritis

  • Bagikan

Oleh Nasir Andi Baso (Dosen Unsultra dan Pengamat Kebijakan Publik dan Politik)

Beberapa hari menjelang Pemilu, perbincangan masyarakat terbelenggu dengan bincangan politik dengan berbagai bumbu serta racikan diskusi domestik dan nasional. Atmosfer isu politik di Kota Kendari diwarnai oleh isu saweran politik caleg, mulai tingkat kota, provinsi, hingga pusat.

Transaksi saweran yang sedemikian masif dan vulgar. Gaya komunikasi pemilu 2019 masih standar dengan pertanyaan: opio, sihae, siaga, piro, dst. Sekarang gaya gimmick “Adakah?” Bercanda tapi serius mendesak ke semua caleg, gimmick “Adakah?” semakin masif saat menjelang hari H.

Saweran semakin meningkat untuk caleg kota, isu yang beredar sudah mencapai Rp 350.000, caleg provinsi Rp 250.000 dan pusat antara Rp 50.000/100.000 dan atau sembako.

Lalu lintas transaksional saweran masih dimungkinkan terjadi eskalasi sesuai dengan dinamika tim sukses. Transaksi tersebut sulit dibuktikan tapi terasa aromanya sampai di pintu rumah-rumah sasaran.

Isu lainnya yang jadi perbincangan adalah tentang “janji.” Kata janji sudah menjadi komoditi politik dan jualan beberapa partai untuk meraih lahirnya muka-muka baru caleg pada semua level. Janji yang menjadi magnet bagi caleg newcomer adalah janji adanya bantuan dengan berbagai variannya, tapi sampai tulisan ini penulis pantau belum terealisasi.

Modus lainnya, biaya sendiri dulu, tapi jika tidak berhasil akan ada uang pengganti tapi janji secara tertulis tidak ada. Janji sebagai komoditi politik, penulis ingat ada seorang mantan kepala daerah yang terkenal dengan berbagai janji yang mudah disampaikan kepada masyarakat, sehingga suatu saat ada masyarakat yang menagih janji kepada sang mantan kepala daerah tersebut, namun dengan enteng dijawab bahwa sudah syukur saya pernah janji dengan kalian, karena masih banyak orang lain yang belum dapat janji.

Pesta demokrasi yang harusnya melahirkan calon wakil rakyat yang otentik dan berintegritas tinggi, seakan kehilangan kompas tujuan bernegara. Narasi tentang etika seakan mengagetkan nalar sehat kita sebagai sebuah amanah. Etika menjadi terasa asing dan mahal nilainya. Etika bahkan menjadi barang haram saat dialektika kita ingin membangun peradaban.

Tadi pagi penulis sempat keliling Kota Kendari melihat sudut kota yang sudah mulai dibersihkan dari berbagai alat peraga kampanye (terutama baliho) yang dipasang secara brutal tanpa etika. Cara memasang baliho dengan berbagai ukuran serta tidak adanya regulasi jelas tentang baliho politik semakin memperkuat persepsi nurani kita tentang ketiadaan etika kita terhadap lingkungan, kepantasan penggunaan ruang publik yang beretika.

Kepunahan etika kita dalam bernegara seakan teruji dan terbukti dalam pesta demokrasi yaitu terjadinya pesta saweran transaksional politik yang demikian vulgar dan seakan halal. Istilah serangan fajar yang diam-diam sudah bertransformasi menjadi sesuatu yang wajar dan tidak saat fajar.

Setelah pelaksanaan pemilu hari ini, pertanyaan siapa yang akan menjadi presiden RI dan siapa caleg yang akan menjadi wakil rakyat di parlemen, rasanya sulit untuk menjawab kebutuhan nutrisi peradaban bangsa, dengan mengedepankan etika berpolitik. Politik belah bambu, politik berhala, politik adu domba akan tetap mendominasi dengan ungkapan lama: tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan.

Politik tanpa norma adalah makhluk predator yang melahap semuanya. Gonjang-ganjing politik di dunia maya demikian marak membelenggu pikiran, seakan merontokkan optimisme kita tentang politik yang beretika untuk masa depan generasi.***

  • Bagikan