Menakar Kepemimpinan Transformatif

  • Bagikan

 oleh: Rekha Adji Pratama
(Mahasiswa S2 Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)

 

Pemimpin merupakan jantung dari sebuah or­ganisasi. Dialah yang me­nentukan karakter organ­isasi. Pemimpin pula yang menjadi garda terdepan dalam mencapai visi dan misi organisasi. Kendati begitu, pemimpin tidak bisa jalan sendiri. organisasi harus di pandang sebagai sebuah kapal pesiar yang memiliki kapten dan awak kapal. Mereka saling mengisi supaya bisa mengantarkan para penumpang ke tujuannya.

 

Kon­sep atau ide kepemimpinan trans­formatif bisa menjadi sebuah alter­natif saat para pemimpin organisasi, lembaga ataupun negara mengalami kebuntuan dalam menjalankan tu­gasnya. Mengapa harus pemimpin transformatif? Penulis menilai, pola kepemimpinan inilah yang paling tepat diterapkan dalam kondisi sep­erti sekarang.

 

Kepemimpinan trans­formatif belakangan ini mulai ban­yak diterapkan. Para politikus, calon pemimpin organisasi ataupun lemba­ga tertentu adalah yang paling sering menggunakannya. Kepemimpinan transformatif didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang berusaha mentransformasikan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan untuk mendu­kung visi dan tujuan organisasi.

 

Mela­lui transformasi nilai-nilai tersebut diharapkan terjalin hubungan yang baik antar anggota organisasi. Sehing­ga, akan timbul suasana saling perca­ya. Secara garis besar kepemimpinan transformatif berbasis \”Leadership and performance beyond expecta­tions”.

 

Menurut pandangan para ahli, kepemimpinan transformatif didefi­nisikan sebagai kepemimpinan di mana para pemimpin menggunakan kharisma mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi or­ganisasinya (Gerald Greenberg dan Robert A Baron, Behavior in Organi­zation, Ohio State University, 2003). Pemimpin yang transformatif harus mementingkan kepentingan organ­isasinya dan anggotanya bukan han­ya sekadar meberikan perintah atau  instruksi bersifat Top-Down atau bisa dikatakan pemimpin transformatif bersifat menjadi pelayan yang me­nampung segala aspirasi dari bawah.

 

Kepemimpinan Transformatif  di Indonesia

Para pemimpin di Indonesia seka­rang lebih banyak menerapkan pola kepemimpinan transaksional. Model kepemimpinan ini, memotivasi para pengikut dengan mengarahkannya pada kepentingan diri pemimpin itu sendiri.

 

Misalnya, para pemimpin politik melakukan upaya untuk mem­peroleh suara. Jenis pemimpin tran­saksional ini sangat banyak ditemu­kan jelang Pemilu. Rakyat dicekoki dengan berbagai janji setinggi lan­git agar mereka dipilih kembali oleh rakyat. Bahkan, ada yang disertai dengan imbalan tertentu (money politic). Namun sungguh disayang­kan, ketika mereka terpilih, ternyata banyak janji tidak bisa direalisasikan.

 

Seorang pemimpin transformatif dapat diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut ter­hadap para pengikutnya. Para pengi­kut seorang pemimpin transformatif merasa adanya kepercayaan, keka­guman, kesetiaan dan hormat ter­hadap pemimpin tersebut. Tokoh seperti Soekarno adalah termasuk dalam jenis pemimpin transfor­matif. Dia mampu membawa Indo­nesia dari zaman “penjajahan” ke zaman “kemerdekaan”.

 

Namun, gaya kepemimpinan transformatif model Soekarno hanya terjadi sebelum ke­merdekaan dan awal kemerdekaan sampai tahun 1949. Setelahnya, mu­lai memudar hingga akhir jabatannya sebagai presiden pertama Indonesia.

 

Setelah era Soekarno, Indonesia kem­bali memiliki pemimpin berkareter transformatif. Dia adalah Presiden ke-2 Indoensia, Soeharto. Dia beru­saha mengubah kondisi Indonesia melalui proyek-proyek pemban­gunan dan moderinisasi yang dip­impinnya. Namun, sayangnya gaya kepemimpinan transformatifnya dipadukan dengan gaya kepemimpi­nan otoriter. Akibatnya, masyarakat terkungkung dan pada akhirnya me­mintanya untuk mundur.

 

Setelah kedua tokoh tersebut, tidak ada lagi tokoh yang menunjukan karakter kepemimpinan transformatif. Abdur­rahman Wahid dan Susilo Bambang Yudhoyono misalnya, lebih pada pola kepemimpinan transaksional. Mereka menukarkan kekuasaan yang dimilikinya dengan sesuatu yang da­pat menguntungkan dirinya dan kelompoknya.

 

Bagaimana dengan seka­rang? Indonesia di bawah komando Joko Widodo, apakah termasuk da­lam karakter pemimpin transfor­matif? Menurut pandangan penu­lis Joko Widodo menerapkan pola kepemimpinan transformatif. Hanya disayangkan, penerapannya belum dapat dimaksimalkan dengan baik.

 

Hal itu dikarenaka, dia menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Presiden Indonesia terikat oleh sebuah koalisi yang dibangun dalam pemerintahan. Semua hal tersebut tidak terlepas dari sistem kepartaian di Indonesia yang menganut sistem multi partai. Belum lagi, Joko Widodo berstatus sebagai kader partai harus patuh pada ara­han ketua partainya.

 

Maka dengan begitu, gaya kepemimpinan transfor­matif dimiliki makin tidak nampak di mata masyarakat Indonesia. Kendati para pemimpin bangsa belum men­erapkan pola kepemimpinan trans­formatif seutuhnya, namun rasa op­timisme tidak boleh hilang. Penulis meyakini masih banyak tokoh-tokoh ataupun calon pemimpin di Indo­nesia yang berkarakter transformatif dan memiliki visi dan misi mulia un­tuk membangun Indonesia menjadi lebih baik. Terutama para kaum pe­giat bangsa yang masih mempunyai semangat idelisme dan para kalangan intelektual. Diharapkan dapat men­jadi contoh baik dalam membangun demokrasi Indonesia lebih baik.

 

Pilkada dan Kepemimpinan  Transformatif di Sultra

Sosok pemimpin dan gaya kepemimpinan dimiliki sangat mem­pengaruhi karakter organisasi yang dipimpinnya. Begitu pula dalam ter­capainya visi dan misi organisasi. Apabila pemimpin tersebut bagus dalam memimpin maka akan timbul dampak positif dari kepemimpinan­nya.

 

Karakter kepemimpinan trans­formatif adalah gaya kepemimpinan yang mengedepankan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan dalam menjalankan visi dan misi organisasi atau lembaga. Kepemimpinan trans­formatif dapat menjadi sebuah energi baru di Indoensia yang kebanyakan para pemimpinnya sangat transak­sional dan cenderung pragmatis.

 

Lalu bagaimana dengan pola kepemimpi­nan dalam skala lebih kecil. Di Su­lawesi Tenggara misalnya? Termasuk para calon pemimpin kepala daerah yang belakangan ini makin intens melakukan sosilaisasi di masyarakat? Apakah mereka bisa memenuhi stan­dar sebagai calon pemimpin trans­formatif?

 

Pertanyaan ini tentu butuh jawaban. Mengingat, akan sangat menentukan nasib masyarakat dan pembangunan daerah lima tahun kedepan. Tentunya, kepemimpinan transformatif bukanlah pemimpin yang hanya mengandalkan popu­laritas ataupun nama besar semata. Tetapi, pemimpin transformatif ialah pemimpin yang benar-benar sudah terbukti kinerjanya dalam menyelesaikan berbagai masalah.

 

Pemimpin transformatif juga bukan pemimpin yang hanya merangkul saat menjelang Pilkada saja. Tetapi, ia pemimpin yang merangkul saat periode politiknya atau saat masa jabatanya masih berjalan. Bukan pula pemimpin yang hanya menebar janji-janji politik tetapi pemimpin yang bisa merubah daerahnya. Istilah keren untuk pemimpin transformatif adalah “From Nothing Into Some­thing”. Artinya, ketika menduduki sebuah jabatan dia tidak punya ten­densi apapun, selain berbuat yang terbaik untuk masyarakat.

 

Maka dari itu, Sultra khususnya Kota Kendari dan kabupaten lain yang akan mengi­kuti Pilkada tahun depan, sangat membutuhkan tipe pemimpin sep­erti itu. Jangan lagi model pemimpin transaksional dan pragmatis yang dipilih. Ini penting, supaya dapat merubah daerah ini menjadi lebih baik kedepannya. Karena gelombang perubahan yang terus menerus me­landa hampir semua sisi kehidupan.

 

Pada akhirnya berkembang menjadi perubahan yang berlangsung lama dan memaksa semua negara untuk selalu siap menerima, memahami, mengantisipasi, mengelola dan me­nyesuaikan diri pada perubahan itu sendiri. Serta selalu siap untuk melakukan perubahan.

 

Dalam situasi seperti ini, tantangan dan tuntutan yang dihadapi sebuah negara men­jadi semakin berat dan kompleks. Peran dari pemimpin (leader) serta faktor kepemimpinan (leadership) di dalam sebuah negara dirasakan se­makin penting. Pengelolaan sebuah negara tidak lagi dilakukan dengan hanya didasarkan pada keharusan untuk dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari semua sumber daya dimiliki. Tetapi juga didasar­kan pada keharusan untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan kegia­tan.

 

Memenangkan persaingan serta mempertahankan keberadaan neg­ara yang kesemuanya bukan hanya memerlukan kehadiran tapi juga per­anan seorang pemimpin. Di daerah juga begitu. Jadi, masyarakat Sultra, khususnya yang daerahnya bakal Pilkada Februari 2017 mendatang, harus mulai mengidentifikasi, calon pemimpin transformatif tersebut.(*)

  • Bagikan