Makna Taqwa

  • Bagikan
Makmur Ibnu Hadjar.Foto: Ist

Oleh: Makmur Ibnu Hadjar

Ibadah puasa yang sedang kita jalani saat ini, bertujuan agar kita menjadi manusia yang bertaqwa.Tujuan puasa tersebut disampaikan oleh Allah SWT dalam Qur’an suci yang terjemahannya sebagai berikut : “ Wahai orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa (Al-Baqarah; 183).

 

Dari ayat 183 Al-Baqarah tersebut dapat kita tarik beberapa pesan penting dari Allah SWT, yaitu ; Pertama, bahwa Allah SWT mewajibkan ibadah puasa ini hanya kepada orang yang “beriman”, yaitu orang yang memiliki komitmen ketundukan hanya kepada Allah; Kedua, dari sisi sejarah atau lintasan waktu masa lalu, bahwa ibadah puasa ini pernah juga menjadi kewajiban ummat, sebelum ummat Rasulullah SAW (yaitu sebelum Al Qur’an diwahyukan); Ketiga, tujuan berpuasa yang dikonstatir oleh Allah SWT untuk menjadikan pelaku ibadah puasa itu menjadi “bertaqwa”. Dari ketiga pesan tersebut, maka point pokok kita dalam renungan ini adalah tujuan yang hendak dicapai prosesi ibadah puasa.

Para ulama fiqih, termasuk juga para inteletual muslim kontemporer, mengartikan “taqwa” itu dari dua sisi berdasarkan pesan dari kitab suci, yaitu dari sisi adanya suatu kesadaran trasedental bahwa dalam hidup kita dan di dalam setiap denyut nadi kita, Allah SWT selalu hadir dan selalu bersama kita. Disamping itu “taqwa” juga dapat dipahami dan diamati melalui laku muamalah seseorang, yaitu ; (1). mereka yang percaya yang ghaib; (2) mereka yang menegakkan shalat; (3) mereka yang menginfakkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun keadaan sempit; (4). mereka yang percaya akan hari akhirat; (5) mereka yang mampu menahan amarah; dan (6). mereka yang suka memaafkan kesalahan orang lain.

 

Karena kesadaran spiritual atau trasedental akan kehadiran Tuhan dalam denyut kehidupan itulah yang membuat orang yang bertaqwa, senantiasa melakoni dan menjalani hidup dengan suatu penghayatan spiritual, dan muamalah, yang lahir karena respon akan hadirnya Tuhan. Bahwa Tuhan selalu hadir dan selalu tahu apapun yang diniatkan dan dilakukan, dengan demikian maka kesadaran tersebut akan membimbing kearah akhlaqul karimah (budi pekerti yang luhur). Dalam konteks ini menjadi logis, bahwa kesadaran akan kehadiran Tuhan, berimplikasi secara kongkrit atas segala laku sosial dan laku spiritual kearah memperoleh ridhah Tuhan, dan sebaliknya berusaha sedemikian rupa menghindari perbuatan sosial dan perbuatan spiritual yang membawa murka Tuhan.

 

Sebagai manifestasi tujuan ibadah puasa, yakni mencapai derajat taqwa, maka kaitan sisi indikatif orang bertaqwa, yakni puasa itu sebagai proses internalisasi psikologis, akan menghidupkan dan mempertajam serta mencerahkan hati, pada gilirannya menghadirkan sikap sabar, dalam defenisi dan prespektif, seperti yang digambarkan sebelumnya. Dalam konteks taqwa sebagai kesadaran yang sangat dalam bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita, Nurcholish Madjid memberikan catatan sebagai berikut; “ kita berbuat baik bukan karena takut kepada orang, kita meninggalkan perbuatan jahat bukan karena pengawasan orang. Tetapi karena dinamika yang tumbuh dalam diri kita sebagai akibat dari taqwa”. Dengan demikian maka taqwa akan menghasilkan tindakan dan perbuatan yang ihlas, tulus dan tampa pamrih.

 

Mendeskripsikan konsep taqwa dan mengukurnya secara utuh, akan menemui kesulitan karena esensi taqwa itu melibatkan seluruh potensi manusia, yaitu jasmani, nafsani (psikologis) dan ruhani. Biarlah aspek nafsani dan ruhani menjadi wilayah penilaian Tuhan. Secara faktual kita mengambil pelajaran ketika Rasulullah SAW menegur Khalid Bin Walid, dengan ucapan yang terkenal; …..”aku ini diutus bukan untuk membelah dada manusia..” (maksudnya bukan untuk mengetahui nafsani dan ruhani di dalam dada).

 

Ringkasnya bahwa indikasi-indikasi jasmani tersebut adalah manifestasi dari hati yang tercerahkan oleh limpahan ridhah Allah SWT, yang selalu hadir memberikan bimbingan, rakhmat dan karunia. Kita semua yang sedang menjalani ibadah puasa, tentunya bersungguh-sungguh dan penuh harapan kepada ALLAH SWT, agar kita dapat mencapai posisi puncak kearifan kemanusiaan, yakni taqwa. Wallahuallam bissawab*.

  • Bagikan