SULTRAKINI.COM: Sejauh ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum percaya diri untuk memeriksa Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak sebulan lalu, tepatnya 23 Agustus 2016. Apalagi Nur Alam telah menggugat balik KPK melalui praperadilan karena tidak terima dirinya dijadikan tersangka.
KPK kemudian bolak-balik memeriksa saksi yang sama untuk kasus yang menjerat gubernur Sultra dua periode tersebut. Senin (26 September 2016), hari ini kembali mamanggil mantan Bupati Buton LM Sjafei Kahar dan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra Burhanuddin.
“Dia akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka NA (Nur Alam),” kata Plh Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (26/9/2016).
Padahal Sjafei sudah diperiksa sedikitnya tiga kali oleh penyidik KPK, baik di Kendari maupun di Baubau. Demikian pula Burhanuddin selain diperiksa berkali-kali di Kendari dan Jakarta, namun KPK masih terus mendalami sehingga harus memanggil Burhanuddin pada hari ini.
“Burhanuddin juga akan diperisak sebagai saksi untuk NA,” tambah Yuyuk.
Istri Burhanuddin bernama Fatmawati Kasim Marewa, juga sudah diperiksa KPK di Jakarta. Juga seorang pejabat di lingkungan ESDM Sultra tak luput dari pemeriksaan KPK.
Bukan hanya itu, KPK juga telah menyita sejumlah berkas di kantor ESDM Sultra pada saat tim penyidik yang dipimpin penyidik kaliber Novel Baswedan bersama puluhan anggotanya melakukan menggeledahan di sejumlah tempat di Kendari menjelang penetapan Nur Alam sebagai tersangka pada Agustus 2016.
KPK terus mendalami saksi-saksi di kantor ESDM karena secara teknis mengetahui dan mengeksekusi pemberian dan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) kepada PT Anugrah Harisma Barakah (ABH) yang diduga menyalahi aturan perundang-undangan.
Nur Alam ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK terkait penerbitan IUP karena diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana tahun 2009 hingga 2014.
Penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi serta SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah.
Nur Alam dijerat Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctoPasal 55 Ayat (1) KUHP.
Tidak terima itu Nur Alam, melalui kuasa hukumnya Maqdir Ismail kemudian mendaftarkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mereka menilai surat penetapan tersangka Nur Alam oleh penyidik Novel Baswedan, penyelidik Harun Al Rasyid, dan Direktur Penyelidikan KPK Herry Mulyanto tidak sah karena sudah bukan polisi aktif. “Dengan begitu, mereka tidak sah menjadi penegak hukum, ini diatur di Undang Undang KPK,” kata Magdir.
Gugatan praperadilan Nur Alam mengambil dalil yang sama dengan tersangka kasus korupsi kelebihan pajak Bank BCA, Hadi Poernomo. Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan tersebut menilai penyelidik dan penyidik yang menangani kasusnya tak sah lantaran sudah keluar dari kepolisian. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Haswandi kemudian mengabulkan gugatan dan menilai seluruh proses penyelidikan serta penyidikan kasus Hadi Poernomo tak sah.
Namun demikian Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menilai surat penetapan tersangka Gubernur Sultra Nur Alam dalam kasus korupsi penyalahgunaan wewenang perizinan tambang PT Anugrah Harisma Barakah adalah sah.
“Yang menetapkan tersangka NA adalah KPK. Suratnya ditandatangani direktur dan deputi yang dua-duanya berasal dari kepolisian serta pimpinan KPK,” kata Laode seperti dikutip Tempo.co pada 20 September 2016.