Miras, Merusak Masyarakat

  • Bagikan

oleh: Fitriani, ST., M.Si
(Dosen Jurusan Geografi Universitas Halu Oleo Kendari)Miras oplosan yang dulunya dikonsumsi kalangan tidak berpendidikan, kini pun diminati oleh mahasiswa yang relatif tahu dan mengerti bahayannya. Harianjogja.com, tahun 2016 memberitakan bahwa dua orang mahasiswi asal Ternate, Maluku Utara, tewas mengenaskan di sebuah kamar kos di Dusun Karangjambe, Banguntapan, Bantul, setelah menenggak minuman keras (miras) oplosan.Hal ini senada dengan data Kapolres Sleman, DIY, AKBP Yulianto yang menyatakan bahwa data terkahir terdapat 24 orang yang meninggal yang diduga mengonsumsi miras oplosan di beberapa wilayah di Yogyakarta, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul yang mayoritasnya adalah mahasiswa (bbc.com, 2016).Miras sudah masuk menghancuran lapisan masyrakat yang tak terkecuali kaum terpelajar. Apalagi ketika miras akan dijual dengan bebas dan tidak ada tindakan tegas atas penjualan miras dan berharap bahwa tidak adanya izin penjualan miras golongan apapun, baik resmi ataupun oplosan. Ketika miras sudah mulai menyerang mahasiswa sebagai agen of change maka ada yang harus diubah dengan cara pandang tentang miras ini, dan penegakan hukum terhadap penjual hingga yang mengkonsumsinya.Anehnya sebagian berpikir terbalik untuk menyelesaikan masalah miras ini dengan mengatakan bahwa perlu ada hukum yang menjamin tersedianya miras legal, bukan miras illegal/oplosan di tengah-tengah masyarakat. Sungguh, ini adalah logika aneh dan tidak masuk akal.Benarkah payung hukum dibutuhkan untuk melegalkan miras agar tidak muncul kasus miras oplosan? Agaknya kita harus melihat fakta. Faktanya miras berdampak pada rusaknya tingkat kesehatan masyarakat dan justru kerugian yang lebih besar yang akan didapatkan oleh negara, karena akan semakin banyaknya kekerasan yang terjadi di masyarakat sebagai dampak yang mengikutinya, seperti perampokan, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga bahkan sampai pada pembunuhan dan kejahatan lainnya.Hal ini senada dengan apa yang dikatan oleh Hidayat Nur Wahid Kepada Republika.co.id, Rabu (23/9/2015) yaitu pelonggaran aturan dalam penjualanan minuman keras (miras) bukanlah memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia melainkan justru merusak moral dan kesejahteraan rakyat. Memperbaiki ekonomi bangsa dengan cara mengambil aset bangsa yang telah menjadi milik asing yang dapat mendatangkan perbaikan ekonomi yang signifikan.Generasi penerus harus tetap dijaga dengan mengkondisikan keluarga, masyarakat dan negara sebagai perisainya untuk tetap dalam keadaan kondusif, Islam dengan jelas telah menjelaskan hukum dan sanksi yang tegas bagi penjual dan pengkonsumsi miras, tidak terlepas oplosan ataupun tidak (Al Maidah; 90), dan beberapa riwayat yang menjalaskan bahwa orang yang minum khamar, tidak diterima shalatnya 40 hari. Siapa yang bertaubat, maka Allah memberinya taubat untuknya. Namun bila kembali lagi, maka hak Allah untuk memberinya minum dari sungai Khabal.

Seseorang bertanya, Apakah sungai Khabal itu? Beliau menjawab, Nanahnya penduduk neraka (Ibnu Umar ra). Menurut Imam Syafi\’i, Abu Daud dan ulama-ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa had bagi peminum minuman keras adalah 40 kali pukulan. Akan tetapi hakim dapat menambah 40 kali lagi sehingga jumlahnya 80 kali pukulan. Tambahan pukulan 40 kali tesebut adalah hak hakim sebagai hukuman ta\’zir. Begitulah Islam memberikan penjelasan tentang orang yang meminum minuman keras.(*)

  • Bagikan