SULTRAKINI.COM: KONAWE – Aroma korupsi di DPRD Konawe kembali tercium. Modusnya lagi-lagi terkait kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif para oknum dewan. Kasus tersebut kabarnya terkuak dari hasil audit Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) perwakilan Sultra.
Kabar yang diterima dari informan SULTRAKINI.COM menyebutkan, audit BPK yang dilakukan belum lama ini telah menemukan indikasi adanya SPPD fiktif tahun 2015. Indikasi korupsi tersebut melibatkan banyak anggota DPRD Konawe.
Menurut informan kami, temuan tersebut ada yang pelanggarannya secara instansi. Ada juga yang pelanggarannya dilakukan perorangan. Atas kerugian negara tersebut mereka (anggota DPRD Konawe) diharuskan melakukan pengembalian baik secara instansi maupun perorangan.
Informasi lain yang dihimpun SULTRAKINI.COM menyebutkan bahwa, temuan BPK di DPRD Konawe adalah dalam bentuk dana kelebihan pembayaran. Dalam artian bahwa, dana sebuah program yang dikeluarkan berlebihan telah masuk di kantong pribadi oknum anggota dewan dan belum dikembalikan. Seperti dana-dana kegiatan reses anggota dewan tahun 2015. Dikatakan juga bahwa pihak DPRD Konawe telah ada yang diutus ke BPK untuk berkonsultasi terkait masalah tersebut.
Saat kasus tersebut kami coba konfirmasi ke BPK, Kasubag Humas BPK Sultra, Nur Kurniawan mengaku tidak begitu tahu masalah tersebut. Kalaupun ada temuan kata dia, itu sifatnya masih dalam bentuk konsep Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Sebab, saat ini proses penyusunan masih tengah berlangsung.
\”Temuan yang masih dalam bentuk konsep LHP, masih menjadi urusan internal BPK. Informasi tersebut belum bisa terpublis dan belum bisa dikatakan temuan, meski indikasinya mengarah ketemuan,\” jelasnya.
Lanjut Kurniawan, pelanggaran baru bisa dikatakan temuan setelah sudah jadi LHP. Temuan tersebut juga baru boleh dipublis setelah LHP-nya diserahkan pada DPRD dan Pemda. Khusus untuk Konawe katanya, tidak ada keterlambatan dalam proses audit. Sehingga awal Juni 2016, LHP-nya sudah bisa diserahkan.
Kurniawan juga menerangkan, masalah penyelewengan keuangan setelah LHP diserahkan akan disebut temuan. Dari temuan tersebut BPK akan mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi tersebut mengintruksikan agar temuan penyelwengan keuangan, dikembalikan ke kas negara.
Lantas, bisakah dilakukan pengembalian saat audit tengah berlangsung? Kurniawan menjawab tidak bisa. Ia mengatakan, jika memang pihak yang bertanggungjawab menyadari adanya pelanggaran keuangan, seharusnya sudah diselesaikan sebelum audit.
\”Audit yang kami lakukan adalah top audit. Maksudnya, yang kami audit itu adalah yang sudah selesai tahun anggarannya. Urusan kas selama setahun seharusnya sudah berakhir pada Desember. Sehingga ada baiknya jika masalah administrasi diselesaikan tahun itu juga. Kalau tidak, itulah yang jadi temuan BPK,\” terangnya.
Lalu, kapan pengembalian bisa dilakukan? Ia mengatakan, nanti setelah LHP diserahkan. Kalaupun misalnya ada inisiatif mau melakukan pengembalian saat audit tengah berlangsung bisa dalam bentuk surat pernyataan. Pernyataan tersebut menyatakan akan melakukan pengembalian.
\”Kalau misalnya ada surat pernyataan semisal dari DPRD Konawe, maka temuan kerugian negaranya bisa kami hapus. Sebab sudah ada inisiatif akan melakukan pengembalian. Namun temuan secara administrasinya tetap kami tulis. Tujuannya agar bisa menerangkan kesalahan administrasi yang pernah dilakukan,\” tukasnya.
Kurniawan menambahkan, urusan pidana terkait temuan pada LHP, bukan wewenang BPK. Kata dia, sepenuhnya menjadi urusan yang berwajib.
\”BPK hanya menyampaikan hasil audit dan apa-apa saja yang menjadi temuan jika ada. Kalau misalnya di DPRD Konawe ada temuan, kami bisa berikan data-data dimana letak pelanggarannya. Namun itu nanti setelah penyerahan LHP,\” tandasnya.